Wazanmedia.com – Kita sering berasumsi bahwa bertindak selalu lebih baik daripada diam saja. Hati-hati. Asumsi ini bisa membuat Anda terjerumus dalam sesat pikir yang disebut action bias.
Apa yang terjadi jika seorang kiper hanya berdiri di tengah gawang saat babak adu penalti pada suatu pertandingan akbar final piala dunia? Para fans akan mencemoohnya habis-habisan. Pelatih dan rekan setimnya pun demikian.
Daripada jadi sasaran amuk fans dan dimusuhi rekan setim, lebih baik meloncat ke bagian kanan atau kiri gawang, walau akhirnya kebobolan juga. Untuk apa? Supaya kelihatan lebih berusaha. Padahal, menurut penelitian, tetap berada di tengah justru lebih efektif menyelematkan gawang.
Fans cenderung marah kalau kiper kebobolan tendangan penalti yang mengarah ke kanan kiri, sementara ia tetap berada di tengah. Tetapi tidak begitu emosi kalau kiper sudah meloncat ke kanan atau kiri walau bola mengarah ke tengah.
Apa “Action Bias” Itu?
Inilah yang disebut dengan action bias. Action bias adalah kecenderungan psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu supaya tampak berusaha padahal tidak efektif. Dalam action bias ada asumsi dan penilaian bahwa bertindak selalu lebih baik daripada diam saja. Padahal, boleh jadi tidak melakukan apa-apa justru lebih efektif.
Action Bias ini bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ujar-ujar “yang penting usaha dulu” tanpa memperhatikan bagaimana usaha itu harus dilakukan dan mempertimbangkan efektifitasnya adalah salah satu bukti sahihnya.
Kebijakan pemerintah seringkali juga begitu. Supaya kelihatan bekerja di mata rakyat, dibuatlah kebijakan-kebijakan yang dapat memperlihatkan pemerintah bekerja, padahal pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan rakyat, bahkan bisa memperparah penderitaan rakyat. Kebijakan food estate oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia adalah sampel kongkritnya.
Action bias ini terjadi karena kurangnya kesempatan untuk melakukan pengamatan dan perenungan terlebih dahulu sebelum bertindak. Gampangnya, yang penting lakukan dulu. Urusan rugi dan rusak belakangan.
“Action Bias” dalam Beragama
Action bias hanya mementingkan kuantitas perbuatan, bukan kualitasnya. Ini bisa terjadi dalam kehidupan beragama. Contoh, banyak yang memilih salat tarawih 20 rakaat walaupun dilakukan tanpa khusyu dan hikmat dibandingkan 8 rakaat dengan penuh penghayatan. Mengapa? Yang penting banyak walaupun tak berkualitas daripada sedikit walaupun berkualitas.
Ada ujar-ujar yang selama ini dinisbatkan kepada ajaran agama, bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Pernyataaan ini kalau tidak dipikir matang-matang, justru bisa menjerumuskan seseorang dalam keadaan sebaliknya. Banyak anak bukannya untung malah buntung karena tidak dipersiapkan dengan matang. Anak kemudian dianggap beban dan disalahkan atas kemiskinan yang dialami.
Berpikir dan mengambil jeda adalah hal penting yang harus dilakukan sebelum bertindak. Dengan demikian, tindakan tidak asal kerja saja, tetapi betul-betul berguna.