Wazanmedia.com–Pernahkah kalian bertanya-tanya, kenapa harus ada fitur like di Instagram? Atau, kalau memang perlu, kenapa harus berbentuk hati dan berwarna merah?
Awalnya saya juga tidak pernah berpikiran ke sana. Itu bukan urusan saya. Namun, tanda tanya itu mendadak mampir, saat tiba-tiba, belakangan ini saya mengalami hal-hal yang cukup menggelikan.
Saat itu sudah tengah malam. Saya masih asyik scroll-scroll IG ketika tiba-tiba bertemu sebuah story mellow dari salah satu teman dekat. Sebagai teman yang baik, saya pun menanggapi cerita itu. “Kayak yang sedih banget, kenapa?”
Siapa sangka, dia malah menelepon, dan … menangis! Yups, tengah malam, saya harus mendengar tangisan patah hati seorang cewek. Provokatornya adalah si kecil berbentuk hati warna merah itu; like IG!
Ternyata, tragedi ini bermula dari peristiwa saling follow antara dia dengan seorang cowok yang masih sekampung dengannya. Entah berapa tahun jarak usia mereka. Yang jelas, cowok itu bisa dibilang sudah mapan.
Hari terus berlanjut. Interaksi mereka semakin intens. Si Doi sering melihat cerita yang teman saya buat. Begitu pun sebaliknya. Entah kalau bertemu langsung mereka akrab atau tidak. Saya belum sempat menanyakan hal ini.
Namanya juga cewek, gak bisa kalau gak baper. Teman saya ini bertanya-tanya, ada apakah gerangan? Kenapa cowok itu selalu nge-like ceritanya? Maksudnya apa? Masih mending kalau kontennya memang pantas mendapatkan penghargaan. Masuk akal kalau terus-menerus di-like. Sementara dia, gak ada bermutu-bermutunya, cuma story iseng, kok bisa tetep di-like? Tahu sendiri ‘kan, hati warna merah itu sensitif banget? Umumnya, ia melambangkan cinta, kasih sayang, dan romansa. Bahkan teman saya ini sampai pernah mancing-mancing cowok itu dengan story yang lebih mengarah ke urusan asmara. Siapa tahu kalau memang itu kode, dia akan berterus terang. Hasilnya? Tetap di-like tanpa ada keterangan lebih lanjut.
Akhirnya, ia terjebak dalam dilema. Mau senang, takut kegeeran. Mau gak ge-er, hati tak bisa diajak berkompromi. Teman saya hanya bisa menunggu alur selanjutnya.
Eh, di sela-sela menunggu itulah, ia menemukan sebuah berita yang mengguncang jiwanya. Cowok itu bikin story; foto-foto pertunangannya dengan seorang gadis bening. Teman saya langsung shock. Tak ada tanda-tanda apa pun sebelumnya, tiba-tiba sudah tunangan. Tunangannya cantik banget lagi, bikin insecure.
Begitulah asal mula story mellow itu. Dia bilang, “Memang gini resikonya kalau berharap sama manusia, rentan untuk dikecewakan.”
Kalau sudah begini, yang bisa saya lakukan hanyalah menjadi pendengar yang baik sambil sedikit-sedikit mencoba menghiburnya. “Iya, gapapa. Nangis aja dulu, tapi jangan lama-lama,” nasihatku saat itu. Begitu bijak.
Satu hal yang teman saya tidak tahu. Bahwa saat mendengarkan dia menangis malam itu, sebenarnya saya sangat ingin tertawa. Teringat kejadian beberapa hari sebelumnya, terkait ikon hati berwarna merah juga, meski dalam platform yang berbeda. Kali ini, saya sebagai korbannya.
Jadi ceritanya begini. Sebagai seorang santri yang cuma dapat jatah libur sekitar tiga minggu setiap tahun, liburan adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu. Salah satunya, karena hanya saat liburanlah kita bisa main HP. Ini khusus bagi pondok-pondok salaf, ya.
Nah, di waktu liburan yang sesingkat itu, kadang-kadang saya bikin story di Facebook—dulu, saat FB masih nge-trend. Dan, pasti ada satu akun yang menanggapi dengan hati berwarna merah, bukan sekedar tanda jempol. Anehnya lagi, tidak cukup satu, melainkan kadang tiga, empat, atau lima sekaligus. Otomatis saya bertanya-tanya, ini siapa?
Setelah saya stalking, ternyata dia salah seorang murid ayah saya dulu. Sialnya, pertanyaan yang muncul malah semakin banyak. Kenapa dia mencet ikon hati sebanyak itu? Kenapa gak jempol aja, atau emoticon lainnya? Padahal kita gak saling kenal, cuma sebatas tahu. Apa maksudnya, coba? Dan yang membuat saya bingung adalah, kejadian seperti itu selalu terulang. Setiap tahun, setiap saya libur pondok, dan setiap saya bikin story.
Barulah saat liburan kemarin, semuanya terang benderang. Dia mengirim pesan; bertanya, untuk pertama kalinya. Katanya,”Ini Lilis putrinya Pak Anu, ya?” Tentu saja saya mengiyakan. Lalu, dengan polosnya dia bilang, ”Oh, maaf ya, sudah lancang. Kirain ini Lilis sepupu saya.”
Masih merasa janggal, saya buru dia dengan pertanyaan,”Kok bisa salah orang?” Tahu, dia menjawab apa?
”Ya soalnya, gak tahu nama panjangnya, sih. Jadi kukira ini akun sepupuku.”
OMG! Saya menepuk jidat sambil geleng-geleng kepala. Ada, ya, orang kayak gini? Masa sih, setelah bertahun-tahun, baru sekarang dia nyadar bahwa akun itu bukan punya sepupunya? Tak habis fikir. Padahal, saya sudah ge-er dia nge-fans. Eh, ternyata salah alamat. Lagi-lagi, gara-gara si hati berwarna merah itu.
Satu lagi. Cerita ini lebih menyenangkan. Bukan berakhir kecewa atau patah hati. Tokoh utamanya adalah teman seangkatan saya di perkuliahan.
Ceritanya, ada seorang kakak tingkat yang menjadi tutor kelas menulis bagi kami. Karena rata-rata dari kami adalah pemula, wajar kalau banyak yang mengidolakannya. Untuk seru-seruan, kami berlomba-lomba untuk bisa berkomunikasi dengan si Kating. Harap maklum, cerita ini berlatar pondok pesantren yang–seperti saya bilang tadi–hanya bisa mengoperasikan HP ketika liburan.
Singkat cerita, liburan tiba. Langkah pertama yang dilakukan adalah mem-follow IG. Kalau yang lain hanya mengikuti sewajarnya, teman saya yang satu ini dengan berani nge-like semua postingan dan cerita yang dibuat Si Kating. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Akhirnya, dia di-follback! Saya ngakak bayangin Si Kating ge-er gara-gara digituin. Paling-paling, dia bilang begini, “Ini siapa sih, nge-like IG-ku terus? Gak di postingan, gak di story. Jangan-jangan dia …”
Pada akhirnya, dengan terus-menerus nge-like dan pantang menyerah, teman saya berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan; di-follback sama Kating yang diincar. Selamat, Kawan! Fitur like IG telah memberimu jalan untuk selangkah lebih dekat dengannya. Eakksss…
Saya jadi berfikir, ternyata ikon sekecil itu cukup berpengaruh pada alur kehidupan banyak orang. Ada yang diuntungkan, namun banyak juga yang dirugikan. Saya tidak akan berkomentar soal para selebgram yang panen like setiap membuat postingan. Saya lebih kasihan pada nasib orang-orang yang tanpa sengaja mendapat teror perasaan dari fitur tersebut. Bukankan mereka juga berhak bahagia?
Maka saya sarankan pada siapa pun–terutama kaum laki-laki–agar jangan sembarangan nge-like. Khawatir pihak seberang bapernya gak ketulungan. Para cewek juga harus selalu waspada; jangan bawa-bawa perasaan!
Ah, satu lagi. Bagi pihak Instagram, mungkin bisa mempertimbangkan untuk menyediakan fitur lain selain ikon hati berwarna merah yang bikin resah itu. Boleh pakai jempol seperti di Facebook, atau tetap berbentuk hati tapi dengan warna yang bervariasi. Oranye untuk simbol kepedulian yang universal atau persahabatan; hijau sebagai bentuk ungkapan bangga dan haru; atau biru untuk mewakili ketenangan, kepercayaan, dan kesetiaan. Dengan begitu, pemirsa tidak akan salah paham lagi atas maksud si pemberi like.
Tapi, kalau memang sengaja ingin menciptakan kesalahpahaman, saya angkat tangan. Wassalam!