Hukum Salat Tarawih
Tarawih adalah salat sunnah muakkadah. Pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah menganjurkan muslimin untuk menyemarakkan Ramadlan tanpa paksaan.” Nabi bersabda:
من قام رمضان إيماناً واحتساباً، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa menyemarakkan bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan ketulusan, maka diampunilah dosanya yang lalu.” (HR. Enam Kitab Hadits)
Pada kesempatan yang berbeda Nabi bersabda:
وقالت عائشة: «صلى النبي صلّى الله عليه وسلم في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة، وكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة، فلم يخرج إليهم رسول الله صلّى الله عليه وسلم ، فلما أصبح قال:قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفترض عليكم ـ قال: وذلك في رمضان»
“`Aisyah berkata: Nabi saw salat di masjid pada suatu malam. Lalu ada sekolompok orang yang mengikutinya salat. Kemudian salat pula suatu kafilah; dan banyaklah orang yang salat. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tapi Nabi tidak keluar untuk bergabung dengan mereka. Di pagi harinya, beliau bersabda: Saya melihat apa yang kalain lakukan. Saya tidak keluar untuk bergabung dengan kalian hanya karena khawatir salat ini di-fardlukan atas kalian. Ini terjadi pada bulan Ramadlan.” (HR. Muslim)
Dua hadits ini memberikan kesan bahwa seorang muslim semestinya tidak terpaksa dalam melaksanakan salat tarawih. Hadits kedua bahkan menunjukkan betapa Nabi Muhammad saw sayang dengan ummatnya. Beliau khawatir salat tarawih itu di-fardlukan; beliau tidak ingin ummatnya menanggung kewajiban yang berat. Sewajarnya muslim berterimakasih kepada Nabinya dengan cara melakukan salat tarawih dengan sempurna, ikhlas, dan tidak asal-asalan.
Jumlah Raka`at Tarawih
Hadits riwayat Imam Bukhary tidak menyebutkan berapa bilangan pasti dari rakaat yang dilakukan jamaah Ubay bin Ka`ab waktu itu. Ulama terbagi dalam ketiga kelompok perihal jumlah rakaat tarawih. Kelompok pertama, berpendapat 20 rakaat ditambah 1 atau 3 rakaat salat witir. Kelompok ini merupakan mayoritas ulama.
Diantara dalil yang mereka ajukan adalah hadits:
وروى أبو بكر عبد العزيز في كتابه الشافي عن ابن عباس أن النبي صلّى الله عليه وسلم كان يصلي في شهر رمضان عشرين ركعة
“Abu Bakar `Abdul `Aziz meriwayatkan dari Ibn `Abbas dalam kitabnya, al-Syafi: sesungguhnya Nabi saw salat dua puluh rakaat pada bulan ramadlan.”
روى مالك عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمن عمر في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
“Malik meriwayatkan dari Yazid bin Rumman, dia berkata: orang-orang pada masa Umar melaksanakan salat dua puluh tiga rakaat di bulan Ramadlan.”
Diantara rahasia kenapa jumlah rakaat tarawih itu 20 rakaat adalah: sesungguhnya salat sunnah rawatib yang muakkadah itu adalah sepuluh rakaat. Maka pada bulan ramadlan, seoalah-olah dilipatkan karena bulan ini adalah bulan semangat untuk bersungguh-sungguh.
وعن علي «أنه أمر رجلاً يصلي بهم في رمضان عشرين ركعة» وهذا كالإجماع.
“Dari `Aly: sesugguhnya beliau seseorang salat dengan jamaah lain sebanyak dua puluh rakaat. ”
Kelompok kedua, berpendapat 36 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Pendapat ini terutama dipratekkan pada masa pemerintahan `Umar bin `Abdul `Aziz. Dasar kelompok adalah praktek penduduk Madinah awal.
Kelompok ketiga, berpendapat 8 rakaat ditambah 3 rakaat tarawih. Dalil yang diajukan kelompok ini adalah jawaban `Aisyah ketika ditaanya perihal salat Nabi di bulan Ramadlan.
عن عائشة أن النبي صلّى الله عليه وسلم لم يكن يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة
“Dari `Aisyah: sesungguhnya Nabi saw tidak pernah menambah salatnya lebih dari tiga belas rakaat baik pada bulan Ramadlan atau lainnya.”
Selain tiga kelompok ini, ada pula yang berpendapat bilangan salat tarawih itu adalah atau 40 rakaat ditambah 3 witir. Mereka mengikuti pada tradisi yang berlaku di Madinah pada masa itu, dimana masa itu adalah masa terbaik umat Islam.
Walhasil, berapapun yang dipilih semuanya bisa dibenarkan karena masing-masing kelompok memiliki dalil. Ibn Taimiyah berkata, “Adalah benar mengatakan semua pendapat di atas baik.” Imam Ahmad bahkan lebih tegas, “Barang siapa yang berpendapat bahwa salat tarawih itu ditentukan bilangan rakaatnya oleh Nabi, maka pasti itu pendapat yang salah.” Oleh karena itu, memperbanyak atau mempersedikit rakaat itu bergantung lama-tidaknya berdiri (bacaan surat al-Quran ketika berdiri).
Semakna dengan yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah dan Imam Ahmad perkataan al-Syaukany dalam kitabnya Nail al-Authar, “Hadits-hadits tentang tarawih menunjukkan disyari`atkannya salat Tarawih di bulan Ramadlan, baik sendirian atau berjamaah. Tak ada hadits yang menentukan bilangan rakaat tertentu dan surat-surat yang dibaca di dalamnya.”
Tata cara salat tarawih
Apakah setiap dua rakat salam atau setelah empat rakaat?
Ada yang berpendapat setiap dua rakaat harus salam. Menurut beberapa kalangan Syafi`iyah tidak sah jika dilakukan empat rakaat-empat rakaat atau lebih. Hanabilah berpendapat, salat tarawih dengan empat rakaat-empat rakaat tetap sah tapi makruh. Sedangkan menurut malikiyah, tetap sah namun seseorang telah meninggalkna kesunnahan tasyahhud di tiap rakaatnya.[1] Menurut Hanafiyah, disunnahkan untuk salam setelah dua rakaat, tapi boleh juga dengan melakukan seluruh rakaat tarawih dengan satu salam asal di tiap dua rakaat diselingi duduk.[2]
Surat apa saja yang dibaca di setiap rakaatnya?
Di atas telah disebutkan bahwa tidak ada hadits yang menentukan surat apa yang sebaiknya dibaca di tiap rakaat tarawih itu. Menurut Hanafiyah, sunnah di setiap rakat membaca sepuluh ayat al-Quran. Ini menurut riwayat Hasan dari Abu Hanifah. Pendapat kedua, membaca ayat yang biasa dibaca di salat maghrib, dimana biasanya berupa ayat-ayat pendek. Pendapat ketiga, membaca ayat seukuran ayat yang dibaca di salat isya’ karena tarawih mengiringinya. Pendapat keempat, membaca 20 ayat sampai 30 berdasarkan dari `Umar ra.
Demikianlah terjadi di zaman dahulu. Adapun saat sekarang ini, sebaiknya sang imam salat tarawih melihat kondisi jama`ahnya: apakah mereka semangat atau malas? Imam hendaknya membaca beberapa ayat yang sekiranya makmum tidak malas untuk berjamaah lagi. Sebab memperbanyak jamaah yang hadit lebih utama daripada memperbanyak bacaan ayat. Juga utama menyamakan ukuran ayat di seluruh tarawih dengan perkiraan. Menyamakan ukuran ayat antara rakaat pertama dengan kedua dalam sekali salam juga lebih utama, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Sedangkan menurut Muhammad, seyogianya ayat di rakaat pertama lebih panjang daripada di rakaat kedua, sebagaiman dalam salat fardlu.[3]
Sedangkan dalam madzhab Syafi`iyah disebutkan bahwa yang paling utama adalah membaca al-Quran dengan pembagian yang telah maklum (yang biasanya ditandai dengan huruf ع) atau membaca satu juz di tiap malam, sehingga di penutup Ramadlan khatam. Adapun membaca al-Takatsur sampai al-Lahab di rakaat pertama dan al-Ikhlash di rakaat kedua (kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah dan Mesir yang lalu diadopsi mayoritas penduduk Indonesia) berarti tidak melakukan yang lebih utama. Tentu saja yang demikian ini berlaku bagi orang yang hafal al-Quran. Bila yang dihapalkannya hanya memang itu, maka tidak bisa dikatakan tidak melakukan yang lebih utama.[4]
Apakah yang semestinya dilakukan di sela-sela antara salam?
Banyak terjadi di masyarakat Indonesia, bahwa di setiap selesai salam, salah satu makmum membaca shalawat dan beberapa bacaan yang mengandung doa untuk khalifah yang empat (di sebagian daerah dikenal dengan nida’ tarawih). Penulis belum menemukan reverensi perihal tersebut. Kendatipun tidak ada reverensinya misalnya, itu tidak berarti tidak baik.
Tarawih (تراويح) adalah bentuk jamak dari tarwih (ترويح), yang berarti istirahat, rehat, atau tempat beristirahat. Dengan demikian, salat tarawih adalah salat yang antara dua rakaatnya diselingi dengan istirahat. Barangkali bacaan-bacaan yang menyelingi itu sebagai bentuk istirahat tersebut. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa kata itu diam diambil dari murawahah (مراوحة) yang berarti diulang-ulang. Kalaupun nida` tarawih itu tidak disebut sebagai bentuk istirahat, menurut pendapat ini, tetap salat yang dilakukan penduduk Indonesisa disebut salat tarawih.[5]
Yang jelas, sebelum melakukan tarawih, seorang makmum disunnahkan membaca (اَلصَّلَاةَ جَامِعَةً).[6]
[1] Abdurrahmman al-Jaziry, al-Fiqh `ala al-Madzahib al-Arba`ah, juz: I, hlm: 26.
[2] Al-Sarakhsy, al-Mabsuth, juz: II, hllm: 148.
[3] Badai` al-Shanai`, juz: III, hlm: 150, Maktabah Syamilah.
[4] I`anat al-Thalibin, juz: I, hlm: 266-267, Maktabah Syamilah.
[5] Al-Mubda`, juz: II, hlm: 17.
[6] Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, juz: I, hlm: 34, Beirut: Dar al-Fikr.