Wazanmedia.com – MANUSIA merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, oleh karenanya butuh sikap toleran. Penduduk Indonesia misalnya, sekalipun mayoritas beragama Islam namun masih banyak agama-agama lainnya, seperti Kristen, Budha, Hindu dan lain sebagainya. Dengan demikian interaksi bahu-membahu yang dilakukan tidak hanya sesama muslim saja, melainkan juga terjadi antara muslim dan non-muslim.
Allah Swt. menciptakan manusia di dunia ini berbeda-beda. Namun sebab perbedaan itu sering kali menimbulkan perpecahan. Orang Islam menganggap agamanyalah yang paling benar, sementara penganut agama lain juga demikian. Lantaran itu timbullah permusuhan, pertengkaran, bahkan peperangan atas nama agama.
Ajaran Kerukunan dan Kedamaian
Islam senantiasa mengajarkan kedamaian dan kerukunan di dalam segala perbedaan. Memang perbedaan tidak bisa dihindari, apalagi dalam masalah keyakinan. Namun, jangan sampai sebab perbedaan itu malah saling bermusuhan, yang nanti berujung terhadap peperangan. Kalau kita kembali kepada Al-Quran, tidak sedikit ayat yang menjelaskan keharusan hidup damai antar umat beragama. Seperti firman Allah yang berbunyi:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8).
Sebab turun ayat di atas adalah ketika Asma’ binti Abu Bakr dikunjungi oleh ibunya yang bernama Qutailah, pada saat itu ibunya masih dalam keadaan musyrik. Qutailah mengunjungi Asma’ dengan membawa hadiah-hadiah untuk putrinya. Namun putrinya, Asma’ menolak kunjungan serta hadiah dari ibunya, dan melaporkan hal tersebut kepada Rasul. Nabi pun tidak melarang Asma’ untuk bertemu ibunya, melainkan beliau malah memerintahkannya untuk menyambut ibunya dengan baik, dan menerima hadiahnya. Sebab peristiwa ini turunlah ayat di atas.
Dari sini agaknya jelas bahwa Nabi sama sekali tidak menunjukkan sikap kebencian dan permusuhan. Allah Swt. mengharuskan umatnya Nabi saw. untuk berperilaku baik serta adil kepada orang-orang musyrik. “Baik” di sini dimaknakan sebagai kebajikan yang luas. Artinya seorang muslim boleh melakukan segala kebajikan untuk non-muslim, selama tidak berdampak negatif bagi kaum muslim.
Klasifikasi Non Muslim
Berkenaan tentang kaum musyrik atau non-muslim, M. Quraish Shihab mengutip pendapat Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi yang menyatakan bahwa non-muslim terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslim, dan hidup dalam keadaan damai. Serta tidak ada tanda-tanda dari mereka ingin bermaksud buruk kepada kaum muslim. Kedua, yaitu kelompok yang secara terang-terangan memusuhi dan berbuat buruk kepada kaum muslim.
Ketiga, adalah mereka yang secara tidak terang-terangan memusuhi Islam. Hanya saja terdapat indikator bahwa mereka ingin melakukan keburukan yang dapat merugikan umat Islam. Mereka juga pro dan berempati terhadap kelompok yang memusuhi Islam. Nah untuk kelompok yang terakhir ini, bagi orang muslim hendaknya berhati-hati jika ingin berinteraksi dengan mereka.
Sementara pada kelompok yang kedua, bagi umat Islam dilarang untuk berteman, bersikap baik dan adil kepada mereka. Lalu terhadap kelompok yang pertama, sebagaimana penjelasan di awal, seorang muslim tetap memberlakukan mereka sama ketika berinteraksi dengan sesama muslim lainnya, seperti memenuhi hak-hak mereka dan lain sebagainya.
Keharusan Bersikap Toleran
Selanjutnya, ketika mengkaji lebih dalam ayat sebelumnya dapat ditarik pemahaman bahwa Islam tidak hanya mengajarkan akan perilaku baik, namun juga mengharuskan sikap toleran terhadap penganut agama lain. Tindakan toleransi beragama artinya menghormati dan menghargai keyakinan orang lain, tidak memaksa orang agar memeluk agama tertentu dengan alasan dan cara apapun.
Di samping itu, keharusan toleransi dalam ayat ini juga didukung oleh firman Allah di dalam QS. al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” dan QS. asy-Syura ayat 15: “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nya lah kita kembali .”
Toleransi beragama harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu sikap toleran adalah berteman dengan semua kalangan tanpa membedakan agamanya, menghormati kepercayaan satu sama lain, saling tolong menolong dan tidak ada diskriminasi. Dengan terciptanya toleransi beragama kita akan hidup damai, tidak saling bermusuhan, dan dapat menyatukan segala perbedaan.
Terakhir, sikap saling membedakan terhadap pihak yang berbeda keyakinan dengan kita sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ingat! Suatu negeri tidak mungkin bisa bersatu, jika penduduknya masih saling membedakan satu sama lain. Bukan hanya masyarakatnya yang terkena dampak negatif, melainkan negerinya juga berdampak buruk, perpecahan di mana-mana, sehingga terjadilah konflik yang tak berkesudahan. Dengan ini, mari kita berpedoman kepada Al-Quran yang selalu mengajarkan hidup damai atas segala perbedaan. Wallahu a’lam.
Bacaan:
- Wahbah az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj,
- Imam Abi Husain Muslim bin Al-hajjaj, Shahih Muslim,
- Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,
- Quraish Shihab, Toleransi Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagamaan.