Biografi Moh. Yamin
Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Yamin muda memiliki pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika ia bersekolah di Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di sekolah guru. Setelah itu ia juga mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertanian Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta. Dibesarkan dalam dunia pendidikan yang berlatar belakang Belanda, bukan berarti Yamin, sapaannya, memihak Belanda yang kala itu menduduki Indonesia. Semangat nasionalismenya tetap berkobar dan dibuktikan dalam bentuk karya sastra dan menghindari kalimat yang kebarat-baratan.
Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa Yamin adalah orang pertama dalam forum BPUPKI yang membayangkan geografi Indonesia itu seperti imperium Majapahit. Hal ini disampaikan pada 31 Mei 1945, sehari sebelum pidato Soekarno. Tanah tumpah darah Indonesia itu seluas kekuasaan Majapahit. Pandangan ini sangat disukai Soekarno. keduanya dapat dikatakan sebagai Solmed Keduanya tidak bisa dipisahkan, bahkan keduanya dapat dikatakan memiliki karakter kekuasaan yang sama. Dari Yamin inilah kita merasa dekat secara politik dengan Majapahit. Kegandrungan Yamin terhadap sastra timur atau Jawa menjadikannya Gadjah Mada dan imperium Majapahit sebagai inspirasi kenegaraan dan cita-cita persatuan Indonesia Merdeka. Yamin bisa disebut sebagai penafsir lambang-lambang negara sepert soal bendera. Ialah yang paling getol membicarakan bendera merah putih sebagai lambang persatuan Indonesia.
Sebagai anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan Yamin berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat M. yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). istilah muqaddimah pada teks Pembukaan UUD 45 itu adalah sumbangannya. Frase Bhinneka Tunggal Ika yang dicakar Burung Garuda adalah juga sumbangan ide Yamin. Istilah ini ia ambil dari sastra timur. Konon frase piagam Jakarta, nama lain dari Pancasila idenya juga dari Yamin.
Bapak Bahasa Persatuan
Jika kita punya Bahasa Nasional yang menjadi jembatan bahasa-bahasa di Nusantara, kita mestilah berterima kasih kepada tokoh kita ini. Di usia tepat 17 tahun, di majalah terbitan Jong Sumatera no. 4 tahun ke-3 tahun 1920, Yamin menulis : “Sesungguhnya tiadalah kami melebih-lebihkan, tiadalah kami mempertinggi bahasa Melayu setara dengan bahasa Sansekerta atau Bahasa Yunani, bukan! hanyalah kami memperingatkan bahwa bahasa kita makin tidak diusahakan dan dipelajari sampai gak ada yang mau tahu lagi, dan ini adalah nafsu yang salah, ini adalah sesat menyesatkan, ini adalah dosa, maka kepada ia kami pekikkan dengan suara yang terang dan kami katakan dengan kalimat yang jelas, tiada bahasa hilanglah bangsa”. Apa dahsyatnya kalimat ini ? Kalimat ini lahir dari seorang remaja 17 tahun. Frase “Tiada Bahasa Hilanglah Bangsa” bukan kalimat biasa yang sekedar kopi-paste, namun ini kata-kata yang sangat penting sebagai pondasi dasar yang dipekikkan oleh seorang remaja Akil baligh yang secara sadar untuk belajar sastra.
Setelah merasa tidak cocok dengan pilihan pendidikannya di Bogor, yaitu sekolah kedokteran hewan dan pertanian, Yamin kabur ke Solo) Surakarta. Dengan mengulang lagi sekolah SMA dengan konsentrasi sastra timur. Yamin merasa sastra ini adalah dunianya. Ambisinya, dengan puisi ia akan mengubah dunia, dengan puisi ia akan memerdekakan bangsanya. Melalui puisi gubahannya, Yamin banyak berjasa munculkan kata-kata penting yang memicu kesadaran bangsa. Misalnya, kata tanah air, tumpah darah atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Tanah pengikat bangsa dan bahasa adalah jasa Yamin. Di puisi Tanah air (lihat gambar) yang kemudian terbit menjadi buku tahun 1922, Yamin secara meyakinkan bisa menggabungkan frase tanah, bahasa, bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh dan nantinya, inilah yang kita kenal dengan konsep Kebudayaan Nasional. Karenanya ikrar Sumpah Pemuda 28 O 28 sesungguhnya puisi versi terbaru dari Muhammad Yamin lanjutan dari puisi Tanah air yang ia tulis tahun 1920. (Cermati lagi teks Sumpah Pemuda). Jika teks Proklamasi adalah sebuah essai, teks Sumpah Pemuda ada sebuah Puisi. Jika teks Proklamasi adalah akta bagi lahirnya Negara, Teks Sumpah Pemuda itu adalah akte penting bagi Kebudayaan Bangsa kita. Momentum Bangsa itu lahir 17 tahun lebih awal dari momentum Negara.
Dari sini nyatalah adanya Yamin adalah tokoh dibalik perumusan ikrar Sumpah Pemuda, yang kemudian kita kenal dengan Sumpah Pemuda itu. Di hari ketiga kongres Pemuda itu pula yang konon dihadiri oleh 1000-an peserta, Yamin meluncurkan buku puisinya yang kedua Tumpah Darahku yang diluncurkan tepat 28 Oktober 1928. Pada tanggal ini pula lahir sebuah lagu persembahan dari Wage Wodolf Soepratman yang kelak di kemudian hari Soekarno mengangkatnya tinggi-tinggi menjadi lagi kebangsaan, dengan judul Indonesia Raya. Kalau melihat bait pertama lagu Indonesia Raya, sangat terasa sekali campur tangan Yamin dalam lagu tersebut. “Indonesia Tanah airku, Tanah Tumpah Darahku”.
M. Yamin dan Sastra
Dari sini nampaknya kegilaan Yamin pada sastra, pada bahasa telah memberikan sesuatu yang sangat penting bagi politik pergerakan bagi perumusan konsepsi kebudayaan yang bersandar pada tiga hal, Tanah air, Bangsa dan Bahasa. Kesadaran Yamin sejak belia tentang pentingnya sebuah bahasa persatuan dan pilihannya pada bahasa Melayu yang akhirnya menjadi Bahasa Indonesia sangatlah penting bagi perjalanan Bangsa Indonesia selanjutnya. Apa maknanya? Bahwa Bahasa Indonesia ini diciptakan lewat suatu politik pergerakan, melalui sebuah perdebatan yang berkelanjutan dan Yamin tepat berada di dalamnya. Imajinasi Yamin sejak belia tentang bahasa persatuan menjadi bukti bahwa Yamin berjuang lebih awal menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa pengantar intelektual di forum-forum resmi yang biasanya menggunakan bahasa Belanda. Di Kerapatan Pemuda tahun 1926 (Kongres Pemuda I) Yamin sudah berpidato pentingnya bahasa pengantar ini dan sejarah kesusastraan. Saat itu ada dua pilihan antara bahasa Jawa atau Melayu. Dan Pilihannya pada Bahasa Melayu karena sudah menjadi bahasa Jurnalistik dan alasan lain termasuk sifat sederhana dari Bahasa Melayu saat itu.
Keterampilan Yamin dalam bersastra inilah yang membawa Yamin tidak hanya di panggung politik kenegaraan, ia tentu juga dikenal di dunia sastra sebagai seorang sastrawan yang penting. Sebagai sastrawan, gaya puisi suami dari Siti Sundari ini dikenal dengan gaya berpantun yang banyak menggunakan akhiran kata berima. Tak hanya itu, ia pun disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan bentuk soneta pada tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru yang berdiri pada tahun 1933. Sekali lagi, Yamin memang dengan sadar bersastra untuk tujuan memerdekakan Bangsanya.
Bakti Bangsa M. Yamin
Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara di antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Andai diperlukan sebuah gelar, Bapak… maka Yamin layak mendapatkan Gelar Bapak Bahasa Persatuan. Bagi banyak negara, persoalan bahasa persatuan ini menjadi titik konflik paling berdarah. Karenanya usaha Yamin yang mampu merekatkan perbedaan dalam satu Bahasa Nasional harus kita hargai sebagai usaha penting dan monumental.
Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.