Wazanmedia.com– Konon, ada seorang pemuda dari Bani Hasyim yang sering datang ke istana Khalifah Al-Mansur. Ia tidak banyak bicara, hanya mengucap salam dari kejauhan, lalu pergi seperti angin lalu. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya ia inginkan, tapi ia terus datang, terus mengulangi kebiasaan itu, seolah-olah hidupnya bergantung pada sekadar memberi salam.
Hingga suatu hari, sesuatu yang tak biasa terjadi. Al-Mansur, yang biasanya membiarkan berlalu begitu saja, kali ini terjadi lebih dekat. “Kemari,” katanya, suaranya berat seperti langit yang dipenuhi awan mendung.
Pemuda itu mendekat. Jarak yang selama ini terasa seperti tembok istana kini hanya selebar jarak tangan. Al-Mansur merenung sejenak, lalu berkata, “Makan sianglah bersamaku.”
Pemuda itu menggeleng, santai, tanpa beban. “Aku sudah makan.”
Alkisah
Sejenak, udara di ruangan itu terasa lebih dingin. Mungkin hanya perasaan, mungkin juga ada sesuatu yang tidak beres. Tapi yang jelas, mata Ar-Rabi‘, pengawal setia Al-Mansur, langsung bergabung. Ia diam saja saat itu, tidak berkata apa-apa. Tapi saat pemuda itu beranjak pergi, melewati tirai yang memisahkan ruang utama dengan koridor luar, Ar-Rabi’ tiba-tiba melayangkan tangannya ke belakang kepala pemuda itu—tidak cukup keras untuk menjatuhkannya, tapi cukup membuatnya sadar bahwa ada yang salah.
Kedatangan Paman
Pemuda itu pergi dengan amarah yang bergejolak di dada. Ia bertemu paman-pamannya, mengadu seperti seorang anak baru saja dihukum tanpa tahu kesalahannya.
Keesokan harinya, para paman itu datang ke istana. Mereka menghadap Al-Mansur dengan wajah yang sudah dirout dengan kehormatan yang terluka. “Wahai Amirul Mukminin, Ar-Rabi’ telah menegaskan kehormatan keponakan kami. Ia melakukan ini dan itu, mendorongnya tanpa alasan yang jelas!”
Al-Mansur mendengarkan, tapi wajahnya tetap tenang, seolah-olah tuduhan itu hanya angin lalu. “Ar-Rabi’ tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan,” katanya. “Kalau kalian mau, kita bisa melupakan hal ini. Tapi jika kalian ingin, aku bisa menanyakannya langsung, agar kalian mendengar sendiri keinginannya.”
Para paman itu saling berpandangan, lalu mengangguk. “Tanyakanlah, biarkan kami mendengar.”
Maka dipanggillah Ar-Rabi’. Ia datang dengan langkah tenang, lalu berdiri tegak di hadapan Al-Mansur.
“Mengapa kamu mendorong pemuda itu?”
Ar-Rabi’ menarik napas, lalu berbicara dengan suara yang tidak meninggi, namun juga tidak merendah. “Selama ini, pemuda itu hanya memberi salam dari jauh, lalu pergi. Tapi kemarin, kalian menggali lebih dekat, memberi kehormatan lebih kepadanya. Engkau bahkan mengajaknya makan bersama—suatu anugerah yang tak semua orang bisa dapatkan. Dan apa yang ia lakukan? Ia menolak. Seolah-olah-olah makan bersama Amirul Mukminin hanyalah soal mengisi perut. Orang seperti ini tidak cukup diajari dengan kata-kata. Ia perlu merasakan sedikit kenyataan.”
Para paman itu diam. Mungkin mereka ingin membantah, tapi tidak ada kata-kata yang bisa membenarkan tindakan keponakan mereka. Akhirnya, tanpa sepatah kata pun, mereka pergi, membiarkan kisah ini menjadi pelajaran yang hanya mereka pahami di dalam hati.
Tentang Kehormatan
Kehormatan bukan hanya soal diberi tempat, tapi juga soal bagaimana kita membalasnya. Pemuda dalam kisah ini mungkin tidak sadar bahwa sebuah ajakan makan siang bukan sekadar urusan perut, tapi bentuk penghormatan yang tak semua orang bisa dapatkan. Ia mengira bisa pergi begitu saja tanpa konsekuensi, hingga tangan Ar-Rabi’ mengingatkannya—dengan cara yang tak nyaman, tapi perlu.
Bukankah kita juga sering begitu? Diberi kesempatan, tapi ditolak dengan enteng. Dihargai, tapi rasanya seolah itu hal remeh. Kita lupa bahwa dunia tidak selalu memberi kesempatan kedua. Kadang-kadang, kita baru sadar setelah “tamparan” itu datang—dalam bentuk kegagalan, penyesalan, atau kehilangan sesuatu yang tak bisa dikembalikan lagi.