Wazanmedia.com – Melanjutkan kajian kitab Jam al-Jawami’ yang keempat kalinya.
Teks
وَمِنْ ثَمَّ لَا حُكْمَ إِلَّا لِلّٰهِ
Terjemah
Dari sana (berdasarkan definisi itu), tidak ada hukum kecuali bagi Allah.
Keywords
Hukum, Akal, Asy’ariyyah, Muktazilah, Teks, Rasionalitas
Anotasi
Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan definisi hukum menurut uṣūl fiqh, bahwa ia adalah khiṭāb Allah yang menuntut atau membolehkan orang mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Oleh karena hukum adalah khiṭāb Allah, maka hukum tidak bisa diketahui kecuali dari Allah. Manusia, dengan kemampuan akalnya, tidak mungkin mengetahui hukum suatu perbuatan menurut Allah kecuali melalui informasi (khiṭāb) yang Dia sampaikan lewat utusan-Nya.
Pernyataan as-Subky di atas menegaskan bahwa ia menganut pandangan akidah Asy’ariyyah. Diakui atau tidak, dalam banyak hal, kelompok ini menempatkan akal dalam posisi subordinat. Kelompok Muktazilah berdiri sebagai oposisi. Menurut kalangan ini, akal mampu mengetahui hukum menurut Allah walaupun tidak ada khiṭāb dari-Nya. Kalau akal saja mampu mengetahui keberadaan Allah (bahwa Allah itu wujud), begitu pun dengan hukum-Nya. Bagi Muktazilah, keberadaan wahyu (khiṭāb/teks) merupakan penguat bagi hukum yang ditetapkan oleh akal.
Baik Asy’ariyyah maupun Muktazilah sesungguhnya satu suara memosisikan Allah sebagai hākim, Dzat yang menjadi sumber hukum. Persoalannya, darimana atau dengan apa hukum-Nya diketahui? Apakah harus menunggu wahyu yang dibawa utusan-Nya ataukah cukup dengan potensi intelektual yang dianugerahkan-Nya dalam diri setiap manusia? Dalam hal inilah pandangan terbelah.
Perbedaan pandangan akidah tersebut telah membentuk cara pandang umat muslim hingga saat ini. Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang membutuhkan respon hukum Islam, secara mental paradigma Asy’ariyyah mengedepankan penelusuran teks-teks syariat sebagai basis argumen, sedangkan Muktazilah mengutamakan ‘intuisi moral’ yang tertanam dalam akal budi.
Walaupun mayoritas umat Islam menganut akidah Asy’ariyyah, kredit tetap perlu diberikan kepada akidah Muktazilah yang turut berperan mempertahankan dan menumbuhkan nyala rasionalitas dalam pemikiran umat muslim.