Pernah Nabi Muhammad saw. berkata tentang birrul walidain. Kita baca:
اَحَبُّ الْعَمَـلِ اِلَى اللهِ الصَّلَاةُ عَلٰى وَقْـتِهَا, ثُـمَّ بِرُّالْوَالِدَيْـنِ, ثُـمَّ الْجِــهَادُ فِى سَـبِيْــلِ اللهِ
“Amalan yang sangat disukai Allah, ialah: shalat pada waktunya, sesudah itu berbakti kepada ibu bapak, sesudah itu berjihad di jalan Allah.” (H.R. Bukhari Muslim)
Prof. Quraish Shihab menulis dalam Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (2007), bahwa kata al-barr (الْبَرّ) terdiri dari huruf-huruf ba’ dan ra’. Salah satu makna yang dikandungnya ialah kebenaran, dari sini lahir makna ketaatan, yakni membenarkan yang memerintahnya dengan tingkah laku. “Termasuk ke dalam pengertian ini , seseorang yang melakukan perbuatan taat kepada Allah swt.,” lanjut di Ensiklopedia Al-Qur’an, “karena untuk melakukan perbuatan taat, seseorang merasa bebas (tanpa harus menyembunyikan diri dari orang lain).”
Adapun kata al-birr (الْبِرُّ) merupakan pecahan dari al-barr yang berarti at-tawassu’ fi fi’lil-khair (kelapangan di dalam mengerjakan kebaikan). Menurut Al-Ashfahani, kata ini meliputi dua aspek, yakni: “Pertama, pekerjaan hati seperti keyakinan (iktikad) yang benar dan niat yang suci. Kedua, pekerjaan anggota badan seperti ibadah kepada Allah, menginfakkan harta di jalan Allah, dll.”
Contoh ialah birrul-walidain, yang berarti at-tawassu’ fil-ihsân ilaihimâ (keluasan untuk berbuat baik/ihsan kepada kedua ibu bapak). Seorang anak beramal ihsan kepada kedua orang tua dibuktikan dengan perbuatan fisik aktivitas fisik, seperti mencuci piring kotor, menyiram tanaman, menemani adik bermain, membuang sampah ke tempat sampah. Selain itu, keyakinan yang benar dan niat yang suci membuat amal-bakti itu lebih bermakna bagi seorang anak. Berbakti kepada ibu bapak, sejak anak-anak sampai dewasa, membawa kebahagiaan.
Bentuknya yang lain, tanpa alif-lam, terdapat dalam Qs. Maryam ayat 13-14:
وَكَانَ تَقِـيًا وَبَرًّا بِوَا لِدَيْـهِ وَلَمْ يَـكُنْ جَبَّارًا عَـصِيًّا
“Dia adalah seorang yang bertakwa, berbakti kepada kedua orang tuanya dan dia bukan orang yang sombong lagi durhaka.”
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Yahya as., putra Nabi Zakariya as. Meski pada mulanya Nabi Zakariya tak yakin lagi akan mendapatkan keturunan, mendapat kabar gembira bahwa akan lahir dari rahim istrinya seorang putra yang namanya diberikan langsung oleh Allah swt.
Nabi Yahya adalah seorang yang bertakwa kepada Allah swt., tekun beribadah, dan memegang teguh ajaran kitab Taurat sejak usia muda. Ia seorang hamba-Nya yang kelak melanjutkan tugas kenabian sang ayah.
Ketakwaan ini lalu diikuti dengan sifat barran. Dalam Tafsir Al-Azhar (2015), Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), menulis tentang ayat ini: “Di samping jiwanya yang suci bersih dan takwa kepada Allah, diisinya pula syarat hidup yang penting, yakni hormat dan bakti kepada kedua orang tua.”
Lahir sebagai anak satu-satunya, Yahya tidak sombong dan gemar menyakiti orang tuanya yang tua renta. Padahal, menurut ukuran sinetron tayang di televisi, keadaan seperti itu ideal sebagai pendorong seorang anak durhaka kepada ibu bapaknya. Buya Hamka melanjutkan: “Maka khidmat kepada orang tua ini pun adalah sebagian dari hidup Nabi Yahya.”
Seorang nabi yang mulia, rendah hati dan lemah-lembut; penolong yang lemah dan penunjuk ke jalan yang benar; bertakwa kepada Allah, terhindar dari segala maksiat dan perbuatan tercela; dipuji oleh Tuhannya: “Dan selamat sejahteralah atasnya di hari dia dilahirkan.”
Di ayat yang lain, birrul walidain ialah beramal ihsan kepada kedua ibu bapak. Allah swt. berfirman dalam Qs. Al-Isra’ ayat 23:
وَقَـضٰى رَبُّـكَ اَنْ لَّاتَعْبُـدُوا اِلَّا اِيَّاهُ وَبِا لْوَالِدَ يْـنِ اِحْسَانً
“Dan Tuhan telah menetapkan supaya kamu tiada menyembah selain daripada-Nya dan supaya berbuat ihsan kepada kedua ibu bapak.”
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Al-Islam Jilid II (1977):
“Ihsan yang wajib kita lakukan (laksanakan dengan seksama) terhadap ibu bapak yang diwajibkan oleh Dienul Fitrah ini, ialah: ‘berlaku sopan dan santun terhadapnya dengan sepenuh-penuhnya kesantunan dan kesopanan kita baik dalam pembicaraan, maupun dalam perbuatan… Di samping itu hendaklah kita memenuhi segala keperluannya menurut kesanggupan yang diberikan Tuhan kepada kita’.”
Salah satu hak orang tua yang harus kita penuhi, menurutnya, ialah “apabila ia memanggil kita, hendaklah kita sahut, dan kita datangi.” Sebaliknya, Allah swt. melarang kita membantah, melawan, bahkan sekedar mengucap “ah!” kepada kedua ibu bapak.
Sayangnya, di hadapan gawai pintar, sering terlihat anak-anak mengabaikan larangan ini dengan mudah. Dipanggil tak menyahut, diajak bicara tak menoleh. Nilai-nilai kesopanan digerus perkembangan teknologi. Mendurhakai orang tua bisa rutin dalam keseharian.
Sampai sini, kita memahami takwa kepada Allah tak terpisahkan dari berbakti kepada orang tua. Semakin bertambah usia, semakin kita mendekatkan diri kepada-Nya. Lebih jauh, kita berharap mampu mengerjakan dua amalan lain yang amat disukai Allah: ash-shalâtu ‘alâ waqtihâ (shalat pada waktunya) dan al-jihâdu fi sabilillâh (berjihad di jalan Allah).