Dalam tradisi Syiah, kepemimpinan umat Islam (imamah) sepeninggal Nabi ditentukan oleh nash (penentuan wahyu). Berbeda halnya menurut kalangan Sunni-Asy’ariyah, yang berpandangan bahwa pemimpin umat setelah Nabi ditentukan oleh kesepakatan/pilihan umat (al ittifaq wal ikhtiyar) dengan ragam mekanismenya.
Walaupun tampak berbeda, kedua kelompok ini segendang sepenarian soal ‘sakralisasi kepemimpinan’. Sunni-Asy’ariyah memang menolak penentuan pemimpin umat Islam berdasarkan wahyu. Akan tetapi, mazhab ini menyatakan bahwa memilih pemimpin hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut datangnya dari wahyu (wajib syar’iy).
Berseberangan dengan mazhab tersebut adalah kalangan muslim Muktazilah. Sebagian dari mereka bahkan berpandangan anarkis: umat tidak membutuhkan pemerintahan. Tidak ada pemerintahan bukan berarti tidak ada hukum. Hukum tetap bisa ditegakkan walaupun tak ada negara.
Sikap anarki ini bukan tanpa sebab. Mereka skeptis umat membutuhkan pemerintah/negara lantaran pengalaman mereka membuktikan “para imam selalu berubah menjadi raja yang tiran”. Sehingga, solusi terbaik menurut mereka adalah tidak menetapkannya sejak awal.
Sebagian lainnya tidak sampai anarkis. Mereka mengakui bahwa pemerintahan/mengangkat pemimpin politik adalah hal yang perlu dan wajib diselenggarakan. Namun demikian, kewajiban ini menurut mereka tidak datang dari wahyu (syariat), melainkan dari akal sehat (wajib ‘aqli).
Varian pandangan kelompok Muktazilah ini sesungguhnya seragam. Keduanya menghendaki ‘desakralisasi kepemimpinan’: Bahwa memilih/mengangkat pemimpin tak ubahnya kesepakatan-kesepakatan/aktivitas-aktivitas lain yang harus dilakukan oleh manusia dengan pertimbangan akalnya, sehingga tak perlu peran wahyu untuk sekadar mewajibkannya.
***
Perbedaan pandangan soal kedudukan imamah dalam Islam ini–antara sikap sakralisasi dan desakralisasi–memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri.
Pada batas tertentu, sikap sakralisasi berpotensi menggendong politisasi agama: dari wajib memilih pemimpin menjadi wajib memilih calon pemimpin tertentu menurut agama, dan memilih selainnya adalah tanda lemah iman.
Otoritas agama selanjutnya dimainkan. Sekian ayat, hadis, kaul dan tokoh agama dikerahkan untuk mendukung calon tertentu, karena paradigma yang digunakan adalah ‘tidak ada kewajiban tanpa ada wahyu’.
Boleh jadi, setelah itu agama akan digunakan sebagai legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan, walaupun dasar negara dan konstitusi yang telah disepakati harus dikorbankan.
Sedangkan pandangan desakralisasi kepemimpinan lebih dekat dengan prinsip meritokrasi dan rasionalitas: Siapapun memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan tertentu, dan ia berhak dipilih berdasarkan pertimbangan nalar dengan merujuk (di antaranya) pada kemampuannya melaksanakan tugas jabatan, bukan sokongan otoritas agama tertentu.
Dengan pandangan ini, semua kebijakan dan kewenangan ditetapkan berdasarkan pertimbangan nalar soal maslahat dan mafsadat di dalamnya, bukan pada ada-tidaknya kebijakan/kewenangan tersebut dalam teks-teks agama.