Wazanmedia.com – ISLAM merupakan agama yang inklusif dalam praktik kehidupanya. Segala sesuatu yang datang dari islam mengajarkan pola ajaran humanis dan moralitas di tengah keberagaman dinamika sosial yang terjadi pada islam. Al-Qur’an sebagai kitab suci oleh Nasr Hamid diklaim produk Budaya?
Tantangan Dunia
Sementara tantangan dalam dunia islam kini semakin kompleks, munculnya dunia baru atau dunia ketiga yakni Masyarakat Digital menimbulkan perubahan sosial yang signifikan. Islam, sebagai agama yang inklusif dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, harus beradaptasi dengan kehadiran teknologi yang mendominasi berbagai aspek kehidupan. Masyarakat digital menghadirkan cara baru dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan menyebarkan informasi. Hal ini menantang bagaimana ulama dan cendekiawan Muslim menginterpretasikan ajaran Islam dalam konteks dunia digital yang cepat berubah.
Ajaran yang Shahih Li Kulli Makan wa Zaman, merupakan tujuan islam hadir. Kehadiran islam tidak semerta- merta datang dengan ajaran baru, islam hanya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan juga tidak meninggalkan ajaran- ajaran terdahulu. Problematika sekarang, adalah hadirnya tafsir- tafsir keagamaan yang tekstual dalam dunia digital, yang kaku, terkadang menghilangkan esensi agama itu sendiri. Tentunya membicarakan soal tafsir, tidak lepas dari sumber pedoman agama, jika di Islam ada Al Qur’an dan Hadist. Al-Quran tidak hanya sekedar pedoman hidup, tetapi juga salah satu kitab suci yang diyakini umat Islam sebagai anugerah Tuhan kepada umat Islam. Itulah yang selalu diyakini dan dipegang oleh kalangan Ulama Klasik. Tetapi akhir- akhir ini munculah seorang pemikir yang membenturkan keyakinan tersebut dengan mengatakan “Al- Quran adalah Produk Budaya” ia adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Maka kita akan menggali dan memahami apa yang disampaikan beliau.
Biografi Nasr Hamid
Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010) adalah seorang intelektual Muslim Mesir yang keahliannya di bidang bahasa Arab dan Studi Islam, yaitu dalam penelitian hermeneutika. Abu Zaid bertugas sebagai pengajar di Departemen Bahasa Arab, Fakultas Sastra Universitas Kairo. Pemikirannya tentang Al-Quran menuai kontroversi, beberapa di antaranya terdapat dalam kitab Mafhum al-Nass: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an dan Naqd al-Khitab al-Dini.
Kontroversi tersebut memaksa Abu Zayd dan istrinya merantau ke Belanda. Selama di Belanda, beliau diangkat sebagai seorang Profesor Bahasa Arab dan Studi Islam di Universitas Leiden. Abu Zayd lahir pada 10 Juni 1943 di sebuah desa kecil di Quhafa, dekat Tanta di Mesir. Di usia dini, ia diperkenalkan dengan Al-Quran ketika ia terdaftar di kuttab. Kuttab itu menekankan pada hafalan dan hafalan Al-Quran, serta pada masalah akademis seperti membaca, menulis, dan berhitung. Menurut Abu Zayd & Esther ketika delapan tahun umurnya sudah tamat hafalan Al Quran. Selama masa remajanya, dia terpesona dengan kharisma dan perjuangan Sayyid Qutb.
Abu Zayd kemudian terlibat dalam gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di Quhafa. Pada tahun 1954 ketika dia berumur sebelas tahun, Abu Zayd dipenjarakan setelah dituduh melakukan kejahatan tersebut keterlibatannya dalam gerakan al-Ikhwan al-Muslimin. Ideologi al-Ikhwan al-Muslimin telah memberi pengaruh pada Nasr Hamid Abu Zayd semasa mudanya, dalam hal memperjuangkan hak-hak social rakyat dan berjuang melawan ketidakadilan. (Nur Zainatul Nadra Zainol, 2014).
Perjalanan Intelektualnya
Pada tahun 1968, Abu Zayd (2004) melanjutkan studinya di Universitas Kairo dan berhasil meraih gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Arab pada tahun 1972. Setelah itu, Abu Zayd mengejar gelar master pada tahun 1972-1977. Abu Zayd dianugerahi beasiswa dari ‘Ford Foundation Fellowship‘ untuk belajar di Institut Timur Tengah di Pennsylvania University, Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1978-1979. Selama di Amerika, ia berkesempatan melakukan penelitian mengenai Filsafat Barat, mengarah kepada hermeneutika. Abu Zayd mampu membenamkan dirinya dengan berbagai teori tentang tafsir modern dan interpretasi hermeneutik filosofis yang dipelopori oleh Hans-Georg Gadamer.
Berdasarkan buku bibliografi pengarang berjudul Voice of an Exile: Reflections on Islam yang ditulis oleh Abu Zayd & Esther (2004) disebutkan bahwa Abu Zayd merupakan mahasiswa dari banyak tokoh muslim dan Barat terkemuka, seperti Hasan Hanafi, Abed al-Aziz al-Ahlawi yang menjadi pembimbing untuk program M.A dan Ph.D-nya, serta Tom Neff yang menjadi pembimbing untuk program fellowship-nya di Amerika Serikat. (Nur Zainatul Nadra Zainol, 2014)
Pemikiran Al- Quran Adalah Produk Budaya
Sebelum memasuki konstruksi dunia pemikiran Abu Zayd perlu kita ketahui bahwasanya Abu Zayd menjelaskan bahwasanya Teks Keagamaan yang hadir merupakan bentuk bagian teks budaya, yang artinya teks- teks tersebut hadir sama dengan teks- teks yang lain, yang artinya teks tersebut muncul bersama waktu yang menyejarah menjelaskan kejadian tertentu. Kedua menurut beliau Umat islam harus dibenturkan kepada tradisi dialektika ilmiah, pergeseran dari otoritas keagamaan yang mistis. Sehingga Al- Quran sebagai teks harus dipahami dan diaplikasikan dalam segala kondisi. Ia membebaskan manusia kepada pengekangan terhadap teks itu sendiri. Dalam hal ini Abu Zayd mengajak kita kepada tradisi akademik, yakni pemunculan makna baru dalam sebuah teks.
Sebelum itu yang harus kita pahami adalah kita harus mempersiapkan terlebih dahulu pemahaman kita tentang konsep wahyu, karena gagasan tentang hakikat teks Al-Qur’an tergantung pada pemahaman kita terhadap konsep wahyu itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum memulai kajian yang benar dan mengkaji kembali Al-Qur’an, perlu terlebih dahulu membangun pemahaman tentang wahyu. Wahyu secara bahasa adalah menyampaikan suatu makna yang bersifat sekilas, tersembunyi dan khusus, sebagian pandangan menekankan bahwa wahyu adalah suatu jalan (isyarah) dan suatu tanda (imak) dalam dalam tradisi keagamaan. (Mohammad Miqdad Arifin, 2019).
Perbedaan dalam Proses Tanzil Wahyu
Ada perbedaan pendapat ketika beranjak diskusi perihal proses penerimaan wahyu menurut Abu Zayd. Pendapat Imam Ghazali yang pertama, Al-Qur’an muncul dengan bacaan dan makna. Yaitu Jibril menghafal Al-Quran dari Lauhul Mahfudz kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pendapat kedua, melakukan pemisahan antara proses tanzil dan wahyu, tanzil yang diturunkan oleh Allah kepada jibril merupakan proses ilham sedangkan wahyu yang disampaikan oleh jibril merupakan pemindahan bahasa. Artinya Jibril memahami apa yang diturunkan oleh Allah kemudian dia menggunakan bahasaArab sebagai media untuk menyampaikan kepada Nabi Muhammad. Memang benar Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW hanya dengan makna saja. Namun Rasulullah memahami apa yang diturunkan oleh Jibril yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab.
Dasar yang digunakan oleh penggagas pendapat ini adalah ayat “Ruh Amin turun kepada Nabi Muhammad dengan al-Qur’an yang di sampaikan pada hatinya”. Kedatangan jibril adalah kedatangan maknawi yang kemudian disampaikan oleh rasulullah menggunakan media bahasa pada saat itu. (Mohammad Miqdad Arifin, 2019)
Artinya Al-Quran sebagai Produk Budaya teks Al-Quran hadir tidak lepas dari kenyataan yang mendukungnya. Tidak hadir dalam ruang kosong, selama dua puluh tahun Al-Qur’an selalu berinteraksi dengan budaya lokal. Inilah yang disebut Abu Zayd sebagai “Fase Keterbukaan”, maka muncullah hubungan antara teks dan budaya lokal.
Teks Al-Quran sendiri merupakan “pencipta budaya”. Dalam artian teks Al-Qur’an menjadi pembentuk wujud kebudayaan tertentu. Abu Zayd mengajarkan kita bagaimana proses pengilmiahan Al-Quran sebagai sumber dan pedoman bertindak, sekian.
Referensi
<span style=”vertical-align: inherit;”>Mohammad Miqdad Arifin, MM (2019). AL-QURAN SEBAGAI PRODUK BUDAYA STUDI ANALISA KRITIS PEMIKIRAN NASHR HAMID ABU ZAYD. HIKMATINA: Jurnal Ilmiah Hukum , 140.
Nur Zainatul Nadra Zainol, LA (2014). Nasr Hamid Abu Zayd sebagai Pemikir Muslim Modern. Jurnal Internasional Pemikiran Islam , 62.