Kisah ekologi mulanya muncul dari seorang ahli biologi, Von Haeckel. Ekologi, begitulah disebut pertama kalinya pada tahun 1866. Istilah itu dibuat dari gabungan kata oikos (rumah) dan logos (ilmu). Secara teknis ekologi bagian dari ilmu biologi. Kajiannya tentang interaksi makhluk hidup dengan makhluk hidup lain serta lingkungan sekitarnya.
Di tahun 1960-an istilah ekologi beranjak populer. Yakni ketika kekhawatiran tentang polusi, konsumsi energi, ekosistem umum, dan semacam itu mulai muncul. Orang-orang pun sadar bahwa umat manusia butuh metode pengelolaan yang tepat dan seimbang. Sejak saat itu ekologi sering disebut-sebut dari aktivis rendahan, pecinta lingkungan elite, hingga pejabat pemerintah, dan berbagai kalangan.
Ekologi Sebagai Nilai Moral
Perbincangan tentang pentingnya menjaga lingkungan telah ramai bertebaran di sekolah-sekolah, di jalanan, pojok tongkrongan, dan beberapa komunitas kecil maupun besar. Mereka melakukan upaya nyata untuk memperbaiki kembali, atau setidaknya mencegah kerusakan yang telah terjadi. Kepedulian itu melahirkan beberapa komunitas lingkungan seperti organisasi Greenpeace Internasional, WWF, Friends of the Earth International, The Nature Conservancy dan banyak lagi. Mereka tidak hanya memfatwakan pentingnya menjaga lingkungan, tapi juga membuat gerakan nyata misal program penanaman pohon, penggunaan energi terbarukan, dan lain-lain.
Namun demikian tidak lantas semua orang punya kesadaran yang sama. Bahkan mungkin cuma segelintir, dibanding manusia keseluruhan, yang betul-betul mengimani ide lingkungan. Karena faktanya, hutan terus menggundul, sungai terus mengeruh, udara semakin berpolusi, dan manusia bertambah khawatir.
Mungkin berangkat dari kondisi ini, Arne Naess menggagas ekologi dari aspek yang sama sekali baru, yakni Deep Ecology (DE). Bahwa ekologi, selain sebagai disiplin ilmu, juga memiliki kait-kelindan dengan semacam nilai dan moral. Intinya, menjaga lingkungan itu bagian dari nilai moral. Di satu sisi, lingkungan memengaruhi stabilitas hidup manusia sendiri. Sisi lainnya, lingkungan dipandang sebagai suatu entitas yang juga berhak aman dari perusakan, sebagaimana manusia tidak mau diusik makhluk lain.
Wajah baru ekologi itu sedikit-banyak berhasil mengubah pandangan tentang lingkungan. Karena epistemologi yang ditekankan dalam moral bukan sebatas ilmu empiris, namun naik tingkat ke nilai baik atau buruk. Lalu orang-orang mulai mempertanyakan kegiatan tambang, pabrik mobil, energi nuklir, deforestasi, dan lain-lain. Namun meski kita mengakui muatan moral dalam ekologi, kita tidak otomatis terlepas dari problem lingkungan. Karena nilai moral ekologi pada akhirnya harus berhadapan dengan nilai-nilai lain yang secara simultan juga menjadi prioritas kemanusiaan. Misalnya ekonomi, infrastruktur, teknologi, pengembangan sains, dan segenap tujuan krusial kemanusiaan.
Tidak jarang manusia dihadapkan pada pertimbangan berat, mengejar kemajuan atau mengorbankan aspek lingkungan. Sayangnya, lingkungan sering dinomorduakan—kalau tak mau disebut ‘mengabaikan’. Kita tidak membahas pertambangan nikel, batu bara, penebangan hutan, dan semacamnya, tapi tentang apa yang terjadi di baliknya. Yakni sebuah pilihan; antara tujuan komersial, inovasi, dan teknologi atau peduli lingkungan. Sama-sama penting, tapi mana yang lebih penting? Seringnya, lingkungan dianggap kalah penting. Ternyata ekologi dipandang sebagai nilai moral pun masih kurang powerful.
Ekologi Sebagai Nilai Spiritual
Oleh karenanya perlu ada peningkatan paradigma ekologi, yakni dari nilai moral menjadi nilai spiritual Islam. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Kita memiliki modal besar untuk mewujudkan kesadaran lingkungan dalam tataran penerapan. Kuncinya satu, mengubah paradigma ekologi itu tidak sekedar ilmu sains atau moral, namun juga nilai spiritual.
Sejatinya, Islam telah menegaskan peduli lingkungan. Al-Qur’an banyak menyinggung tentang hubungan manusia dengan alam. Perhatikan tujuan diutusnya Nabi Muhammad: “Dan tidaklah kami utus kamu kecuali sebagai rahmat kepada beberapa alam” [Q.S Al-Anbiya: 107]. Menurut Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran, pemaknaan العالمين (alam-alam) mencakup semua makhluk, jin dan manusia. Termasuk juga binatang dan benda mati, sebagai makna lazim dari apa yang Ibnu Katsir tegaskan bahwa frasa “apa yang di langit dan di bumi” (alladhīna fis-samā’i wal-arḍi) mencakup seluruh ciptaan, termasuk langit, bumi, gunung, benda-benda langit—bukan hanya makhluk hidup—karena semuanya bertasbih kepada Allah [Q.S Al-Isra’: 44].
Pernyataan Al-Quran tampak jelas dengan praktik Nabi. Beliau mengajarkan peduli bahkan bukan hanya pada umat manusia, seperti sabda beliau “Barang siapa menyiksa suatu yang punya ruh kemudian, dan ia tidak bertobat, maka Allah akan menyiksanya di hari kiamat” (HR. Abdullah bin Umar).
Perhatikan pula tujuan awal manusia dicipta. Bukan lain sebagai khalifah di muka bumi. Al-Quran merekam dialog Allah dengan malaikat dalam Q.S Al-Baqarah: 10 tentang rencana penciptaan manusia. Adapun tugas khalifah adalah menjadi penjaga, pengelola, penegak keadilan, dan penebar kebaikan di bumi. Tentu saja tanggung jawab tersebut merupakan amanah berat yang kita pikul bersama.
Dalam bahasa Arab, ekologi disebut dengan al-bi’ah. Istilah ini telah menjadi bidang studi khusus (fikhul bi’ah/fikih lingkungan). Dalil-dalil dalam studi tersebut bersumber dari Al-Quran langsung. Beberapa kali al-Qur’an menyebut dan mendeskripsikan lingkungan yang manusia tempati untuk menyelipkan pesan. Misalnya pada ayat: Dialah Allah yang memanjangkan bumi dan menjadikan di dalamnya ada gunung-gunung dan sungai-sungai. Dan di setiap buah-buahan Allah menjadikannya berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya di situ terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S ar-Ra’d : 3). Di sini Allah Swt mengajarkan bahwa alam merupakan media untuk tafakkur. Keindahan alam akan mengantarkan manusia menyadari kebesaran-Nya.
Banyak sekali Al-Quran secara eksplisit melarang manusia berbuat rusak di bumi. Di antaranya dalam [Q.S al-A’raf : 56], [Q.S al-Baqarah : 11-12], [Q.S al-A’raf : 74], [Q.S al-Qashash : 77], [Q.S ar-Rum : 41], dan [Q.S Yunus : 41]. Masing-masingnya memiliki konteks yang berbeda namun dengan tujuan yang sama. Bahwa manusia tidak sepantasnya berbuat kerusakan, eksploitasi, mengunggulkan kemanusiaan tanpa memerhatikan lingkungan.
Kesimpulan
Jadi, ekologi sebenarnya memiliki orientasi yang sangat luas. Di satu sisi, ekologi berperan sebagai instrumen keberlangsungan hidup manusia. Di sisi yang lebih penting lagi, ekologi juga memiliki andil dalam konteks hubungan spiritual seorang hamba dengan Tuhan. Karena lingkungan yang nyaman, suasana tenang, dan fisik yang sehat adalah syarat utama dalam menerapkan prinsip Islam. Maka seyogyanya kita memandang ekologi termasuk tuntutan syariat yang diajarkan Islam.
Daftar Pustaka
- Djohar Maknun, 2017, EKOLOGI: Populasi, Komunitas, Ekosistem, Nurjati Press. Cirebon.
- Al-Qurthubi, Al-Jami’ li AhkamilQuran, 1943 H. Darul Kutub AL-Mishriyah, Mesir.
- Abdullah bin Umar, 1429 H, Ahkamul Bi’ah, Dar Ibn al-Jauzy, Riyadh—Saudi Arabia.
- Suanto Fatahuddin, 2017, Larangan Menyiksa Binatang, Tahdis, Vol. 8 No. 1
- Edra Satmaidi, 2015, Konsep Deep Ecology Dalam Pengaturan Hukum Lingkungan, Jurnal Penelitian Hukum Spremasi Hukum, Vol. 24 No. 2
- Henny HB. Heliwasnimar, Ardimen, 2024, Etika dan Moral Dalam Ilmu Pengetahuan, Indonesian Research Journal On Education, Vol. 4 No. 1
- Abdurrahman bin Abu bakar, 1431 H, jami’ul Ahadits,