Setiap harinya, manusia pasti mengambil keputusan-keputusan, baik untuk hal yang remeh temeh sampai persoalan genting. Pengambilan keputusan selalu melibatkan proses berpikir yang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya ketersediaan informasi. Ketersediaan informasi di kepala sebelumnya bisa menentukan keputusan saat ini.
Masalahnya, terlalu mempercayai ingatan yang telah menancap di kepala boleh jadi mengalihkan dari keputusan yang seharusnya diambil.
Sebagai contoh, Manuel Neuer, seorang kiper Jerman pernah gagal menangkap sepakan penalti Messi yang mengarah ke kiri, sementara ia melompat ke kanan. Sekarang, mereka berhadapan lagi dalam sebuah adu penalti. Hasilnya, lagi-lagi Manu gagal menangkap tendangan Messi walau dia telah melompat ke arah tendangan Messi sebelumnya, lantaran sekarang Messi mengarahkan bolanya ke tengah.
Seorang mahasiswa di semester ini tidak mengerjakan tugas dan jarang masuk kuliah dosen tertentu, lantaran ia mengalami bahwa semester sebelumnya dosen tersebut tidak menindak perbuatan indisiplinernya. Namun, apakah dengan begitu ia menjadi seorang mahasiswa yang sebenarnya?
Anda sering mendengar berita tentang kecelakaan pesawat terbang, sehingga merasa bahwa naik pesawat adalah hal yang sangat berbahaya. Padahal, statistik menunjukkan bahwa naik pesawat adalah salah satu moda transportasi yang paling aman, dan kemungkinan terjadi kecelakaan pesawat sangat rendah. Namun, karena informasi tentang kecelakaan pesawat lebih mudah diingat atau diakses daripada informasi tentang keselamatan pesawat, Anda ogah naik pesawat.
Gara-gara melihat anak tetangga yang sukses setamat nyantri di pesantren, Anda lalu menggebu-gebu ingin memondokkan anak Anda ke pesantren tempat anak tetangga anda mondok, tanpa melihat sisi keunikan yang anak Anda miliki, pun tanpa melihat kecocokan pesantren tersebut dengan kesiapan anak Anda. Padahal, boleh jadi pesantren tersebut bukan tempat yang cocok untuk keunikan dan keahlian yang anak anda punya.
Sebab mendengar berita kekerasan di pesantren (tertentu) yang berulang-ulang disiarkan di media sosial, anda lantas bersikap antipasti bahkan menajiskan pesantren, atau berkesimpulan bahwa pesantren (seluruhnya) sama sekali bukanlah tempat yang aman dan nyaman untuk belajar.
Inilah yang disebut dengan availability bias (bias ketersediaan). Availability bias adalah kecenderungan untuk membuat penilaian atau keputusan berdasarkan pengalaman sebelumnya yang mudah diingat. Informasi yang mudah diingat memang acap disalahasumsikan sebagai cerminan akurat dari kenyataan. Padahal, boleh jadi informasi tersebut justru mengarah pada ilusi dan, pada akhirnya, menghasilkan keputusan yang buruk atau penilaian yang tidak adil.
Sekelas dokter bisa salah mendiagnosis atau meresepkan obat gara-gara availability bias. Lantaran sudah terbiasa melihat gejala tertentu dan mendiagnosisnya sebagai penyakit tertentu lalu meresepkan obat tertentu bagi pasien-pasien sebelumnya, dokter kemudian memutuskan hal yang sama untuk pasien yang datang kepadanya saat ini. Padahal, boleh jadi masalah kesehatannya berbeda sehingga resep obatnya pun mesti berbeda.
Seorang mufti (konsultan hukum Islam), ketika memperoleh pertanyaan dari seseorang, harus merenungkan jawabannya kembali sedari awal (i’adatu an-nazhar), meskipun pertanyaan tersebut sudah ia jawab sebelumnya untuk orang lain. Mengapa begitu? Boleh jadi, lantaran situasi atau kondisi penanya saat ini berbeda dengan kondisi penanya sebelumnya sehingga menuntut jawaban berbeda.