Wazanmedia.com — Liberalisasi Islam. Islam adalah agama yang satu untuk semua Muslim di dunia. Ukuran akidahnya seragam: percaya pada Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Nabi akhir zaman. Tapi “berislam” alias menjalankan syariah dalam beragama ini bisa bermacam-macam, tergantung dimana seorang Muslim dididik dan di lingkungan apa ia dibesarkan. Makanya dalam Dunia Islam ada banyak mazhab fiqh (bukan cuma empat).
Sekarang mari renungkan makna “liberal” dan “berislam”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata liberal diartikan sebagai “bersifat bebas”; “berpandangan bebas (luas dan terbuka)”. Jika ada seseorang sering mengungkapkan pikiran luas dan terbuka tentang berislam sesuai makna liberal tadi, dan karena itu banyak berbeda pandangan dengan rata-rata masyarakat Indonesia, adakah itu sebuah kesalahan? Berdosakah seseorang berpikiran luas dan terbuka? Silahkan Anda jawab dengan kepala dingin dan hati tenang.
Jika belakangan ada seseorang yang berfikir luas dan terbuka, yang jelas ia bukanlah orang pertama yang berpandangan bebas demikian (luas dan terbuka) dalam berislam, bahkan biasa-biasa saja dibanding contoh-contoh berikut ini:
Ketika ulama lain menyebut Al-Quran adalah kalam Allah, sementara kaum Mu’tazilah menyebut Al-Quran adalah makhluk, apakah kaum Mu’tazilah liberal? Pemikir Islam terkenal dari Pakistan, Muhammad Iqbal (1877-1938), tidak percaya Adam manusia pertama dan dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” yang terbit pada 1930 menyebut kisah kejatuhan Adam ke dunia dalam Al-Quran hanyalah legenda dan alegori belaka, apakah Iqbal liberal?
Tak hanya itu, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, atau di Barat dikenal sebagai Rhazes, percaya bahwa dengan kekuatan rasio, manusia mampu mengenal Allah lalu bertuhan. Pemikir Muslim yang hidup antara 864-930 ini lalu mengatakan, karena dengan rasio manusia bisa mengenal Tuhan, maka para Nabi sebenarnya tidak dibutuhkan. Apakah Ar-Razi liberal?
Contoh lain misalnya, Nabi Muhammad SAW jelas-jelas melarang para sahabatnya mencatat firman-firman Allah yang disampaikannya kepada para sahabatnya saat beliau masih hidup. Tapi, begitu Nabi wafat dan banyak penghafal Quran tewas dalam peperangan, Umar bin Khattab meminta Khalifah Abu Bakar membukukan Al-Quran. Apakah Umar bisa disebut liberal karena tindakannya itu berarti menentang larangan Nabi SAW? Yang jelas kita belum tentu seberani Umar bin Khattab. Dan bukankah berkat tindakan Umar yang berpikiran luas dan terbuka, kita sekarang jadi punya Al-Quran cetak dan kemudian berkembang jadi Al-Quran digital?
Jika Anda berpikiran liberal sesuai definisi KBBI (bersifat bebas, luas, dan terbuka), Anda akan tersenyum kecil saja setiapkali mendengar ceramah seseorang, baik di medsos dan lainnya. Anda tidak akan marah apalagi mengembangkan otot. Renungkan definisi KBBI. Orang baru bisa berpikiran bebas jika dia berwawasan luas. Orang harus berwawasan luas dulu baru bisa bersikap terbuka. Jika Anda marah dengan pernyataan-pernyataan yang luas dan terbuka, berarti Anda harus instrospeksi diri, jangan-jangan wawasan Anda memang hanya selebar kepalan tangan. Makanya Anda gampang mengeroyok orang, atau minimal gembira melihat orang dikeroyok lalu bersorak-sorai dimana-mana.
Jika Anda seorang Muslim tapi tidak berpikir liberal sesuai definisi KBBI, bagaimana mungkin Anda akan menjawab tantangan Al-Quran dalam surat Al-Rahman (55) ayat 33 yang memerintahkan umat Islam berpikir sebebas-bebasnya, seluas-luasnya, kalau perlu sampai muntah, agar kita bisa bersaing dengan bangsa jin (bukan bangsa manusia lagi) dalam menguasai jagad raya.
Tidak percaya, Al-Quran memerintahkan kita berpikir seluas-luasnya dan memerintahkan kita bersaing dengan bangsa Jin dalam menguasai ilmu pengetahuan? Baca firman Allah SWT di bawah ini:
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَا لْاِ نْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَا رِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ فَا نْفُذُوْا ۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍ
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kalian sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (akal pikiran).” (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 33).
Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa Indonesia negara kita tercinta ini bukanlah negara agama, tapi sangat menjunjung tinggi religiositas masyarakatnya sesuai sila pertama Pancasila. Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Atas nama dan berdasarkan konstitusi ini, agama-agama diperbolehkan tumbuh subur di negeri ini, bahkan aliran kepercayaan pun tidak dibasmi. Jika agama-agama lain saja Anda perbolehkan hidup berdampingan dengan Islam sesuai undang-undang, mengapa tafsir orang lain tentang ajaran Islam yang Anda rasa berbeda dengan tafsir Anda membuat Anda mengamuk? Mengapa begitu sulit dan rumit cara berfikir Anda? Bukankah perbedaan adalah rahmat bagi umat sejauh itu tidak menyentuh esensi pokok (اصولية) dalam agama Islam.
Dulu, pada 1258, kaum Barbar menghancurkan kota Baghdad dan membakar habis perpustakaan terbesar milik Khilafah Abbasiyyah. Bangsa Barbar ini hanya terbiasa mengandalkan otot, tak terbiasa berdiskusi ilmiah, tidak doyan baca buku, akibatnya wawasan berpikir mereka sependek kepalan tangan. Itulah sebabnya kaum Barbar tidak ambil pusing saat membakar beribu-ribu buku, kekayaan intelektual umat manusia yang tak ternilai. Nah, karakter Barbarianisme itulah yang ditunjukkan para Anda sekarang ini.
Bedanya, jika kaum Barbar asal Mongolia pimpinan Hulagu Khan itu hanya mengandalkan otot, mereka yang sekarang ini (Anda) lebih berbahaya, sebab mereka tidak hanya mengandalkan otot, tapi juga menjual takbir. Mereka yang gemar berpikiran bebas, luas, juga terbuka mestinya merasa terancam dengan para pengusung ideologi takfir dan pengusung label munafik.