Berbagai anggapan miring terhadap agama yang disebabkan oleh keberagamaan penganutnya melahirkan perbincangan tentang moderasi beragama. Ide tentang hal ini mencuat saat agama justru menjadi alasan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apa sesungguhnya moderasi beragama itu? Berikut ikhtisar penjelasan salah satu pakar tafsir kenamaan Indonesia, Habib Quraish Shihab di salah satu unggahan kanal Youtube resminya.
Moderasi Adalah Keseimbangan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi antara lain diartikan tidak ekstrim. Kata ekstrim berarti melampaui batas pertengahan hingga ke ujung. Dalam Islam, yang terlarang adalah melampaui batas pertengahan, meskipun tidak sampai ke ujung. Di sinilah kemudian terdapat perbedaan pengertian antara sikap atau tindakan ekstrim yang dilarang di Barat dan di dalam ajaran agama Islam. Dalam Alquran sendiri terlihat, bahwa sikap atau tindakan beragama yang tidak moderat itu diistilahkan dengan guluw (melampaui batas pertengahan), bukan tatharruf (melampaui batas pertengahan hingga puncak).
Dalam terminologi Islam, moderasi antara lain diistilahkan dengan wasatiyah. Wasatiyyah berarti ‘pertengahan antara dua ekstrem’. Kalau disebut angka tiga, maka yang di tengah itu dua. Ia berada pada posisi antara yang pertama dan yang ketiga. Dalam penjelasan kebahasaan, wasatiyyah juga bermakna bahwa yang pertengahan merupakan bagian ujung dari sisi yang kiri dan sisi yang kanan.
Dalam bahasa Indonesia, ada kata wasit. Wasit terlibat dalam permainan, tetapi dia tidak ikut bermain. Dia tidak memihak kepada tim kiri atau tim kanan. Dia baru memihak kepada tim kanan kalau tim kiri melakukan sesuatu yang mengambil hak tim kanan. Dalam kehidupan, manusia sering berada di suatu titik di mana ia tidak memihak ke sisi kiri maupun sisi kanan. Akan, tetapi terkadang kita harus mengambil dari yang kiri apa yang diambilnnya secara tidak sah untuk diberikan kepada yang kanan. Karena itu, sesungguhnya moderasi adalah keseimbangan.
Dahulu, Plato—yang kemudian ditiru oleh sebagian filosof muslim—beranggapan bahwa kebaikan itu adalah sesuatu antara dua keburukan. Contohnya, keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan penakut; Kedermawanan adalah pertengahan antara sifat kikir dan boros. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa kebaikan tidak selalu demikian, karena ada kebaikan yang tidak di pertengahan pertengahan. Kebaikan yang bukan pertengahan seperti berucap jujur berucap benar. Itu bukanlah pertengahan antara tidak bohong dan bohong. Lagipula, penerapan kebaikan yang dianggap ‘pertengahan’ itu pun bisa berbeda antara satu dan lainnya akibat perbedaan situasi.
Moderasi Adalah Keadilan Berbekal Pengetahuan
Istilah yang serupa dengan moderasi yang digunakan oleh pakar-pakar Muslim yaitu adil. Adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan itu bisa berbeda-beda akibat perbedaan posisi dan kasus yang dihadapi. Ia juga diartikan dengan as-sadad (ketepatan). Ketepatan itu berkaitan dengan kondisi dan arah yang dituju. Moderasi adalah suatu kondisi yang ditetapkan berdasar situasi yang dihadapi. Jadi, moderasi bukan ‘pakaian’ jadi, tetapi proses menjadi.
Maka dari itulah, untuk menjadi moderat perlu memiliki bekal pemahaman, utamanya terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi. Misal, kalau kita ingin tahu siapa yang di tengah di antara orang-orang yang duduk, saya terlebih dahulu harus mengetahui berapa jumlah yang duduk. Kalau jumlahnya 3 orang, maka yang kedua adalah pertengahan. Tetapi kalau jumlahnya 11, maka yang dipertengahan adalah 5.
Dengan demikian, penerapan moderasi tidak dapat dilakukan sebelum memiliki bekal pengetahuan. Jika tidak, bisa-bisa malah terjerumus ke dalam ekstrimisme. Inilah yang seringkali terjadi: Orang berbicara, berusaha, atau bertindak tanpa tahu duduk persoalannya.

3 Hal Ini Perlu Dipahami Suapaya Tidak Ekstrim dalam Beragama
Menurut Quraish Shihab, dalam beragama, ada 3 istilah yang mesti dipahami perbedaannya. Jika tidak, siapapun dapat terjerumus dalam ekstrimisme. 3 istilah tersebut adalah agama, ilmu agama, dan keberagamaan.
Agama bersumber dari Allah dan telah dijelaskan oleh Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam. Jadi, agama itu sudah sempurna; tidak bisa ditambah-tambah dan tidak bisa dikurangi lagi. Dalam al-Qur’an difirmankan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Sementara itu, ilmu agama lahir dari pemahaman terhadap ajaran agama. Imam Syafi’i, misalnya, menjelaskan ilmu agama yang beliau pahami dari Alquran dan sunnah. Imam Malik mengemukakan tentang ilmu agama yang juga beliau pahami dari Alquran dan Sunnah. Itu artinya, ilmu agama lahir sesudah adanya agama.
Perbedaan yang juga mesti dipahami adalah, kalau agama sudah sempurna dan tidak akan berubah, maka ilmu agama masih terus berkembang sampai kapanpun. Kalau agama pasti benar, maka ilmu agama, oleh pencetus ilmu itu dikatakan ‘boleh jadi saya salah’. Agama itu satu, tetapi penafsiran atas ajarannya (ilmu agama) bisa bermacam-macam. Ayat atau hadisnya satu, tetapi pemahamannya bisa beragam.
Kemudian tentang keberagamaan. keberagamaan adalah praktik seseorang yang berdasar pada agama dan ilmu agama. Misal, kewajiban salat itu agama. ada penjelasan tentang salat, penjelasan tentang salat itu yang disampaikan oleh ulama-ulama merupakan ilmu agama. Di situ sangat mungkin lahir perbedaan pendapat. Contoh, membaca basmalah ketika membaca surat al-Fatihah salat itu menurut suatu pendapat adalah wajib, tetapi menurut pendapat ahli agama yang lain tidak. Membaca Qunut saat salat subuh, itu juga beda-beda pendapat ulama. Sehingga, dalam praktiknya juga bisa berbeda. Praktik ibadah antara orang Indonesia ini yang bermazhab Syafi’i dan dan orang Arab Saudi yang mazhab Maliki bisa beda-beda.
Konsekuensi dari perbedaan dalam tiga hal itu (agama, ilmu agama, dan keberagamaan) juga tidak bisa dipersamakan. Kalau berbeda atau bertentangan dengan agama, orang bisa keluar dari agama. Tetapi kalau berbeda dalam praktek beragama, selama itu sesuai dengan penjelasan mereka yang ahli (ulama), maka seseorang tidak sampai keluar dari agama. Dan perbedaan dalam hal ini semestinya tidak membuat umat bertengkar.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa ilmu agama layaknya hidangan. Tuhan menghidangkan, dan yang mempersiapkan hidangan itu adalah ulama. Pilihlah yang sesuai dengan selera Anda, yang sesuai dengan nalar Anda, tapi jangan mudah menyalahkan pemahaman atau praktik keberagamaan orang lain.
Selama ini, moderasi beragama seringkali ditafsirkan sebagai perbedaan agama. Pemahaman semacam itu yang justru melahirkan fenomena saling mengkafirkan dan menyesatkan. Padahal, sesungguhnya yang dimaksud moderasi beragama itu menyangkut ilmu dan praktik keberagamaan, bukan ‘agama’ itu sendiri.
Penulis Tafsir al-Misbah tersebut memberi analogi bahwa praktik beragama itu seperti angka 10. Tuhan tidak bertanya 5 tambah 5 berapa, tetapi yang Tuhan nyatakan, Aku ingin angka 10. Soal berapa tambah berapa, baik itu 6 + 4, 7 + 3, 5+5, itu semuanya benar. Dengan pemahaman semacam ini, seseorang tidak akan mudah terjerumus dalam ekstremisme beragama yang cenderung menyalahkan pemahaman dan praktik keberagamaan yang berbeda.