Pondok pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan paling khas dalam sejarah peradaban Islam di Indonesia. Sejak masa kolonial hingga era reformasi, pesantren telah memainkan peran penting dalam pembentukan karakter keislaman, sosial, dan kebangsaan umat Islam Indonesia. Tradisi intelektual yang berkembang di pesantren, khususnya melalui kajian kitab kuning (turats), telah melahirkan banyak tokoh ulama yang tidak hanya alim dalam ilmu agama, tetapi juga aktif dalam dinamika sosial-politik masyarakat. Secara sosiologis, pesantren bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga lembaga sosial dan budaya. Pesantren menjadi pusat pembinaan moralitas, pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus sebagai benteng resistensi terhadap arus modernitas yang cenderung sekular. Dengan sistem pendidikan yang berakar kuat pada nilai-nilai Islam, pesantren diyakini mampu melahirkan generasi yang berakhlak mulia dan memiliki spiritualitas tinggi.
Pada era globalisasi saat ini, lembaga pendidikan termasuk pesantren dituntut untuk lebih adaptif terhadap tantangan zaman. Globalisasi membawa serta kompleksitas sosial, perubahan budaya, perkembangan teknologi, serta persinggungan antaragama dan antarbudaya yang lebih intens. Semua ini menuntut sistem pendidikan untuk mampu mencetak manusia yang tidak hanya saleh secara spiritual, tetapi juga cakap secara sosial dan intelektual. Kurikulum menjadi jantung dari sistem pendidikan. Kurikulum pesantren yang tidak mampu bertransformasi dikhawatirkan hanya akan melahirkan generasi yang terasing dari problematika sosial dan teknologi kontemporer. Oleh karena itu, menakar relevansi kurikulum pesantren menjadi langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan fungsi pesantren dalam membentuk peradaban Islam yang kontekstual dan moderat.
Selain itu, di tengah semakin pluralnya masyarakat Indonesia dan dunia, pesantren ditantang untuk mengembangkan wawasan kebangsaan dan nilai-nilai multikultural dalam pendidikan. Tidak cukup hanya menjadi benteng moral, pesantren harus menjadi garda depan dalam membangun narasi Islam yang ramah terhadap perbedaan dan terbuka terhadap peradaban. Hal ini hanya bisa dicapai jika kurikulum pesantren disusun secara responsif terhadap perkembangan zaman.
Tantangan Globalisasi dan Pluralisme dalam Pendidikan Islam
Globalisasi pada dasarnya adalah proses keterbukaan dunia yang ditandai oleh arus informasi, budaya, ekonomi, dan teknologi yang saling terhubung lintas batas negara. Dalam konteks pendidikan Islam, globalisasi membawa dua sisi: peluang dan ancaman. Peluang berupa akses terhadap ilmu pengetahuan modern, kolaborasi lintas budaya, dan pemanfaatan teknologi pendidikan; sementara ancaman mencakup penetrasi nilai-nilai liberal, individualistik, dan hedonistik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Sementara itu, pluralisme adalah kenyataan sosiologis bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam suku, agama, budaya, dan pandangan hidup. Di Indonesia, pluralitas merupakan ciri khas yang tidak bisa dihindari. Dalam konteks ini, pendidikan Islam, termasuk pesantren, diharapkan mampu menjadi agen integrasi sosial yang menanamkan nilai-nilai kebhinekaan, toleransi, dan saling menghormati. Namun kenyataannya, sebagian lembaga pendidikan Islam belum sepenuhnya siap menghadapi realitas pluralistik tersebut.
Menurut Azyumardi Azra (2002), pendidikan Islam masa depan harus bersifat terbuka, dinamis, dan kontekstual agar tidak terjebak dalam konservatisme sempit. Dalam kerangka ini, pesantren perlu membuka diri terhadap isu-isu global seperti hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, dan kesetaraan gender. Kurikulum yang tidak memasukkan isu-isu tersebut cenderung menghasilkan lulusan yang rigid dan kurang siap bersaing di kancah nasional maupun internasional. Oleh karena itu, kurikulum pesantren harus dirancang untuk membentuk santri yang memiliki kesalehan ritual dan sosial, serta mampu menjadi jembatan perdamaian antarbudaya. Materi-materi seperti pendidikan islam multikultural dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai bentuk penguatan terhadap nilai-nilai pluralisme yang menjadi kebutuhan zaman.
Menakar Kesiapan Kurikulum Pesantren Menghadapi Perubahan Zaman
Kurikulum pesantren klasik secara umum masih bersifat tradisional, berorientasi pada penguasaan teks-teks keagamaan klasik (kitab kuning), dengan pendekatan hafalan dan pemahaman literal. Walaupun pendekatan ini memiliki keunggulan dalam membentuk kedalaman ilmu dan spiritualitas, namun belum cukup untuk menjawab kebutuhan kompleks masyarakat modern yang terus berubah secara cepat.
Banyak pesantren yang belum menjadikan isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, global citizenship, literasi digital, dan teknologi informasi sebagai bagian dari pembelajaran. Padahal, santri sebagai bagian dari generasi muda Indonesia, harus mampu berinteraksi aktif dengan dunia luar. Kesenjangan antara kurikulum pesantren dan tuntutan zaman inilah yang menjadi sumber kekhawatiran akan marginalisasi lulusan pesantren dalam persaingan global.
Beberapa pesantren telah mencoba merespons tantangan ini dengan melakukan inovasi kurikulum, antara lain dengan mengintegrasikan kurikulum nasional dan kurikulum pesantren. Mereka juga mulai menyisipkan pelajaran tentang kewirausahaan, teknologi informasi, serta soft skills seperti kepemimpinan dan manajemen organisasi. Namun inovasi ini belum merata dan masih bersifat eksperimental.
Menurut Muhaimin, reformulasi kurikulum pendidikan Islam, termasuk di pesantren, harus menggunakan pendekatan integratif-holistik yang menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam satu kesatuan pembelajaran. Ini berarti bahwa pesantren perlu menyusun kurikulum yang tidak hanya berfokus pada ilmu agama, akan tetapi juga mengembangkan potensi intelektual dan keterampilan praktis santri untuk menghadapi tantangan dunia nyata. Dengan demikian, kesiapan kurikulum pesantren menghadapi perubahan zaman sangat tergantung pada sejauh mana kurikulum tersebut mampu membuka ruang bagi inovasi, adaptasi, dan pembaruan. Keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan modern dan penguatan nilai-nilai multikultural akan memperkuat eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang transformatif dan relevan sepanjang zaman.
Kurikulum Pesantren sebagai Sarana Penguatan Moderasi Beragama
Pesantren memiliki kekayaan tradisi dan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai moderat. Nilai-nilai seperti tawassuth, tasamuh , tawazun, dan i’tidal sudah menjadi bagian integral dari ajaran pesantren, terutama yang berafiliasi dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai ini dapat menjadi fondasi kuat dalam membentuk santri yang beragama secara moderat dan tidak mudah terjebak dalam ekstremisme.
Kurikulum pesantren yang mendukung penguatan moderasi beragama harus diarahkan pada pembelajaran yang inklusif, toleran, dan responsif terhadap perbedaan. Kajian fikih, misalnya, tidak hanya berhenti pada perbedaan pendapat mazhab, tetapi juga menyampaikan nilai-nilai hikmah di balik perbedaan tersebut. Demikian pula dalam pengajaran tafsir dan hadis, penting bagi pesantren untuk memadukan antara pemahaman tekstual dengan pendekatan kontekstual yang humanis.
Menurut Zuhairi Misrawi, pesantren berperan penting dalam menyebarkan Islam yang ramah dan inklusif. Kurikulum yang mendukung visi ini perlu didesain tidak hanya dalam bentuk materi pelajaran, tetapi juga dalam kegiatan ekstrakurikuler, budaya asrama, dan pembinaan karakter. Dalam konteks ini, kurikulum adalah bagian dari ekosistem pendidikan pesantren secara utuh. Dengan menjadikan kurikulum sebagai sarana internalisasi nilai-nilai moderasi, pesantren akan semakin kokoh sebagai benteng Islam wasathiyah dan pelopor perdamaian. Santri tidak hanya diajarkan menjadi pribadi yang saleh secara individu, tetapi juga menjadi pelaku aktif dalam menciptakan harmoni sosial di tengah masyarakat majemuk.