Salah satu faktor terjadinya fenomena gerakan eksteremisme dalam agama adalah melampaui suatu batasan yang telah ditetapkan, baik dari adat (‘urf), atau syariat. Dalam literatur kajian Islam, “berlebihan” ini disebut dengan ghuluw. Fenomena ghuluw atau berlebihan dalam beragama merupakan salah satu penyakit spiritual dan intelektual yang sangat diwaspadai oleh para ulama.
Dalam sejarah Islam, banyak kerusakan muncul bukan karena orang membenci agama. Namun justru karena pemahamannya yang acap kali keliru dan ektstrem_entah memang disengaja atau tidak. Imam Abu hamid al-Ghazali, salah satu ulama yang menaruh perhatian besar terhadap hal ini. Kitabnya yang berjudul ihya’ ulumuddin, beliau memaparkan dengan cukup dalam, mengenai bahaya ghuluw, yaitu sebagai bentuk penyimpangan dari jalan tengah Islam.
Ada sebuah ayat yang ditujukan kepada Ahlu al-Kitab, khususnya Nasrani, yang sangat berlebihan sampai mengangkat Nabi Isa a.s menjadi Tuhan atau anak Tuhan. Potongan ayatnya begini: ﴿لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ﴾ Artinya: “janganlah kamu berlebih-lebihan dalam agamamu” (QS. An-Nisa: 171). Benar ayat ini memang turun untuk menyinggung Ahlu al-Kitab, namun para ulama tafsir seperti Ibn Katsir dan Al-Qurtubi menyatakan bahwa larangan ghuluw ini berlaku umum, termasuk untuk umat Islam.
Jadi Al-Qur’an memperingatkan agar umat tidak belebih-lebihan dalam keyakinan atau praktik keagamaan sampai keluar dari batas-batas yang telah ditentukan syariat. Ghuluw bisa terjadi dalam aspek keyakinan (akidah), amal, maupun sikap terhadpap sesama umat. Rasulullah Saw bersabda : إياكم والغلو في الدين “Hati-hatilah kalian terhadap sikap berlebih-lebihan dalam beragama.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah). Hadits ini konteksnya haji wada’, ketika sebagian sahabat melempar jumrah dengan batu-batu besar.
Nabi Saw menegur mereka karena itu keluar dari sunnah dan mengandung unsur ghuluw. Jelasnya, pesan Nabi ini bahwa semangat beragama tidak boleh mengalahkan aturan dan hikmah agama itu sendiri. Imam an-Nawawi mensyarahi hadits ini sebagai peringatan bahwa fanatisme, pemaksaan, atau ibadah yang tidak sesuai tuntunan justru akan merusak agama, bukan mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam konteks beragama, Imam al-ghazali melihat ghuluw sebagai bentuk ibadah atau komitmen keagamaan yang tidak seimbang, tidak proporsional, dan tidak dengan bimbingan oleh disiplin ilmu yang benar. Beliau mengklaim ghuluw sebagai “penyakit orang-orang yang baru merasakan manisnya agama, namun akalnya belum matang.” Lebih lanjut, ghuluw bukanlah tanda kekhusyukan, melainkan pertanda lemahnya pemahaman terhadap hakikat syariat. Islam, kata al-Ghazali, menuntut keseimbangan antara lahir dan batin, antara amal dan ilmu, antara kesalehan pribadi dan tanggung jawab sosial.
Ulama kontemporer ‘Abdurrauf Muhammad ‘Utsman dalam kitabnya muhibbatu al-rasul bayna al-ittiba’ wa al-ibtida’ menyebutkan beberapa perbuatan ghuluw. Beliau menyebutkan ghuluw sebagai bentuk eksteremisme. Salah satunya, ghuluw dalam akidahالغلو في الاعتقاد, yaitu melampaui batas keyakinan yang benar menuju bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Kelompok teologis الفرق الكلامية yang telah menyimpang dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sudah dipastikan mereka telah ektrem (ghuluw) dalam satu sisi dari akidah, hingga keluar dari jalan yang lurus.
Dalam hal sifat-sifat Allah Swt, misalnya, terdapat kelompok nafi (yang menolak) dan ta’wil (yang menafsirkan secara alegoris) yang telah berlebihan dalam men-tanzih (menyucikan) allah, hingga meraka meniadakan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan menggambarkan-Nya seperti sesuatu yang tidak ada. Intinya, banyak kelompok teologis yang memahmi keyakinannya sesuai dengan imajinasi mereka saja, tidak dengan ilmu yang sudah diajarkan oleh syariat (nash yang shahih).
Ada juga ghuluw dalam perilaku الغلو في العمل, maksudnya, berlebih-lebihan dalam wilayah kategori hukum syariat yang lima, yaitu: wajib, sunnah, makru, haram, dan mubah. Dalam kitab muhibbatu al-rasul bayna al-ittiba’ wa al-ibtida’ dijelaskan: فمن جعل المندوب بمنزلة الواجب، أو المكروه بمنزلة المحرم، أو جعل المباح مكروها أو محرما فقد غلا في الدين وجانب الصراط المستقيم yang artinya “barangsiapa menjadikan sesuatu yang sunnah sebagai wajib, atau yang makruh sebagai haram, atau yang mubah dianggap makruh atau haram, maka ia telah berlebihan dalam agama dan menyimpang dari jalan yang lurus”. Contohnya orang yang mengharamkan hal-hal yang Allah halalkan, seperti menikah atau makan makanan yang baik, atas nama zuhud atau ibadah, juga termasuk pelaku ghuluw.
Ulama kontemporer, Yusuf al-Qaradawi memperkenalkan konsep wasathiyah sebagai solusi peradaban. Dalam kitabnya fiqh al-Wasathiyah, ia menyatakan bahwa Islam bukan hanya agama ibadah, tetapi juga sistem sosial-politik yang menjunjung adil dan seimbang. Radikalisme, dalam pandangannya, lahir dan krisis keilmuan dan kekosongan spiritual yang dimanfaatkan oleh ideologi-ideologi politis.
K.H Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) secara konsisten menyuarakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Beliau menyebut bahwa radikalisme bukan produk dari Islam itu sendiri, tetapi dari pemutusan mata rantai sanad keilmuan. Ketika orang mengaji agama tanpa guru, mereka mudah salah paham dan mudah dipengaruhi oleh narasi benci dan perlawanan. Gus Mus menegaskan pentingnya riyadhah (latihan spiritual) dalam mendidik jiwa sebelum menyampaikan dakwa.
Jadi ghuluw bukanlah bentuk keimanan yang kuat, melainkan keimanan yang tergelincir. Fenomena ini muncul ketika agama dipelajari secara parsial, diamalkan secara serampangan, dan dijadikan alat untuk menunjukkan superioritas diri. Jalan keluar dari ghuluw adalah kembali kepada ilmu yang bersanad, tasawuf yang benar, dan keseimbangan ruhani. Islam bukan hanya sekedar semangat beribadah, tapi juga mengikuti tuntunan dan ajaran dari baginda Nabi Muhammad Saw.