Wazanmedia.com – Alkisah, penguasa itu datang kepada Imam Malik dan meminta restu kiranya kitab yang dikarang beliau, al-Muwaththa’, menjadi pedoman yang mengikat bagi rakyatnya. Semua warga negara wajib tunduk dan merujuk pada kitab yang konon diselesaikan dalam kurun dua dekade itu. Tanpa pikir panjang Imam Malik menampik maksud baik sang penguasa, beliau tegas menukas.
Sikap Imam Malik dan Syafi’i
“Jangan lakukan itu, Tuan. Orang-orang Islam sudah kenyang dengan banyak pendapat ahli hukum dan kaya dengan sabda-sabda Nabi. Biarkan mereka tetap memilih apa yang mereka pilih untuk mereka sendiri.” (Shinā’at al-Iftā’, 76)
Agaknya alasan penolakan ini, selain kerendahan hati, juga Imam Malik bukan orang atas PD dengan kerja-kerja ijtihadnya. “Aku hanya manusia biasa. Bisa salah bisa benar. Nalarlah pendapatku. Kalau memang sesuai dengan Alquran dan al-Sunnah, ambil. Kalau tidak sesuai, abaikan.” (al-Qaul al-Mufīd fi Adillatil Ijtihād wa al-Taqlīd, 42)
Karakter Imam Malik menurun kepada santri terbaiknya, Imam al-Syafi’iy. Suatu pagi atau sore, beliau menyampaikan, “Apabila kalian temukan dalam kitabku hal yang menyalahi sunnah Rasulullah saw., ambillah ia dan abaikan pendapatku.” (al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab, 1/104) Perkataan beliau serupa ini banyak dengan ragam diksinya. Misalnya dikutip juga pernyataan beliau, “Setiap masalah yang sudah diterangkan hadis sahih dan berbeda dengan pendapatku, maka aku tarik kembali pendapatku, selagi aku hidup atau sudah mati.” (Īqādh al-Himam, 104)
Guru dan santri sama. Alih-alih memasarkan pendapat, mereka justru mengingatkan kalau pendapat mereka mungkin salah.
Sikap Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
Lebih awal dari guru-santri barusan, Abu Hanifah memberikan teladan yang sama. Beliau mengingatkan, “Bila pendapatku menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul saw., abaikan pendapatku.” (Īqādh al-Himam Ulī al-Abshār, 62) Abu Yusuf salah satu santrinya lebih tegas lagi, “Seseorang tidak boleh mengambil pendapatku selagi dia belum tahu dari mana aku mengambilnya.” (Irsyād al-Niqād ila Taisīr al-Ijtihād, 145).
Si bungsu dari Fantastic Four Fikih, Ahmad bin Hanbal, mengutarakan hal serupa secara lebih tegas lagi, dalam kalam negasi, “Jangan bertaklid kepadaku, jangan bertaklid kepada Malik, jangan pada al-Syafi’iy, tidak juga al-Auza’iy dan al-Tsauriy. Tapi, ambillah dari sumber tempat mereka mengambil.” (I’lām al-Muwaqqi‘īn, 2/139).
Bagi Ahmad, semua pendapat mereka sama saja. Tidak perlu dielu-elukan mana yang lebih kuat. Yang perlu adalah mendorong santri atau jamaahnya dapat memutuskan pendapatnya sendiri berdasarkan sumbernya langsung, Alquran dan al-Sunnah; atau membandingkan pendapat-pendapat mereka berdasarkan dalil dan nalar yang otoritatif. “Pendapat al-Auza’iy, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Bagiku sama saja, yang benar-benar hujjah cuma atsar (tradisi Nabi saw dan sahabat).” (Īqādh al-Himam, 21)
Tentu, semua kutipan di atas tidak berarti justifikasi bagi gerakan anti mazhab, sebagaimana tidak jarang disapalahpahami demikian. Tidak juga ajakan gombal untuk “kembali kepada Alquran dan al-Sunnah” seperti didengungkan segelintir kelompok.
Hemat saya, pernyataan-pernyatan Imam Mazhab itu merupakan penampakan dari keluhuran budi, kerendahhatian, dan sekaligus kehati-hatian. Betapa pun mereka yakin dengan ijtihad mereka, dengan kebenaran pendapatnya, mereka tetap mawas diri dan menyarankan orang lain supaya mampu secara mandiri membuat pilihan sendiri berdasarkan teks suci syariat.
2 Hal yang Menjadi Perhatian
Tidak masuk akal mereka berpikir keras dalam ijtihad mereka, lalu mereka tuliskan atau diktikan kepada santrinya, dan kemudian melarang orang lain berpedoman kepadanya. Memang bukan ini tujuan mereka dengan pernyataan-pernyataan yang mirip-mirip itu. Pesan mereka berpusat pada dua hal. Pertama, kerendahan hati dan kehati-hatian mereka. Ini adalah pesan tersiratnya. Kedua, hendaknya setiap orang berusaha menjatuhkan pendapatnya sendiri, menentukan pilihannya sendiri, berdasarkan kemampuan akalnya memahami wahyu.
Mereka, tokoh sentral empat mazhab ini, sadar betul bahwa fatwa, putusan, dan ijtihad hukum mereka menentukan bagi kehidupan umat muslim, bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat. Sepenting itu dan sekrusial itu, mereka tidak memperingatkan, apalagi mewajibkan, orang lain untuk mengikuti hasil kerja ilmiah mereka. Saya belum mendapatkan riwayat begini misalnya, “Sebaiknya kalian ikut aku saja, karena saya yakin, pilihanku merupakan yang paling ringan hisabnya kelak di akhirat.”
Mereka yakin bahwa pendapat mereka benar. Imam-imam Mazhab itu juga yakin bahwa mereka sahih. Beliau-beliau yakin kalau pilihan hukum mereka didasarkan atas keikhlasan mereka memahami wahyu. Pun mereka yakin kalau ijtihad mereka membawa kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Keyakinan yang bertingkat-tingkat ini, siapa nyana, menghasilkan “sikap keraguan” atas hasil kerja mereka sendiri. Ya, demikianlah sikap ilmiahnya.
Aku hanya manusia biasa, kata Imam Malik. Jangan taklid aku, kata Imam Ahmad. Sisihkan pendapatku kalau bertentangan dengan al-Sunnah, kata Imam al-Syafi’iy. Jangan ambil pendapatku jika kau tidak tahu mengapa aku berpendapat demikian, kata Imam Abu Hanifah atau Abu Yusuf. Demikianlah sikap Imam Mazhab dalam mengasosiasikan pendapatnya.