Makna Ramadhan
Ramadhan terambil dari akar kata yang berarti ‘membakar’ atau ‘mengasah’. Ia dinamai demikian sebab pada bulan ini dosa-dosa manusia pupus, habis terbakar, akibat kesadaran dan amal salehnya. Atau disebut demikian karena pada bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk mengasah dan mengasuh jiwa manusia. Bulan ramadhan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan. Semua orang dipersilahkan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya. Bagi yang lalai, tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan tidak berguna. (M. Quraisy Shihab, Lentera Hati, hlm. 170)
Dasar Hukum dan Ketentuan Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan disyariatkan pada tanggal 10 Sya’ban di tahun kedua setelah hijrah. Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi umat muslim. Berdasarkan firman Allah swt.,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.“(QS. Al-Baqarah[2]: 183)
Dan hadits Nabi Muhammad saw.,
بُنِيَ الإِسْلاَمْ عَلى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلَّا اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ ، وإقَامُ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءُ الزكَاةِ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ، وَحِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
“Islam itu didasarkan atas lima hal, yaitu bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu.”(HR. Muttafaq ‘Alaih)
Syarat sah dalam berpuasa ada empat; (1) Islam (2) berakal (3) bersih dari haid dan nifas (4) mengetahui masuknya waktu puasa. Dari syarat-syarat ini diketahui bahwa orang kafir, orang gila, perempuan haid dan nifas, dan orang yang tak mengetahui masuknya waktu berpuasa, puasanya tidak sah.
Syarat wajib puasa ada tiga; (1) Islam (2) mukallaf (3) mampu berpuasa. Dari syarat-syarat ini diketahui bahwa orang kafir, anak kecil, orang gila, epilepsi (mughman alaih), orang mabuk, dan orang yang tidak mampu melakukan puasa sebab sudah tua atau sakit tidak wajib berpuasa.
Rukun puasa ada dua, yaitu;
(1) Niat. Sebagaimana diketahui, niat harus diucapkan dalam hati dan tidak cukup hanya di lisan. Waktu berniat adalah sejak matahari terbenam sampai terbit fajar. Jika tidak berniat di waktu tersebut, maka puasa yang dilakukan sia-sia (batal). Niat ini harus diucapkan di setiap malam. Ini berdasarkan sabda Nabi,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ النِّيَةَ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa tidak membermalamkan niatnya, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Nasa’I, ad-Darimy, al-Baihaqi, dan Daruquthni).
Niat puasa yang paling sempurna dalam berbahasa arab adalah sebagai berikut;
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالى
Niat ini wajib ditentukan (ta’yin). Jika puasa fardlu, maka harus ditentukan apakah ramadhan, nadzar, atau kafarat.
Catatan: Menurut kaidah tata bahasa arab, kata ‘Ramadhan’ pada niat itu dibaca jer dengan kasrah sebab diidlafahkan dengan kalimat (isim isyarah) setelahnya. (I’anah ath-Thalibin, juz 2, hlm. 253)
(2) Menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa sejak terbitnya matahari sampai terbenam.
Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Puasa
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa ada dua macam. Pertama, mewajibkan qadla’ saja. Ini berlaku untuk selain melakukan senggama. Kedua, mewajibkan qadla’, sekaligus kafarat, yaitu senggama. Secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut;
- Masuknya suatu benda ke dalam lubang (jauf) yang ada pada tubuh. Yang dimaksud lubang (jauf) di sini adalah lubang yang terbuka seperti tenggorokan, lubang hidung, lubang telinga, lubang kemaluan, atau lubang yang tembus ke bagian dalam kepala. Jika ada suatu benda yang masuk ke dalam lubang-lubang tersebut, maka puasanya batal.
Yang perlu diperhatikan, sesuatu yang masuk ke dalam lubang-lubang tersebut hingga membatalkan puasa adalah berupa benda. Jadi, jika hanya berupa angin atau udara yang masuk ke hidung misalnya, tidak lantas membatalkan puasa. Begitu pula puasanya tidak batal bagi orang yang mencicipi makanan tanpa ada sesuatu dari makanan tersebut yang masuk.
Di samping itu, masuknya benda tersebut bisa membatalkan apabila disengaja. Jika makan atau minum karena lupa jika sedang puasa, maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw.,
مَنْ اَكَلَ اَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ رواه الجماعة عن ابي هريرة
“Barang siapa makan atau minum dalam kondisi lupa, sempurnakanlah puasanya, sebab Allah-lah yang memberinya makan dan minum.”
Bagaimana dengan infus atau suntik? Keduanya tentu tidak dimasukkan melalui lubang-lubang di atas. Maka dari itu, jika suntikan tidak dimasukkan ke dalam lubang-lubang tersebut maka tidak sampai membatalkan puasa. Namun, untuk infus, al-Qardlawi membaginya menjadi tiga macam; infus yang digunakan untuk pengobatan (at-tadawi), untuk menambah kekuatan (at-taqwiyyah), dan sebagai ganti dari makanan pokok (at-taghaddzi).
Jika infus diperuntukkan sebagai pengobatan, misalnya untuk menurunkan panas badan, atau menambah kekuatan, misalnya infus yang berisi vitamin dan kalsium, ulama kontemporer sepakat kalau itu tidak membatalkan puasa. Sebab kandungan infus tersebut tidak masuk ke dalam tubuh melalui lobang terbuka. Lagi pula keduanya tidak mengenyangkan.
Sedangkan infus yang berfungsi sebagai ganti dari makanan pokok, artinya untuk mengenyangkan, dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama mengatakan dapat membatalkan puasa karena infus tersebut membawa makanan yang dapat mengenyangkan ke dalam tubuh. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan tidak membatalkan sebab ia tidak masuk melalui lubang yang terbuka dari tubuh. (Fiqh Shiyam, hlm. 85-86, Tuhfatu at-Thullab, 51)
- Keluar mani sebab persentuhan (mubasyarah). Seperti onani, menyentuh kulit seseorang dengan syahwat atau mencium tanpa ada sesuatu yang menghalangi di antara kulit sehingga keluar mani, maka itu dapat membatalkan puasa. Sedangkan jika seseorang keluar mani sebab mengkhayal, atau mimpi basah, maka tidak membatalkan puasa. (al-Iqna’, juz 1, hlm. 475)
- Muntah dengan disengaja (istiqa’ah). Oleh karena itu, jika seseorang benar-benar muntah tanpa diusahakan, maka tidak membatalkan puasa.
- Haid, nifas, gila, dan murtad.
- Melakukan senggama baik pada lubang depan (qubul) maupun lubang belakang (dubur). Jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui bahwa itiu dapat membatalkan puasa, maka puasanya batal dan harus membayar kafarat. Kafarat melakukan senggama di siang hari bulan Ramadhan adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu, maka harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka harus memberi makan 60 orang miskin.
Siapa yang harus membayar kafarat? Jumhur mengatakan, yang harus membayar kafarat adalah keduanya, baik si laki-laki maupun yang perempuan senyampang mereka melakukannya dengan sengaja dan mengetahui bahwa itu tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, jika senggama dilakukan dengan tidak sengaja, atau pada malam harinya tidak berniat puasa, maka keduanya tidak wajib menunaikan kafarat. Di samping itu, apabila si perempuan dipaksa (diperkosa) oleh si laki-laki, maka yang wajib qadla’ sekaligus membayar kafarat hanya si laki-laki.
Sedangkan menurut kalangan Syafiiyah, si perempuan tidak wajib membayar kafarat, baik dalam dipaksa atau tidak. Hanya tetap wajib qadla’. (Fiqh Shiyam, 96-97)
Untuk Siapa Keringanan Tidak Berpuasa?
- Orang sakit mendapat keringanan untuk tidak berpuasa ramadhan namun harus tetap mengqadla’nya ketika sudah tidak sakit. Menurut mayoritas ahli fiqh (jumhur), sakit yang membolehkan untuk tidak berpuasa adalah sakit yang mengandung unsur masyaqqah, artinya sakit yang membahayakan diri jika terus berpuasa, atau sakit yang penyakitnya bisa bertambah jika terus berpuasa, atau bisa terlambat sembuh jika berpuasa. Sakit seperti inilah yang membolehkan seseorang mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa. Jadi, jika hanya sakit kuku atau panu, tidak ada keringanan.
Jika ternyata tetap mampu berpuasa di kala sakit, manakah yang lebih baik, puasa atau tidak? menurut jumhur (selain Imam Ahmad), yang lebih utama bagi orang yang mampu adalah tetap berpuasa. Sedangkan bagi yang tidak mampu, lebih baik tidak berpuasa. Karena Allah senang terhadap hamba yang mengerjakan keringanan yang diberikan oleh-Nya. (Tafsir Ayat Ahkam, juz 1, hlm. 142-143, 146)
- Musafir (orang yang bepergian) mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Keringanan ini diberikan apabila mengandung unsur masyaqqah. Tentu, perjalanan yang mengandung masyaqqah ini adalah perjalanan yang jauh. Soal berapa jarak yang dapat membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa, ulama masih berselisih pendapat. Imam Syafi’i mengatakan jaraknya harus mencapai 16 farsakh. Menurut Wahbah Zuhaily, 16 farsakh sama dengan 89 km (88,704 km). jika berjalan, bisa ditempuh kira-kira selama dua hari dua malam. (Tafsir Ayat Ahkam, juz 1, hlm. 143, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, juz 2, hlm. 477).
- Orang tua renta dan terkena penyakit kronis tidak wajib berpuasa juga mengqadla’nya. ia hanya berkewajiban membayar fidyah. Fidyah yang harus dibayar adalah satu mud perhari yang ditinggalkan. Menurut Ali al-Maqrizy, 1 mud sama dengan 510 gram. (al-Iqna’, juz 1, hlm. 487, Kitab al-Awzan wa al-Akyal as-Syar’iyyah, hlm. 76)
- Ibu hamil dan menyusui mendapatkan rukhshah untuk tidak berpuasa. Walaupun demikian, mereka tetap berkewajiban untuk mengqadla’ atau membayar fidyah, atau bahkan kedua-duanya.
Dalam hal ini ulama merinci sebagai berikut; jika keduanya (ibu hamil dan menyusui) merasa khawatir terhadap dirinya dan juga bayinya, atau khawatir terhadap kondisi dirinya sendiri, maka mereka hanya wajib mengqadla’ tanpa harus membayar fidyah.
Sedangkan bagi mereka yang khawatir terhadap kesehatan bayinya, Imam Nawawi berpendapat, di samping mengqadla’ juga harus membayar fidyah. (al-Majmu’, juz 4, hlm. 267)
- Bagi pekerja berat, yaitu mereka yang dengan pekerjaannya benar-benar merasakan kesulitan yang teramat sangat, sementara hanya itulah satu-satunya pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, mereka diperkenankan tidak berpuasa di bulan Ramadhan namun tetap berkewajiban mengganti puasa yang telah ditinggalkannya. Untuk pekerja ringan, mereka tidak mendapat jatah rukhshah, karena mereka dengan pekerjaannya tidak merasakan kesulitan. (Fathu al-Qadir, juz 2, hlm. 229)
Bagaimana jika mereka yang wajib menqadla’ akhirnya tidak sempat mengqadla’ sampai mati? Maka walinya harus memberi makan orang miskin tiap hari yang ditinggalkan sebanyak satu mud. (al-Iqna’, juz 1, hlm. 486)