Wazanmedia.com — Al-Qur’an Surat al-Ankabut yang berbunyi: “Sesungguhnya shalat melarang dari kekejian dan kemungkaran”, telah menjadi bahan diskusi dan pertanyaan para ulama. Khususnya setelah melihat kenyataan bahwa banyak diantara kita yang shalat. Tetapi shalatnya tidak menghalangi dari kekejian dan kemungkaran. Persoalan ini telah muncul jauh sebelum generasi masa kini. Sebagaimana keterangan para ulama salaf.
Ayat lengkapnya berbunyi:
اُتْلُ مَا أُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَاَقِمِ الصَّلَاةۗ اِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلِذِكْرُ اللهِ اَكْبَرۗ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat melarang dari kekejian dan kemungkaran. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Ankabut ayat 45)
Makna dari redaksi “kekejian dan kemungkaran”, seorang ulama tafsir kontemporer, syekh Mutawalli asy-Sya’rawi mengatakan.
ومعنى (الفَحْشَاء) كل ما يُسْتفحش من الأقوال والأفعال (والمنكَر) كل شيء يُنكره الطبع السليم
“Makna dari الفَحْشَاء adalah segala sesuatu yang dianggap keji atau sangat buruk. Baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan المنكَر adalah segala sesuatu yang ditolak oleh tabiat atau naluri yang sehat.”
Anggapan Umum Terhadap Orang yang Shalat dan Maksiat Jalan
Persoalannya adalah ketika seorang muslim melakukan maksiat atau perbuatan yang menyimpang dari syariat. Lalu langsung disimpulkan bahwa ia adalah orang yang malas mengerjakan sholat. Bahkan tidak pernah melakukannya. Hal ini didasarkan pada pemahaman terhadap ayat yang menyatakan bahwa shalat akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Seandainya seseorang benar-benar menunaikan shalat, niscaya ia tidak akan terjerumus dalam kemaksiatan atau perbuatan mungkar. Klaim seperti ini sangat musykil. Faktanya, banyak orang yang menunaikan shalat tetapi tetap melakukan maksiat.
Tanggapan Imam Alusi Terkait Shalat dan Maksiat Jalan
Imam al-Alusi mengecam klaim semacam ini dengan menyatakan sebagai orang yang tidak memiliki pengetahuan. Beliau mengatakan:
وما أرى هذا الإشكال إلا مبنيا على توهم استلزام النهي للانتهاء ، وهو توهم باطل وتخيل عاطل لا يشهد له عقل ولا يؤيده نقل (روح المعاني)
“Menurut saya, kemusykilan ini tidak lain berasal dari anggapan bahwa setiap larangan mengharuskan untuk benar-benar meninggalkannya. Ini adalah anggapan yang batil dan hanya sebuah khayalan yang tidak ditopang oleh akal sehat dan dalil syariat”
Lebih lanjut, Imam al-Alusi menjelaskan bahwa maksud dari “melaksanakan shalat mencegah dari kekejian dan kemungkaran” tidak dipahami dapat mencegah dari seluruh perbuatan keji dan mungkar secara utuh. Melainkan shalat hanya berperan dalam mengurangi kecenderungan untuk melakukan penyimpangan tersebut. Kalaupun terdapat seseorang yang tetap melakukan maksiat meskipun ia melaksanakan shalat, maka bisa dimungkinkan bahwa tanpa shalat, tingkat kemaksiatannya akan jauh lebih besar.
Menurut Ibnu Asyur dan Syekh Mutawalli Sya’rawi
Ibnu Asyur juga mempertegas tentang pemahaman ayat di atas, bahwa kekejian dan kemungkaran tidak bisa ditinggalkan secara utuh hanya sebab melaksanakan salat. Beliau berpendapat:
والمقصود، أن الصلاة تيسر للمصلي ترك الفحشاء والمنكر. وليس المعنى أن الصلاة صارفة المصلي عن أن يرتكب الفحشاء والمنكر فإن المشاهد يخالفه إذ كم من مصل يقيم صلاته ويقترف بعض الفحشاء والمنكر. (التحرير والتنوير)
“Maksud dari ayat di atas adalah bahwa shalat dapat memudahkan bagi orang yang melaksanakannya untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Bukan berarti shalat dapat mencegah pelakunya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar secara utuh, karena kenyataannya tidak demikian. Realitanya masih banyak orang yang melaksanakan shalat namun masih melakukan kekejian dan kemungkaran.”
Penjelasan lebih detail, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi menganalisa ayat di atas, bahwa pada lafal sebelumnya terdapat fiil amar yang berbunyi وَاَقِمِ الصَّلَاة. Menurutnya, perintah disini bukan perintah kauniyah (perintah Allah yang bersifat alamiah atau alam semesta, yang merupakan takdir Allah yang pasti terjadi), melainkan perintah tasyri’ (pensyariatan), yang bisa saja ditaati atau dilangar. Lebih jelasnya beliau mengatakan begini:
فالمعنى هنا أن الأمر ليس أمراً كونياً ثابتاً لا يتخلف ، بل هو أمر تشريعي عُرْضة لأنْ يُطاع ، وعُرْضة لأنْ يُعصى ، فلو كان الأمر كونياً ما جرؤ صاحب صلاة عن الفحشاء والمنكر (تفسير الشعراوي)
“Makna perintah disini bukan perintah kauni yang pasti terjadi dan tidak mungkin dilanggar, melainkan ia adalah perintah tasyri’i yang bisa saja ditaati dan bisa saja dilanggar. Maka, andaikan perintah itu bersifat kauni, tentu orang-orang yang melaksanakan shalat tidak akan melakukan kekejian dan kemungkaran”.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa shalat tidak sepenuhnya mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Kecuali jika disertai dengan faktor pendukung lainnya, seperti kesadaran diri bahwa perbuatan tersebut dilarang, selalu merasa diawasi oleh Allah Swt, serta dorongan untuk senantiasa memperbaiki diri. Namun meskipun demikian, shalat juga mempunyai peran yang besar dalam membantu pelakunya menjauhi perbuatan penyimpangan, asalkan shalat tersebut memang benar-benar dilaksanakan secara sempurna. Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi:
والصلاة إذا استوفتْ شروطها نهتْ صاحبها عن الفحشاء والمنكر ، فإذا رأيتَ صلاة لا تنهى صاحبها عن الفحشاء والمنكر ، فاعلم أنها ناقصة عما أراده الله لإقامتها (تفسير الشعراوي)
“Apabila shalat telah memenuhi syarat-syaratnya. Maka akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Namun, jika tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar tersebut. Perlu diketahui bahwa shalat itu masih kurang dari apa yang dikehendaki Allah Swt”.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mampu menunaikan shalat dengan sempurna. Memenuhi syarat dan rukunnya. Memperhatikan sunnah-sunnahnya, serta menjalankannya dengan khusyuk dan ikhlas. Aamin.