Kata ulama acapkali diasosiasikan kepada orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu agama dan ketaatan yang tinggi terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam dirinya minimal terdapat dua hal mulia yang berpadu, yaitu ilmu dan ketundukan kepada Tuhan.[1] Ulama sering dicap sebagai orang suci selaku pewaris Nabi.[2] Tindakan serta ucapan mereka dianggap merepresentasikan ajaran-ajaran agama yang dibawa oleh Nabi. Apapun yang keluar dari mereka adalah sesuatu yang suci dan mesti diikuti sebagaimana Nabi.
Faktanya, anggapan ini dianut oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dapat diketahui melalui fenomena masyarakat belakangan ini yang gemar melakukan pembelaan terhadap ulama. Bukan hanya sosoknya, fatwa-fatwanya pun juga turut dibela alias dipaksakan agar dianut oleh seluruh masyarakat. Barangsiapa yang tidak mengikuti fatwa ulama, maka dia telah keluar dari koridor keislaman. Padahal, sejatinya fatwa bersifat opsional. Artinya, fatwa boleh-boleh diambil untuk diikuti atau tidak. Terdapat beberapa kelompok umat Islam yang menganggap bahwa penegakan hukum terhadap ulama merupakan bentuk kriminalisasi terhadap ulama. Menurut mereka, mustahil ada ulama melakukan tindakan yang melawan hukum, apalagi hukum agama.
Disadari atau tidak, telah muncul sebuah asumsi bahwa segala sesuatu yang keluar dari orang-orang yang diidentifikasi sebagai ulama adalah kebenaran. Ulama tidak mungkin melakukan kesalahan atau perilaku yang melanggar hukum. Mereka adalah manusia setengah dewa. Boleh jadi pula, sebagian masyarakat menganggap bahwa ulama pasti kebal dari godaan Iblis yang memang tercipta untuk menguji ketaatan manusia kepada Tuhan.
Adalah Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin al-Jawzi[3], yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi, salah seorang ulama muslim bermazhab fikih Hanbali yang berhasil “menelanjangi” tipu daya iblis kepada umat manusia. Dalam salah satu karyanya yang berjudul Talbis Iblis, ia mengurai beragam makar serta siasat iblis untuk mengelabui manusia termasuk kepada mereka yang dianggap sebagai ulama.
Melalui karyanya ini, al-Jawzi menyampaikan bahwa siapapun tidak bisa selamanya terhindar atau kebal dari tipu daya iblis. Iblis selalu mencari cara dengan cerdik nan tersamarkan untuk memalingkan manusia dari kesejatian (kebenaran dan keikhlasan). Iblis berhasil memperdayai seringkali bukan lewat kelemahan yang dimiliki umat manusia, melainkan lewat kelebihan yang terdapat dalam diri mereka. Para ulama, misalnya, bisa saja tidak sadar kalau mereka diperdaya oleh iblis karena iblis berhasil mengeksploitasi kelebihan berupa ilmu yang ada pada diri ulama. Secara khusus, Tulisan ini hendak mengurai kritik Ibn al-Jawzi terhadap para ulama yang terlena oleh rayuan Iblis.
Memahami Talbis Iblis
Maksud dari talbis adalah menampakkan sesuatu yang buruk dalam wadah kebaikan. Talbis merupakan upaya memoles keburukan untuk tampil seolah-olah ia adalah kebaikan. orang-orang yang yang terpedaya dengan polesan bungkus kebaikan padahal isinya adalah keburukan tersebut adalah orang-orang yang tertipu (al-magrurin). Mengapa seseorang bisa terpedaya oleh Iblis? Sebab iblis berhasil mengkaburkan keburukan itu dengan polesan kebaikan.[4]
Iblis adalah makhluk yang selalu mencari kesempatan untuk memperdaya manusia. Besar kecilnya kemungkinan keberhasilan iblis dalam melakukan tipu daya bergantung pada seberapa besar kecerdasan atau kesadaran spiritual yang dimiliki seseorang. Jika kesadaran spiritual menurun, maka kesempatan iblis untuk menjerumuskan manusia dengan tipu dayanya semakin terbuka lebar. Begitu juga sebaliknya.[5]
Menurut hadits yang dikutip oleh al-Jawzi, bahwa setan selalu bersama manusia. Artinya, setan selalu berusaha untuk menjerumuskan manusia. Bahkan manusia agung sekaliber Rasulullah pun tidak luput dari tipu daya iblis. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:
عن عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدَهَا لَيْلا قَالَتْ فَغِرْتُ عَلَيْهِ فَجَاءَ فَرَأَى مَا أَصْنَعُ فَقَالَ: “مَالَكِ يَا عَائِشَةُ أَغَرْتِ” فَقُلْتُ وَمَالِي لا يُغَارُ مِثْلِي على مثلك فقال: “أو قد جَاءَكِ شَيْطَانُكِ” قَالَتْ يَا رَسُولَ الله أو معي شَيْطَانٌ قَالَ: “نَعَمْ” قُلْتُ وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ قَالَ: “نَعَمْ” قُلْتُ وَمَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: “نَعَمْ وَلَكِنَّ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَعَانَنِي عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ”
“Dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, bahwasanya pada suatu malam Rasulullah SAW pernah keluar dari rumah Aisyah. Aisyah berkata, “Saya merasa cemburu (karena beliau keluar pada malam
itu).” Kemudian Rasulullah SAW datang dan akhirnya beliau mengerti dengan sikap saya seraya bertanya, “Hai Aisyah, sebenarnya ada apa denganmu? Apakah kamu merasa cemburu?” Saya (Aisyah) menjawab, “Bagaimana orang seperti saya tidak cemburu dengan orang seperti engkau ya Rasulullah?” Lalu Rasulullah berkata, “Apakah kamu didatangi oleh syetanmu?” Saya balik bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saya diikuti oleh syetan?” Beliau menjawab, “Ya.” Saya bertanya lagi, “Apakah setiap orang akan selalu disertai oleh syetan?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Saya bertanya, “Demikian juga dengan dirimu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya. Tetapi Tuhanku menolongku hingga aku selamat (syetan tidak mampu untuk menggodaku).”
Dalam al-Qur’an banyak terdapat penjelasan mengenai perilaku setan serta perintah untuk menghindari tipu dayanya. Setan berupaya menakut-nakuti dengan kemiskinan serta menyuruh untuk melakukan perbuatan keji (QS. Al-Baqarah: 169, 268), menyesatkan manusia dari jalan kebenaran (QS. An-Nisa’: 60), mengobarkan permusuhan dan kebencian di antaranya melalui minum-minuman keras dan perjudian serta melalaikan dari perintah Tuhan (QS. al-Ma’idah: 91). Manusia diperintah oleh Allah untuk tidak mengikuti langkah-langkah setan.
Tipu Daya Iblis Terhadap Ulama[6]
Dalam kitab Talbis al-Iblis, terdapat bab khusus yang menjelaskan tentang tipuan iblis terhadap orang-orang yang diidentifikasi sebagai ulama. Ibn al-Jawzi sendiri sebenarnya tidak memberikan definisi secara akurat mengenai hakikat (mahiyah) ulama itu. Ia hanya menyebutkan referent (afrad/mashadaq) dari kata ulama. Menurut penjelasannya, yang termasuk ulama adalah ahli baca al-Qur’an (al-Qurra’), ahli atau kolektor hadits (ashhab al-hadits), ahli fikih (al-fuqaha’), bijak bestari dan penceramah (al-Qusshash dan al-Wu’adz), ahli bahasa dan sastra (ahl al-lughah wa al-adab), penyair (as-syu’ara’), dan orang-orang yang memiliki keahlian lengkap terutama di bidang agama. Melihat referent yang diajukan oleh al-Jawzi, dapat dipahami bahwa ulama menurutnya adalah orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu tertentu terutama ilmu-ilmu agama dan bahasa yang berkaitan dengan teks-teks agama.
Al-Jawzi memberikan pengantar bahwa tipu daya iblis bisa masuk lewat jalur yang jelas-jelas dapat diketahui dan lewat jalur yang samar-samar. Kepada para ulama, tipu daya iblis rentan masuk lewat jalur yang kedua sehingga tidak disadari. Kejahatan atau keburukan yang menjadi akibat dari tipu daya iblis ini tersamarkan oleh ilmu yang dimiliki para ulama. Pada titik inilah keluhuran ilmu menjadi kamuflase dari perilaku atau tipu daya setan. Al-Jawzi mengkritik para ulama yang terpedaya oleh tipu daya iblis ini.
- Talbis Iblis terhadap Ahli Baca al-Qur’an (al-Qurra’)
Al-Jawzi mengkritik para ahli qira’ah yang menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan al-Qur’an yang nyeleneh (al-qiraah as-syadzah), baik mencari tahu, membaca, mengajarkan, atau menulis karangan mengenai bacaan-bacaan itu. Sayangnya, karena terlalu menyibukkan diri dengan hal tersebut, akhirnya mereka abai mempelajari hal-hal yang wajib. Ia juga mengkritik para ahli baca al-Qur’an yang tidak mengerti kandungan bacaannya dan yang tidak mengamalkan isinya.
Lantaran keahlian yang mereka miliki, mereka selalu ingin menjadi yang terdepan dalam banyak hal meskipun dalam ranah-ranah yang tidak mereka kuasai, seperti berfatwa. Di samping itu, mereka juga lupa akan kebodohan yang menjangkiti diri mereka sehingga enggan untuk belajar kepada para ulama. Jelasnya, para qari’ seringkali merasa cukup dengan keahlian baca qur’an yang mereka miliki sehingga melupakan hal-hal yang bersifat prioritas atau lebih penting.
Bagi al-Jawzi, ahli baca al-Qur’an itu seharusnya memprioritaskan hal-hal yang wajib mereka pelajari daripada menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan nyeleneh. Pengalamannya menuturkan, bahwa ia seringkali melihat para imam masjid yang ahli dalam membaca al-Qur’an tetapi tidak mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan shalatnya. Di samping itu, semestinya ahli baca qur’an juga mengerti makna dari apa yang mereka baca serta mengamalkannya. Menyitir al-Hasan al-Basri, bahwa al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan kandungannya dalam kehidupan, bukan hanya sekadar dibaca. Ketika seorang ahli baca qur’an merasa cukup dengan keahlian yang mereka miliki sehingga mengabaikan hal-hal yang prioritas, hanya membaca atau menghafal saja tanpa mengerti dan mengamalkan kandungan al-Qur’an, maka ia telah terlena dengan tipu daya iblis.
Kritik juga disematkan al-Jawzi kepada para imam yang dalam shalatnya membaca qira’ah syaddzah dan mengabaikan qira’ah yang mutawatirah demi mendapatkan popularitas serta pujian di mata manusia.[7] Ia juga mengkritik para imam yang mencampur aduk variasi bacaan al-Qur’an sekali baca karena itu merusak susunan al-Qur’an. Ia juga mengkritik tradisi menyalakan api unggun untuk merayakan khataman al-qur’an. Al-jawzi menilai tradisi ini salah karena membuang-buang harta dan menyerupai kaum Majusi. Sayangnya, berkat tipu daya iblis, para ahli qira’ah ini terpedaya hingga menganggap bahwa tradisi mereka sebagai bentuk syiar kemuliaan Islam. Menurut al-Jawzi, untuk menunjukkan kemulian Islam seharunya dengan sesuatu yang benar menurut syari’at Islam.
Sebagian para ahli baca qur’an ada yang membangga-banggakan banyaknya khataman yang mereka lakukan. Iblis seolah-olah merasuki mereka dengan iming-iming bahwa semakin banyak khataman maka semakin banyak pula pahala yang didapat. Pada masa al-Jawzi, khataman al-Qur’an ini telah menjadi tradisi di daerahnya. Bahkan, ia sempat melihat seorang syaikh yang memberdirikan salah seorang muridnya agar ia membaca al-Qur’an sepanjang hari sebanyak tiga kali khataman. Kalau kurang dari itu, ia mendapat cercaan dan jika berhasil menyelesaikan, dia mendapatkan pujian. Wanti-wanti juga diberikan al-Jawzi terhadap para pembaca al-Qur’an yang menguasai variasi lagu (qira’ah al-ilhan) bacaannya. Jika tidak waspada dengan tipu daya setan, bisa-bisa bacaan al-Qur’an lebih mirip dengan nyanyian.
Para ahli baca Qur’an juga rentan menganggap enteng melakukan dosa-dosa, seperti menggibah sesamanya. Ada juga yang menganggap bahwa menghafal al-Qur’an dapat mengangkat kemungkinan siksa atas mereka. Banyak para penghafal al-Qur’an menganggap diri mereka kebal dari siksa api neraka berdasarkan hadits berikut:
لَوْ جُعِلَ الْقُرْآنُ فِي إهَابٍ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ لَمَا احْتَرَقَ
Seandainya al-Qur’an ditulis di sebuah kulit kemudian dilemparkan ke dalam api, niscaya tidak akan terbakar.”
Anggapan tersebut sejatinya adalah talbis iblis terhadap para penghafal al-Qur’an. Sebab, hafalan al-Qur’an yang mereka miliki belum tentu bisa menghalangi mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang karena itulah mereka disiksa. Lagipula, maksud dari hadits tersebut adalah, apabila seseorang dekat atau menghafal al-Qur’an, mestinya ia tidak melakukan perbuatan yang dapat menjerumuskannya ke neraka.[8]
Tentu, menjadi ahli baca atau penghafal al-Qur’an bukanlah sesuatu yang buruk. Akan tetapi, jika keahlian tersebut melalaikan dari hal-hal yang bersifat prioritas seperti memahami kandungan al-Qur’an, atau membuat seseorang berani menjerumuskan dirinya ke lembah dosa, dipastikan itu merupakan akibat dari tipu daya iblis.
- Talbis Iblis terhadap Ahli Hadits (ashab al-hadits)
Tidak jauh berbeda dengan kritik al-Jawzi terhadap al-qurra’, ia juga mengkritik para ahli hadits yang menghabiskan hidup hanya untuk mencari hadits dari banyak jalur atau sanad hingga mengabaikan hal-hal yang fardlu ‘ain. Di samping itu, para kolektor hadits ini seringkali juga tidak mengetahui apa kandungan hadits yang dimilikinya. Al-Jawzi tidak mengingkari bahwa para kolektor hadits tersebut berkelana mencari sabda-sabda nabi dengan tujuan yang baik, yaitu untuk meneliti kualitas hadits. Hanya saja, tipu daya iblis masih mungkin merasuki dan memperdaya mereka dengan melalaikan upaya memahami kandungan atau makna hadits.
Bagaimana dengan para muhadditsin macam al-Bukhari, Muslim, dan ulama-ulama lainnya? Al-Jawzi menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak hanya mengoleksi hadits, tetapi memahami pula hadits yang diriwayatkan. Mereka adalah orang-orang yang mengerti prioritas sehingga jalur sanad hadits yang mereka riwayatkan tidaklah banyak sehingga tidak memakan banyak waktu untuk sekadar mencari banyak jalur sanad sebuah hadits. Ini memungkinkan mereka untuk melakukan dua hal, meneliti kualitas hadits serta memahami kandungannya. Jika kolektor hadits menyibukkan diri mereka dengan mencari sanad sebuah hadits dari jalur yang berbeda-beda, tentu akan memakan banyak waktu sehingga tidak memungkinkan mereka untuk memahami apalagi mengamalkan kandungan hadits. Akhirnya, mereka seperti orang-orang yang mengoleksi banyak buku tetapi tidak mengerti apa isinya.
Al-Jawzi mengkritik ahli hadits yang banyak mengoleksi hadits akan tetapi tidak dengan maksud yang benar. Mereka tidak bermaksud untuk mengetahui mana hadits yang kualitasnya shahih dan mana yang bukan. Maksud mereka hanya memperoleh hadits agar bisa dibanggakan kepada orang lain serta dianggap sebagai orang yang telah berupaya keras hingga melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan hadits. Ada juga yang mencari hadits kepada syaikh tertentu untuk melengkapi daftar guru-gurunya sesuai huruf di awal nama mereka. Terdapat pula para ahli hadits yang meriwayatkan hadits maudlu’ tanpa menjelaskan bahwa itu hadits maudlu’ atau melakukan pemalsuan (tadlis) dalam meriwayatkan hadits supaya hadits atau pandangan yang ia riwayatkan laku di masyarakat.
Persaingan di antara para kolektor hadits juga menjadi salah satu pintu masuk tipu daya iblis. Dari persaingan ini, lahirlah gosip-gosip atau tudingan-tudingan yang menyudutkan salah satu ahli hadits. Tentu ini dilakukan demi mengangkat derajat diri sendiri dengan cara menjatuhkan harga diri orang lain. Gosip-gosip atau tudingan-tudingan tersebut tentu keluar dari kaidah al-jarh wa at-ta’dil yang ada dalam ilmu hadits. Maksudnya tentu bukan demi menyampaikan kebenaran, tetapi agar eksistensinya sebagai kolektor atau ahli hadits dapat diterima oleh masyarakat.
- Talbis Iblis terhadap Ahli Fikih
Al-Jawzi mengidealkan bahwa pada awalnya, ahli fikih adalah orang-orang yang juga ahli dalam ilmu-ilmu al-qur’an dan hadits. Artinya, fuqaha’ memiliki kemampuan interdisipliner dalam ilmu-ilmu agama. Akan tetapi, semakin lama, definisi ahli fikih ini mengalami pergeseran makna. Ahli fikih adalah orang-orang yang hanya menguasai ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum-hukum syariat (ayat al-ahkam) dan bersandar pada kitab hadits populer tertentu. Semakin lama, standar untuk menjadi ahli fikih bisa dikatakan mengalami penurunan.
Akibat turunnya standar tersebut, tidak sedikit ahli fikih yang memproduksi hukum berdasarkan hadits yang tidak diketahui kualitas keshahihannya. Banyak kalangan ahli hadits yang menghabiskan umurnya untuk berkelana mencari hadits hingga menilai kualitasnya. Hadits-hadits yang mereka peroleh dibukukan dalam kitab-kitab hadits. Sayangnya, kemalasan telah menggerogoti ahli fikih sehingga mereka abai terhadap hadits berikut kualitasnya yang telah susah payah dihimpun oleh ahli hadits.
Pengabaian terhadap hadits dan kualitasnya ini berimbas salah satunya pada perdebatan mengenai status hukum tertenu. Misalnya, seorang ahli fikih menyatakan bahwa hukum perbuatan tertentu adalah boleh. Sementara ahli fikih yang lain mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh berdasarkan hadits shahih. Dengan semena-mena, ahli fikih pertama lantas menyatakan bahwa hadits tersebut tidak ada atau tidak dikenal. Bagi al-Jawzi, itu merupakan ‘kejahatan’ terhadap Islam.
Selain itu, al-Jawzi juga mengkritik para ahli fikih yang hanya mengandalkan nalar dengan mengoperasikan qiyas tetapi mengabaikan hadits. Menurut al-Jawzi, ini adalah imbas dari intervensi filsafat (logika) terhadap fikih. Ujungnya, hukum-hukum yang diproduksi hanya mendasarkan diri pada kebenaran dalam penalaran tanpa memandang aspek etik-moral. Ahli fikih macam hanya bisa menghakimi tetapi lemah untuk “menghikmahi”. Hanya berasyik masuk dalam perdebatan soal hukum-hukum syariat tetapi tidak bisa memperbaiki aspek spiritualitas dirinya sendiri dan masyarakat. Mereka seolah-olah menghilangkan aspek “rasa” dalam hukum. Payahnya, fukaha’ yang suka berdebat ini seringkali tidak hafal atau tidak memahami ayat, hadits, atau pendapat-pendapat ulama mengenai persoalan yang mereka bahas.
Perdebatan yang terjadi di kalangan ahli fikih juga menjadi pintu masuk tipu daya iblis. Mengapa demikian? Sebab sebelum perdebatan dimulai, bisa saja masing-masing fukaha mempersiapkan argumen-argumen atau dalil-dalil serta memperkuatnya agar “menang” dari lawan diskusi dalam perdebatan. Padahal, tradisi berdebat atau berdiskusi sejatinya demi mencari atau menampakkan kebenaran, bukan mencari kemenangan. Mencari kemenangan dalam perdebatan merupakan indikasi yang menampakkan keinginan untuk memperoleh kekuasaan (hubb ar-riyasah) serta popularitas di mata manusia.
Termasuk tipu daya iblis yang dapat merasuki ahli fikih adalah anggapan bahwa fikih adalah satu-satunya ilmu syariat. Bisikan asumsi tersebut mengakibatkan sikap apatis terhadap ilmu atau ahli ilmu agama syariat yang lain. Ketika ada seseorang yang dikenal sebagai ahli hadits, misalnya, berbicara mengenai hukum syariat, dengan seenaknya seorang ahli fikih menilai bahwa dia tidak bisa apa-apa. Padahal, hadits adalah salah satu dasar atau dalil dari hukum-hukum fikih yang diproduksi oleh ahli fikih.
Al-Jawzi juga mewanti-wanti kepada orang-orang yang bersemangat mengeluarkan fatwa tetapi belum mencapai level mufti. Seringkali, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh mufti “gadungan” ini bertentangan dengan nash-nash syariat. menurut al-Jawzi, seorang ahli fikih tidak perlu sungkan untuk menjawab tidak tahu terhadap persoalan yang memang tidak bisa ia jawab. Artinya, jangan karena seseorang sudah dikenal sebagai ahli fikih, ia harus bisa menjawab seluruh persoalan yang dihadapkan kepadanya.[9]
Ahli fikih yang memiliki hubungan intim dengan para penguasa juga rentan terpedaya oleh rayuan iblis. Bisa saja para ahli fikih membiarkan atau bahkan mendukung kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat demi mendapatkan segepok harta atau kenyamanan hidup di dunia. Jika demikian, kerusakan serta ketidakteraturan di tengah-tengah masyarakat tidak terelakkan. Lantaran perilakunya didiamkan oleh para ahli fikih yang dekat dengannya, penguasa yang zalim dengan bebas melenggang berperilaku atau membuat kebijakan seenak perutnya. Sebab, dia meyakini bahwa jika ia salah, pasti para ahli fikih di sekitar akan menegurnya. Masyarakat kebanyakan juga akan menilai bahwa apa yang dilakukan oleh penguasa meskipun salah adalah benar lantaran tidak ada kritik serta teguran dari para ahli fikih di sekitar penguasa. Secara tidak langsung, para ahli fikih ini telah mencoreng nama baik agama dan menukarnya dengan keyamanan sementara.
Harta yang diperoleh para ahli fikih dari para penguasa juga rentan menjadi pintu masuk tipu daya iblis. Fuqaha’ akan mudah menganggap bahwa apa yang mereka terima dari penguasa merupakan hak mereka meskipun sebenarnya tidak demikian atau lebih dari kadar yang mereka butuhkan. Seorang ulama yang ahli fikih mestinya menghindari barang haram, makruh, dan syubhat terutama dari penguasa. Bahkan, terhadap harta yang boleh diterima menurut syariat, ia hanya boleh mengambil sekadar kebutuhan mereka. Seorang ulama harus berhati-hati terhadap harta yang ia terima terutama dari penguasa atau orang-orang yang memiliki pengaruh politik kekuasaan.
Bukan hanya kepada ulama ahli fikih yang intim dengan penguasa, para fuqaha’ yang mengambil jarak terlalu jauh dengan penguasa pun bisa saja terjerat tipu daya iblis. Para ulama yang aktivitasnya hanya beribadah atau mengajar mungkin tergoda untuk membicarakan keburukan (gibah) ulama-ulama lain yang dekat dengan penguasa. Jika itu dilakukan, secara tidak sadar ia telah melakukan dua kesalahan, yaitu gibah itu sendiri dan ‘ujub (menilai bahwa dirinya lebih baik daripada ulama lain).
Lantas, bagaimana seharusnya ulama berhubungan dengan penguasa? Al-Jawzi tidak memberikan jawaban pasti. Hanya saja, ia mewanti-wanti bahwa niat baik para ulama saat hendak berhubungan dengan penguasa itu bisa saja berubah karena penghormatan serta fasilitas kenyamanan yang diberikan oleh para penguasa. Sufyan as-tsauri menyatakan, “aku tidak khawatir dengan hinaan atau pelecehan yang diberikan penguasa terhadapku. Aku lebih khawatir pada penghormatan mereka yang membuat aku terlena hingga hatiku condong kepada mereka.”
Al-Jawzi memberikan cukup banyak kritik terhadap para ahli fikih dibandingkan dengan ulama di bidang ilmu yang lain. Sebab, di masanya ia melihat fenomena ahli fikih yang menurutnya terpedaya oleh tipu daya iblis. Al-Jawzi mengkritik para ahli fikih yang enteng melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Pada saat itu, di antara mereka ada yang memakai baju berbahan sutera. Para ahli fikih ini juga rentan dirasuki rasa bangga terhadap diri sendiri hingga menduga bahwa ilmu yang ia miliki dapat “membela” atau melindunginya di akhirat dari siksa neraka. Padahal, siksa orang yang ‘alim lebih berat dibandingkan orang yang bodoh. Rasa bangga terhadap diri sendiri ini membuat mereka merasa lebih hebat daripada orang lain. Mereka tidak mau menghadiri majlis yang diisi oleh para bijak bestari, yaitu para pemberi pesan-pesan hikmah yang dapat menjernihkan serta melembutkan hati.
- Talbis Iblis terhadap Bijak Bestari
Bijak bestari yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang keahliannya memberi pesan-pesan hikmah (al-wu’adzh) dan menceritakan kisah-kisah penggugah jiwa (al-qusshash) terhadap masyarakat. Menurut al-jawzi, awalnya mereka juga ahli di bidang ilmu-ilmu agama khususnya fikih. Semakin lama, profesi sebagai bijak bestari ini tercoreng lantaran orang-orangnya tidak memiliki kedalaman ilmu-ilmu agama. Pesan-pesan atau kisah-kisah yang disampaikan hanya menjadi omong kosong tak bermanfaat serta dipenuhi oleh bid’ah dan khurafat.
Tuntutan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat membuat mereka berani membuat-buat hadits yang sebenarnya tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah. Hadits yang dibuat-buat tersebut bisa saja bermuatan kebaikan. Akan tetapi, dusta tetaplah dusta meskipun dilakukan atas nama agama. Bahkan, derajat agama tidak menjadi lebih mulia dengan dusta. Dalam hal ini, Nabi Muhammad bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta dan mengatasnamakanku, tempat di neraka telah disiapkan untuknya.”
Para bijak bestari adalah orang-orang yang menganjurkan sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan baik. Iblis dapat merasuk secara halus ke dalam hati mereka untuk membisiki bahwa mereka adalah orang-orang yang telah memiliki sifat-sifat dan telah melakukan kebaikan-kebaikan itu meskipun nyatanya tidak. Para bijak bestari masih mungkin tercemari oleh sifat tercela berupa kecintaan untuk menjadi yang terdepan. Dia tidak rela atau bahkan benci jika posisinya diganti oleh bijak bestari yang lain. Al-Jawzi menyindir keras terhadap para bijak bestari yang memiliki gaya hidup mewah di luar batas kewajaran.
Al-Jawzi juga mengkritik para bijak bestari yang over acting dalam memberikan pesan-pesan atau kisah-kisah yang menggugah jiwa, misalnya dengan gerakan-gerakan berlebihan untuk menunjukkan kesungguhannya, berpura-pura khusyu’ atau menangis padahal hal itu tidak mencerminkan isi hatinya. Ia juga mengkritik para da’i yang bernyanyi sambil bertepuk tangan untuk menarik tepuk tangan atau mengundang tangis para pemirsanya. Menurut al-Jawzi, menyanyi adalah hal yang dilarang menurut agama meskipun digunakan sebagai sarana dakwah.
Pada saat itu, banyak dikalangan bijak bestari ini mengisahkan kisah Nabi Musa saat di gunung Tursina dan kisah cinta Nabi Yusuf dan Zulaikha (Zalikha) akan tetapi mereka sering lupa menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dan yang terlarang. Ia juga mengkritik para bijak bestari yang tidak seimbang dalam memberikan pesan-pesan hikmah. Misalnya, hanya memberi peringatan (tarhib) tetapi tidak menyampaikan motivasi (targib) atau menganjurkan optimisme (raja’) tanpa sekalipun menyampaikan kekhawatiran atas kegagalan (khauf) atau sebaliknya. Al-Jawzi juga mengecam para bijak bestari yang menjadikan keahliannya semata-mata sebagai alat untuk mencari penghidupan. Al-Jawzi juga melihat fenomena para bijak bestari yang sengaja memanfaatkan psikologi perempuan untuk menciptakan suasana penuh tangis. Mereka banyak memanfaatkan setting kuburan untuk mendukung suasana penuh ketakutan akan kebinasaan dan perpisahan dengan orang-orang terkasih tetapi lupa menyampaikan ajaran tentang kesabaran.
- Talbis Iblis terhadap Ahli Bahasa, Sastra dan Penyair
Kritik yang diberikan oleh ibn al-Jawzi terhadap para ahli bahasa lebih ditujukan kepada mereka yang melalaikan hal-hal yang prioritas atau fardlu ‘ain. Lantaran menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu bahasa (seperti Nahwu, Sharraf, dan Balaghah), mayoritas para ahli bahasa lalai untuk mengetahui hal-hal menyangkut ibadah, perkara-perkara terkait upaya penyucian jiwa, dan ilmu-ilmu lain yang lebih utama seperti ilmu tafsir dan ilmu hadits.
Iblis merasuk sembari membisikkan kepada mereka bahwa mereka telah menyibukkan diri dengan ilmu yang dengannya al-qur’an dapat dipahami. Memang pernyataan ini benar adanya. Akan tetapi, jika mempelajari bahasa melebihi kadar yang dibutuhkan untuk memahami tafsir al-Qur’an atau penjelasan hadits, atau hanya terjebak pada permainan bahasa saja, tentu ini mengabaikan yang lebih utama, yaitu mempelajari ilmu-ilmu agama yang lain seperti fikih, tafsir, dan hadits.
Menurut al-Jawzi, para ahli bahasa di masanya banyak yang menyibukkan diri mempelajari syair-syair jahiliyyah sehingga mereka alpa mempelajari hadits serta biografi ulama-ulama salaf. Secara tidak langsung, syair-syair tersebut memberikan pengaruh terhadap lemahnya aspek spiritualitas dalam diri mereka.
Para penyair juga rentan dirasuki tipu daya iblis dalam syair-syair yang dibuat. Seringkali syair-syair yang dibuat berisi pujian-pujian yang melampaui batas. Perilaku para penyair yang dilihat oleh al-Jawzi menunjukkan bahwa mereka seringkali abai terhadap larangan-larangan syariat seperti memakai pakaian berbahan sutera, berkumpul sambil minum-minuman keras serta kefasikan-kefasikan yang lain. Mereka juga sering mengeluh karena penghasilan mereka berkurang sampai berani membuat syair yang bernada sinis terhadap takdir tuhan. Padahal, menurut al-Jawzi, jika mereka sadar, bahwa berkurangnya penghasilan mereka itu diakibatkan oleh kemaksiatan yang mereka lakukan.
- Talbis Iblis terhadap ulama berkeahlian lengkap
Al-Jawzi menyatakan bahwa ada sekelompok orang yang memiliki kemauan kuat dalam mempelajari ilmu-ilmu agama sehingga mereka menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Mereka menguasai fikih, hadits, bahasa, sastra, dan semacamnya. Lantaran banyak ilmu yang telah mereka kuasai, bisa saja muncul perasaan berbangga diri. Iblis merasuki pikiran para ulama dengan membisikkan hal-hal yang dapat menggoyahkan semangat mereka untuk terus mencari ilmu.
Dengan halus iblis mendesis, “Aduhai, sampai kapankan engkau harus bersusah payah mencari ilmu? Istirahatkanlah ragamu dari hal-hal yang membebanimu. Berenanglah di samudera keinginan-keinginan syahwatmu. Jika engkau terjerumus ke dalam sebuah dosa, ilmu-ilmu yang engkau pelajari akan membelamu dan menyelamatkanmu dari siksaan.” Iblis lalu membumbui dalil-dalil mengenai keutamaan ulama untuk melancarkan tipu dayanya.
Untuk mengatasi tipu daya ini, al-Jawzi menegaskan bahwa keutamaan ulama itu adalah dengan mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Jika ilmu tidak diamalkan, maka tidaklah pantas seseorang disebut sebagai ulama. Dalam berbagai hadits, rasulullah bersabda mengenai celaan serta siksa yang akan diterima oleh orang-orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.
Para ulama juga tidak kebal terhadap akhlaq madzmumah seperti sombong, iri, dengki, dan cinta kekuasaan. Seringkali mereka merasa berhak bahkan wajib memperoleh kekuasaan. Karena saking kuatnya kecintaan terhadap kekuasaan tersebut, ilmu yang mereka miliki seolah-olah mati untuk mengatakan kebenaran. Untuk mengatasi tipu daya ini, para ulama ini harus mengingat atau membaca kembali tentang dosa-dosa serta siksa yang akan mereka terima bilamana mereka bersikap sombong, iri, dengki, dan rakus terhadap kekuasaan. Mereka harus ingat bahwa ilmu yang mereka miliki tidak melindungi mereka dari dosa atau siksaan dari perilaku tercela tersebut. Bahkan, ilmu yang mereka miliki akan melipatgandakan siksaan mereka karena sebenarnya mereka tahu bahwa sikap atau perilaku tersebut adalah hal yang dilarang oleh agama.
Kepada para ulama, iblis masuk melalui ilmu yang mereka miliki. Lewat ilmu, iblis membisiki ulama bahwa mereka pantas mendapatkan kedudukan mulia dan itu tidak termasuk sikap sombong (takabbur). Sebab, mereka adalah wakil-wakil Tuhan di muka bumi. Karena keahlian yang mereka miliki, para ulama rentan dahaga popularitas. Mereka menghabiskan siang dan malam untuk mengarang sebuah buku dengan maksud untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama. Padahal, sejatinya dalam alam bawah sadar mereka terdapat keinginan besar untuk dikenal serta dipuji oleh manusia. Mereka juga ingin agar dengan karyanya itu mereka bisa berkeliling dunia.
Penutup
Jika dicermati, penjelasan mengenai tipu daya iblis terhadap para ulama ini merupakan bentuk kritik al-Jawzi terhadap para ulama. Al-Jawzi berhasil menyingkap “baju-baju iblis” yang bisa saja melekat pada diri ulama. Al-Jawzi ingin menyakinkan bahwa tidak ada satupun manusia yang lepas dari cengkeraman tipu daya iblis. Siapapun bisa saja melakukan dosa akibat terpedaya oleh rayuan setan durjana.
Iblis merasuki para ulama lewat kelebihan yang mereka miliki. Ilmu atau keahlian tertentu yang dimiliki oleh para ulama bisa menjadi pintu masuk bagi iblis untuk melancarkan tipu dayanya. Ketika iblis berhasil memperdayai ulama, maka salah satu “rukun” yang terdapat pada diri ulama berupa sisi khasyyah (ketundukan kepada Tuhan) berada dalam mode off. Iblis yang mencoba menggoda para ulama berbeda dengan iblis yang menggoda selain ulama. Siksa yang akan didapat oleh para ulama karena melakukan dosa lebih besar daripada siksa orang-orang kebanyakan.
Tipu daya iblis melalui ilmu mengakibatkan kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang prioritas. Tipu daya iblis menjerumuskan para ulama ke dalam sikap hubb ar-riyasah, artinya ingin selalu diutamakan terutama dalam bidang keahliannya. Ini bisa melahirkan persaingan tidak sehat antar para ulama. Godaan popularitas serta kemewahan bisa membuat ulama terlena melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Parahnya, perbuatan-perbuatan dosa itu seringkali didaku dilakukan atas nama agama.
Kepustakaan
[1] Pemahaman ini terinspirasi oleh QS. Fathir [35]: 28 yang berbunyi:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Aspek yang paling ditekankan harus dimiliki ulama berdasarkan ayat ini adalah rasa takut kepada Allah. Al-Qurthubi menyitir beberapa pendapat ulama yang menekankan aspek tersebut dalam mendefinisikan ulama. Lihat: Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, j. 14, h. 344, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964.
[2] Pemahaman ini terinspirasi oleh hadits berikut:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا وَرِثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ، أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah menyediakan jalan menuju surga. Sungguh malaikat merendahkan sayap-sayapnya lantaran berbangga kepada para penuntut ilmu. Para makhluk langit dan bumi akan memintakan ampun untuk para penuntut ilmu, bahkan ikan-ikan di laut. Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seumpama keutamaan bulan atas bintang-bintang lainnya. Ulama itu adalah pewaris para nabi. Mereka tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsisapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sempurna.” Lihat: Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 36, h. 45, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2001.
[3] Al-Jawzi adalah julukan bagi salah seorang kakeknya yang sudah kondang di mana-mana. Pengaitan kepada sebuah tanjung bernama Al-Jawz. Yakni sebuah dataran di sungai Dajlah dekat kota Baghdad. Ada juga yang mengatakan, “Al-Jawzi” adalah pengaitan kepada pohon Jawz yang ada di rumah mereka.” Lihat biografinya di Dzailu Thabaqat al-Hanabilah j. 1, h. 399; Mir’at az-Zaman karangan Al-Yafi’i, h. 481; Dzail ar-Roudhotain karangan Abu Syamah h. 21; Al-Kamil fi at-Tarikh karangan Ibnul Atsir j. 12, h. 171; Wafiyat al-A’yan j. 3, h. 140; Tadzkirat al-Huffazh karangan Adz-Dzahabi h. 131; Al-Bidayah wa ‘n-Nihayah karangan Ibnu Katsir j. 13 h. 28; Thabaqat al- Hanabilah j. 1, h. 399; Al-A’lam karangan Az-Zarkali j. 3, h. 316; Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah j. 1, h. 125; Tarikh al-Adabi al- ‘Arabi karangan Bruklman j. 1, h. 500 dan Al-Mulhaq j. 1, h. 916. Serta lihat juga Muallafat Ibnul Jawzi karangan ‘Abdul Hamid Al-‘Aluji.
[4] Jamaluddin Abu al-Faraj ‘Abdurrahman bin al-Jawzi, Talbis Iblis, h. 38, Beirut: Dar al-Qalam, t.t.
[5] Al-Jawzi mengilustrasikan bahwa hati (qalb) manusia bagaikan benteng (al-hishn). Dalam benteng tersebut terdapat pagar (as-sur). di situ terdapat pintu-pintu yang daunnya berventilasi. Penjaga yang bersiaga di benteng tersebut adalah akal dan malaikat. Sementara setan dan iblis adalah makhluk yang hendak menembus benteng tersebut. Talbis Iblis, h. 38.
[6] Penjelasan dalam sub bahasan ini mayoritas terdapat dalam Talbis Iblis, h. 109-128.
[7] Menurut mazhab Malikiyah, sah-sah saja menggunakan qira’ah syaddzah dalam shalat. Ini berbeda dengan pendapat kalangan syafiiyah yang menyatakan bahwa membaca qira’ah syaddzah dalam shalat bisa membatalkan. Lihat: Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, j. 2, h. 836, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.; Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahally, Syarh Jam’ul Jawami’ li Ibn as-Subky, j. 1, h. 96.
[8] Abu Ja’far Ahmad at-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar, j. 2, h. 363, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1994.
[9] Para Imam Mazhab adalah orang-orang yang tidak enggan menyatakan ketidakmampuannya menjawab persoalan-persoalan yang dihadapkan kepada mereka. Imam Malik, misalnya, tidak ragu menyatakan ketidakmampuannya untuk menjawab 36 dari 40 pertanyaan yang dihadapkan kepadanya. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahally, Syarh Jam’ul Jawami’ li Ibn as-Subky, j. 1, h. 15.