Wazanmedia.com – Sebelum kita lanjutkan diskusi fikih ini, saya cuma ingin mengingatkan tentang adagium yang sering kita banggakan; islam shalih likulli zaman wamakan. Juga adagium yang hampir bermakna sama, dan sering kita dengar di kelas-kelas dengan bunyi; laa yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wal azminah.
Sebagaimana di pembahasan sebelumnya, saya telah memaparkan sedikit fakta dinamika perubahan yang saling berbeda dari waktu ke waktu. Transformasi tersebut di satu sisi, dan adagium di atas di sisi yang lain, menuntut kita untuk segera merespon, dan bukannya apatis, atas segala macam persoalan yang membutuhkan jawaban fikih. Perubahan waktu yang dengan niscaya merubah kondisi sosial, menuntut perubahan respon dan reaksi fikih yang baru dan segar. Namun bagaimana persoalan tempat satu ke tempat yang lain? Bukankah tradisi dan budaya Madura jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Sunda atau Melayau? Jika memang demikian, maka mestinya, fikih juga harus elastis dan lentur untuk menanggapi keragaman tersebut.
Sebagai contoh, dalam hal ini kita akan menemukan banyak perbedaan antara masyarakat pulau Jawa dan Madura. Diantaranya adalah; kalau Madura cenderung memiliki perawakan dan karakter yang keras, Jawa justru cenderung halus, lembut dan kalem. Ini tidak berarti masyarakat Jawa lebih unggul dari Masyarakat Madura, atau sebaliknya. Masyarakat Madura sejak kecil memang dididik keras, ulet dan tekun dalam segala hal. Sehingga sikap ini membentuk mereka untuk berani berbicara terus terang, kalau terdapat hal yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Jika anda bekerja di warung Madura, anda akan dituntut agar tidak lembek, kalem dan harus berani berterus terang. Sebab jika anda pemalu, mereka akan khawatir kalau anda tidak berani melawan perampokan dan kejahatan lainnya.
Melihat Realitas Masyarakat
Sebaliknya, masyarakat Jawa sejak kecil telah dididik untuk sebisa mungkin menahan emosi. Jika terjadi sesuatu yang menjengkelkan, mereka lebih baik memendamnya sendiri dari pada melampiaskannya dengan kemarahan. Mereka lebih mengkhawatirkan terjadinya konflik yang tidak diinginkan. Jika anda memiliki rekan kerja orang Jawa, jangan sering melakukan kesalahan besar. Sebab mereka diam bukan berarti tidak marah, mereka hanya mengekspresikannya dengan lembut dan tenang.
Perbedaan sikap seperti ini, sekali lagi, bukan berarti ada yang lebih unggul dari yang lain. Jika anda orang Madura, saya ragu untuk mengatakan bahwa anda tidak akan memiliki pandangan negatif atas rekan anda yang berasal dari Jawa. Anda akan merasa bahwa dia sombong, tidak suka berbaur, memiliki relasi sosial yang buruk dan cenderung individualistik. Padahal kenyataannya rekan anda hanya takut menimbulkan kegaduhan jika terlalu berani berterus terang. Demikian juga, jika anda orang Jawa, anda akan merasa rekan anda yang berasal dari Madura sangat sensitif, kasar dan mudah marah. Padahal faktanya, mereka hanya ingin menyelesaikan masalah dengan cara langsung dan jujur.
Anda mungkin tidak sependapat dengan ini semua. Apa yang saya jelaskan tadi, mungkin akan dianggap sebagai hal yang tidak berdasar. Sebuah penilaian yang hanya bersifat stereotipikal, stigmatik sekaligus generalistik. Namun, titik tekan yang perlu digaris bawahi adalah; akui bahwa kita memiliki perbedaan. Bahkan kalau dikatakan kita tidak memiliki perbedaan yang begitu berarti; untuk apa kita membutuhkan seorang psikolog, antropolog, dan sosiolog? Setidaknya kita tidak perlu merepotkan Cliffort Geerts atau Carl Gustav Jung hanya untuk meneliti kultur Indonesia dan kepribadian manusia yang lain. Kalau memang begitu, bukankah seharusnya kita menilai orang pedalaman suku Korowai sebagai orang yang memiliki kepribadian sama dengan sarjana lulusan UGM? Faktanya tidak demikian. Kita memiliki banyak perbedaan, dan itu tidak berarti saya lebih buruk dari anda, dan seterusnya, dan seterusnya. Keragaman tidak menyiratkan hierarkis. Kita harus berani merayakan keragaman ini bersama dengan sepenuh hati.
Sedikit Refleksi
Di balik perbedaan itu semua, lagi-lagi kebanyakan dari kita masih mereduksi fikih sebagai ajaran agama yang stagnan. Apapun keadaan yang terjadi dan dimana pun itu, kita tidak peduli, fikih klasik tetap harus dianggap sebagai nilai tertinggi keberagamaan. Kita tahu bahwa negeri kita berbeda dengan Timur Tengah, tapi mengapa terus memaksa agar kondisi sosial kita harus sama dengan apa yang fikih klasik bicarakan? Tidak jelaskah bahwa fikih adalah produk yang dihasilkan bukan hanya dari kajian teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan juga melibatkan sosio-kultural? Perilaku sosial masyarakat di seluruh penjuru dunia memiliki nilai normanya masing-masing. Lantas mengapa harus kita samakan dengan Iraq atau pun Khurasan yang notabene-nya sebagai daerah pemeroduksi fikih?
Adanya perbedaan norma dan nilai tradisional masyarakat daerah satu dengan yang lain, tentu mendorong fikih untuk terus menyikapi persoalan secara dewasa dengan menawarkan solusi dan alternatif yang berbeda-beda. Sama sekali tidak bijak, jika satu nilai dan norma fikih dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan tak bisa ditawar-tawarkan. Satu catatan yang perlu digaris bawahi adalah fakta bahwa fikih memiliki karakter khilafiyah yang begitu kental. Berkaitan dengan itu semua, apabila saat ini fikih kita masih tidak ramah atas segala keberagaman budaya, nilai dan norma masyarakat, pertanyaan yang perlu kita pertimbangkan lagi adalah; mampukah fikih hadir di tengah budaya yang telah ter-akulturasi atau bahkan mengalami singkritisasi?
Tutup Pintu atau Gelar Karpet Merah?
Selanjutnya, penting kita tengok tentang perbedaan sikap dan perilaku sosial budaya masyarakat ke taraf yang lebih besar. Masyarakat Timur Tengah misalnya, sangat jauh panggang dari api jika kita sandingkan dengan perilaku orang-orang Amerika. Jika anda berkunjung ke Arab Saudi dengan mengenakan kebaya, orang-orang setempat barang kali akan menatap anda dengan aneh. Sebaliknya, jika anda berkunjung ke Amerika dengan berpakaian jubah, jangan heran kalau mereka memandang anda dengan wajah yang sinis. Sebab tatapan penuh kecurigaan mereka barang kali terbentuk oleh pengalaman pahit semenjak peristiwa 11/9.
Tatapan aneh dan penuh kecurigaan tersebut berangkat dari ketidak siapan untuk menghadapi budaya luar. Ketakutan terjadi saat norma dan nilai tradisional mereka diusik dan merasa terancam oleh perilaku masyarakat baru yang sangat berlainan. Sementara budaya lokal makin hari makin terkikis, penduduk pribumi akan dituding sebagai masyarakat rasis dan tidak ramah oleh orang-orang luar, apabila mereka menolak para pendatang. Mereka dihadapkan dengan pilihan dilematis. Menutup pintu untuk mencegah bencana lokal terjadi, atau gelar karpet merah sembari menyambut hangat para imigran?
Di lain pihak, kebimbangan yang sama dirasakan oleh para pendatang; imigrasi atau diam di rumah? Untuk pilihan yang pertama, mau tidak mau, mereka harus secepatnya ber-asimilasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, bahkan jika itu mengorbankan hilangnya budaya dan nilai tradisional mereka sendiri. Jika tidak demikian, maka tak ada lagi pilihan yang terbaik selain opsi kedua; diam di rumah (tidak imigrasi). Resikonya adalah mereka harus menerima dan meratapi nasib jika di daerah sendiri ternyata tidak menghasilkan kenyamanan hidup. Impian untuk kuliah di Sorbonne atau bekerja di Perusahaan Alibaba harus anda relakan, jika anda tidak mau berdamai dengan budaya Perancis dan Tiongkok.
Refleksi Realitas Imigran
Pilihan terbaik untuk kedua pihak adalah anda harus menerima para imigran dengan sepenuhnya, sekalipun budaya mereka tidak sama dengan budaya lokal anda. Sebaliknya, para pendatang pun harus secepatnya beradaptasi, bahkan kalau pun harus mengorbankan nilai tradisional mereka. Semua ini berarti bahwa kedua belah pihak; imigran atau anda sebagai penduduk lokal harus siap menyerap budaya lain secara perlahan, tetapi dipersilahkan untuk melaksanakan nilai-nilai tradisionalnya sendiri yang diperoleh dari para leluhur. Itu artinya, ada sebuah kompromi antar budaya yang berlainan dengan cara menyerap budaya baru, sembari tetap melestarikan budaya yang lama, atau ada benturan perbedaan budaya yang saling melebur hingga membentuk satu budaya yang baru.
Fenomena akulturasi dan singkritisasi budaya tentu memerlukan respon fikih yang sungguh bersahabat. Menampilkan wajah fikih yang kaku dan rigid hanya akan menimbulkan persoalan baru, alih-alih menghadirkan problem solving yang bijak. Tetapi yang perlu kita luruskan lagi adalah stigma bahwa apa yang literatur fikih klasik bicarakan merupakan sebuah nilai yang perlu, atau bahkan harus dimanifestasikan dalam tataran praktek, sekalipun tidak ramah terhadap nilai dan norma tradisional masyarakat setempat. Jika kita tetap memaksakan stigma demikian, maka jawablah pertanyaan ini; bagaimana kita bisa menanggapi fenomena akulturasi budaya, sementara menjawab persoalan perbedaan budaya di satu tempat dengan tempat lain saja fikih kita tidak mampu? Pertanyaan lanjutannya adalah; haruskah kita akui bahwa fikih tidak begitu dibutuhkan dalam menanggapi persoalan dunia yang semakin hari semakin berubah dan berkembang ini?
Menuju Fikih yang Bijaksana
Menanggapi akulturasi budaya sebagaimana di atas, lagi-lagi kita diingatkan dengan adagium fikih yang memberi kita secercah harapan; al-muhafadzatu bil-qadim as-shalih wal-akhdu bil-jadid al-ashlah. Bahwa fikih tidak sekaku yang kita anggap. Bahwa ia menganjurkan kita untuk mempertahankan nilai tradisi lama yang baik, sementara dipersilahkan untuk mengadopsi nilai tradisi baru yang dianggap lebih baik. Sayangnya, kata terlalu mudah ketimbang pelaksanaan. Anjuran fikih yang sangat indah itu tak mampu kita kembangkan ke atas tataran praktik.
Sementara kita terlihat kesulitan memanifestasikan adagium fikih tersebut, proses kajian yang sering kita lakukan masih terbata-bata untuk membaca konteks realitas sosial secara holistik. Padahal tidak cukup sekarang apabila kita hanya memberikan satu jawaban fikih, adalah sangat penting sekarang alternatif fikih lainnya juga kita tampilkan sebagai tawaran solusi. Demikian hanya dapat kita peroleh dengan mengkaji secara mendalam aspek-aspek psikologis, sosiologis dan kultural masyarakat setempat. Sehingga fikih yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia tidak sama dengan fikih yang dilaksanakan masyarakat Timur Tengah. Demikian juga, fikih yang tidak bisa ditawarkan kepada penduduk pedalaman Papua, barangkali bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang hidup diperkotaan.
Menampilkan wajah kebijaksanaan fikih tentu merupakan tantangan yang tidak bisa dianggap mudah. Perkembangan dunia yang rumit, membutuhkan proses tahqiq al-manath yang benar-benar matang. Siapa yang mampu melakukan ini semua? Jawabannya tentu bukan hanya anda, apalagi saya. Tetapi ini adalah tanggung jawab kita bersama. Sebab tantangan global, juga membutuhkan tanggapan yang global. Begitu pula juga berarti, bahwa ancaman-ancaman global pun juga membutuhkan jawaban global. Maka pertimbangkanlah pertanyaan-pertanyaan ini; bagaimana fikih menanggapi krisis pembangunan sebagai masalah global yang dihantui oleh ancaman-ancaman ekologis dan krisis biosfer? Untuk itu, kita perlu diskusikan lagi di tulisan berikutnya.
Catatan Kaki:
Cristensen. Clayton, The Innovator’s Dillema, New York: Harvard Business Review Press., 2013.
Fukuyama. Francis, The Great Disruption, Human Nature and Reconstitutions of Social Order, Yogyakarta: Qalam., 2016.
Harari. Yuval Noah, 21 Lessons For The 21st Century, Manado: Global Indo., 2018
Harari. Yuval Noah, Homo Deus; a brief history of tomorrow, Tanggerang Selatan: Pustaka Alvabet., 2018