Wazanmedia.com – Ada tiga bidang ajaran Islam, yaitu ajaran akidah, ajaran syariat, dan ajaran akhlak tasawuf. Ajaran akidah disebut ajaran yang bersifat ‘ilmiah-I’tiqadiyyah (berkenaan dengan keyakinan). Ajaran akhlak tasawuf hijau adalah qalbiyah (berkenaan dengan penyucian jiwa), sedangkan syariah itu adalah ajaran ‘amaliyah (berkenaan dengan tingkah laku manusia).
Ahlussunnah wal Jama’ah: Konteks Pembahasan
Kalau berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, yang biasa disingkat dengan ‘Aswaja’, pertanyaannya apakah ia sifat dari ajaran akidah, akhlak tasawuf, syariat, atau justru sifat dari ketiga-tiganya? Sehingga ada akidah aswaja, syariat aswaja, dan tasawwuf aswaja?
Pada dasarnya, istilah Aswaja ini lahir dalam konteks perdebatan ajaran akidah (‘ilmiah-I’tiqadiyyah). Misal, perbedaan pandangan para ahli akidah tentang status pelaku dosa besar. Ada yang memvonis bahwa orang yang melakukan dosa besar itu kafir. Perdebatan lain tentang pelaku maksiat, bagaimana statusnya? Ada yang mengatakan bahwa pelaku maksiat tidak otomatis kafir, yang penting masih meyakini Islam. Apakah manusia itu punya kekuasaan/ ikhtiar/kebebasan sehingga lahir kelompok khawarij dan sebagainya itu. Ini membuktikan bahwa istilah Aswaja dibicarakan dalam konteks hal-hal yang hukum-hukum keyakinan (ahkam‘ilmiah-‘nazhariyah-‘i’tiqadiah). Maka dari itu ada istilah akidah Aswaja.
Siapa Ahlussunnah wal Jama’ah itu?
Siapa Aswaja? Ada yang mengatakan Aswaja adalah ‘Ma ana ‘alaihi wa ashabi’ (ما أنا عليه وأصحابي), artinya perilaku yang dijalani oleh Rasulullah bersama para sahabat. Ada pula yang mengatakan Aswaja adalah as sahabatu wa alladzina ittaba’uuhum bi ihsan ila akhir az-zaman, artinya para sahabat dan para pengikut sahabat sampai akhir zaman. Dua pengertian Aswaja itu menjadi klaim semua golongan yang terdapat dalam umat Islam. Berdasarkan definisi tersebut semuanya mengaku bahwa mereka adalah Aswaja.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Aswaja adalah Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Atsariyah atau ahl al-hadits. Ini adalah keputusan ulama dalam Muktamar di Chechnya yang mendeklarasikan bahwa Ahlussunnah wal jamaah adalah ‘Asya’irah, Maturidiyah, dan Atsariah atau ahl al-hadits gair mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan materi yang berbentuk) di bidang akidah.
Di akhir penutupan Muktamar Chechnya ada kesimpulan, bahwa tidak termasuk Aswaja adalah mereka yang terafiliasi ke dalam Salafi Wahabi. Gemparlah dunia Islam saat itu, terutama di Arab Saudi. Namun, kemudian ada klarifikasi dari Syaikh Ahmad Tayyeb yang menyatakan bahwa beliau berlepas diri dari kesimpulan itu. Artinya, Syaikhul Azhar tersebut berpandangan bahwa salafi-wahabi tetap Aswaja. ‘Ini bukan sekadar basa basi (mujamalah) dari saya, tetapi mazhab Asy’ariyah yang saya yakini menyuruh saya untuk mengatakan begitu.’ Beliau bersikap demikian mungkin supaya dunia Islam tidak ramai oleh percekcokan dalam masalah itu.
Ada yang mengatakan bahwa Aswaja adalah mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Pembesar mazhab Hanabilah (Fudlala’ al-Hanabilah). masuk di dalam definisi tersebut Ibnu al-Jauzi dan lain-lain, keluar darinya Ibnu Taimiyah dan lain-lain.
Sedangkan Di NU terdapat istilah Ahlussunnah Waljamaah an-Nahdliyah, atau tepatnya Aswaja an-Nahdliyyah. Dirumuskan bahwa Aswaja an-Nahdliyyah artinya mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi di bidang akidah. Rumusan ini tentu sedikit berbeda dengan rumusan Muktamar Chechnya.
Asy’ariyyah Sebagai Manhaj dan Mazhab Moderat dalam Akidah
Ada yang bertanya, apakah NU mengikuti mazhab Asy’ari ataukah manhaj Asy’ari? Ahlussunnah ini ‘mazhab’ ataukah ‘manhaj’? Pertanyaannya, apa perbedaan antara Manhaj dan mazhab? Manhaj adalah wasilah (cara/perantara) sementara mazhab adalah natijah (kesimpulan/hasil). Jadi, manhaj adalah metode sebagai sebuah sarana untuk mencapai kesimpulan, sedangkan mazhab adalah kesimpulan/hasil/konklusi yang diperoleh dari sebuah Manhaj. Jadi, ada manhaj Asy’ari, ada mazhab Asy’ari.
Manhaj Asy’ari adalah Manhaj Wasathiy (moderat). Manhaj wasathiyyah adalah al-jam’u bayna hadza wa dzaka (perpaduan antara ini dan itu), dan laysa hadza wa la dzaka wa innama al-jam’u bayna hadza wa dzaka (bukan ini dan itu, tetapi perpaduan di antara keduanya). Sehingga dikatakan Manhaj Asy’ari adalah al-jam’u baina an-naql as-sharih wa al-‘aql as-shahih (perpaduan antara kebenaran Wahyu dan logika akal sehat). Jadi, bukan hanya kebenaran Wahyu saja dan bukan hanya logika akal saja akan tetapi kedua-duanya. Sehingga dikatakan al-aql as-sharih yu’ayyidu ad-din as-shahih (akal sehat bisa memperkuat agama yang benar)
Moderasi pemikiran akidah Imam Abul Hasan al-Asy’ari tidak terlepas dari konteks zamannya. Beliau lahir pada suatu zaman, di mana saat itu terjadi pergolakan antara dua kelompok yang sulit dipertemukan, yaitu kelompok Muktazilah dan kelompok Hanabilah Mutasyaddidah (ekstrem). kelompok Mu’tazilah yang terlalu mengagung-agungkan akal sehingga sangat gampang mentakwil nash yang tidak sesuai dengan pemahaman akal mereka. Sementara Hanabilah Mutasyaddidah mengatakan haram menggunakan logika akal dalam menafsiri nash. Ini tentu dua pendekatan yang sangat kontras.
al-Asy’ari Menghadapi dua Manhaj Berbeda
Kedua kelompok tersebut dihadapi oleh Abul Hasan al-Asy’ari. Muktazilah dihadapi dengan sangat gagah karena sebelumnya Abul Hasan al-asy’ari memang menjadi pentolan Mazhab Muktazilah di bidang intelektualitas, sebagaimana beliau juga dengan sangat mudah menepis argumentasi Hanabilah Mutasyaddidah.
Abul Hasan al-Asy’ari meyakini bahwa sumber ajaran akidah (mashdarul aqidah) adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pendekatan yang relevan dengan konteks zamannya. Zamannya menghendaki supaya pemahaman agama ditopang dengannya logika dan argumentasi filosofis. Kedua-duanya sama-sama digunakan. Itulah manhaj wasathy. Memadukan antara nash dan akal.
Perwujudan Manhaj
Di antara perwujudan manhaj tersebut juga, bahwa manhaj Asy’ari bersikap tawassuth bayna ta’thil al-Mu’tazilah wa tasybih al-Mujassimah (berada di antara pengabaian Muktazilah atas keberadaan sifat bagi Allah dan penyamaan Allah dengan benda-benda oleh kelompok Mujassimah). Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat bagi Allah. Menurut mereka Allah, itu Qadirun binafsihi (Maha Berkuasa dengan Dzat-Nya), ‘Alimun binafsihi (Maha Mengetahui dengan Dzat-Nya), dan seterusnya. Pada akhirnya, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara Muktazilah dan Asy’ariyah bahwa Allah ‘alimun, qadirun, dan seterusnya. Perbedaannya tentang dengan apakah Allah ‘Alimun dan Qadirun itu? Menurut Asya’irah Allah itu Qadirun bi qudratihi, menurut Muktazilah Allah itu Qadirun binafsihi.
Kenapa mu’tazilah mengingkari adanya sifat bagi Allah? Karena sifat itu bukan sesuatu yang disifati (الصفة غير الموصوف). Allah adalah Allah, sifat allah ya sifat allah. Kalau Allah qadim dan sifatnya qadim, maka akan terjadi ta’addudul qudama’ (yang qadim lebih dari satu). Itulah yang ingin dihindari oleh Muktazilah. Padahal, sesungguhnya yang dikhawatirkan itu kalau ada dua zat yang sama-sama Qadim. Kalau satunya dzat satunya sifat, itu tidak persoalan.
Sementara itu, mazhab Hanabilah yang mutasyaddidah memaknai ayat-ayat mutasyabihah dengan literlek (zawahir an-nushush) sehingga terjebak dalam tajsim.
Perwujudan lain manhaj wasatiyyah al-Asy’ari adalah bersikap tawassuth baina takfiri ‘aliyyin wa baina taushifihi bil ‘ishmah (berada di tengah antara sikap mengafirkan Sayyidina Ali dan sikap mengultuskannya). Orang Khawarij mengkafirkan Sayyidina Ali sementara orang Syiah yang ekstrem mengultuskannya. Abul Hasan al-Asy’ari bukan kedua-duanya.
Manhaj wasatiyyah lainnya adalah at-tawassut baina al-jabr al mutlaq wal hurriyyat al-mutlak (berada di antara fatalisme dan kebebasan mutlak) dalam soal perbuatan manusia, sehingga ada konsep kasab di dalam madzhab Asyari.
Kalau madzhab Asy’ari yang mana? Bisa kita baca di dalam Aqidatul Awam, Kifayatul Awam Ummul Barahin, Jauharatut Tauhid, Kharidatul Bahiyyah. Kitab-kitab tersebut merupakan produk (mazhab) Asy’ari yang lahir dari manhaj Asy’ari.
Testemoni Ibnu as-Subky terhadap Manhaj al-Asy’ary
Kemudian, Ulama yang dianggap sebagai pilar-pilar akidah Asy’ariyyah ada tiga yaitu al-Qadli Abu Bakar al-Baqillani, Abu al-Ma’ali Imam al-Haramain al-Juwaini dan Hujjatul Islam Abu Hamid al ghazali (meskipun al-Ghazali sedikit punya pendapat yang berbeda dengan mazhab Asy’ari).
Ibnu as-Subky menyatakan, Abul Hasan al-Asy’ari adalah muqarrirun la munsyi’un, artinya mengokohkan apa yang ada, bukan mengadakan apa yang belum ada. Artinya, mazhab Asy’ari adalah mazhab salaf, taqrir wa ta’yid mazhab as-salaf bi al-barahin al-aqliyyah al-‘ilmiah (mengokohkan dan menguatkan mazhab salaf dengan argumentasi filosofis-ilmiah) karena memang masanya menuntut demikian.