Wazanmedia.com–Pada tulisan sebelumnya, saya menyampaikan konten yang berisi bantahan-bantahan terhadap kitab Fathul Izar. Saya ingin menekankan di sini bahwa bantahan itu bukan berasal dari saya pribadi, melainkan berdasarkan qaul ulama. Setelah beberapa waktu tulisan itu tayang di Wazanmedia, ada seorang teman, yang sudah membaca tulisan itu, bertanya kepada saya: “jenengan ndak pernah dengar berita tah, kalau ustad-ustad salafi di Youtube sering menyampaikan kepada jamaahnya bahwa, ada waktu-waktu terlarang berhubungan intim selain malam sabtu, minggu, senin, dan malam hari raya?”
Jujur saja, saya memang belum pernah menemukan pantangan berhubungan intim selain malam-malam tersebut. “ada lagi, kawan. Waktu selain itu terletak pada malam awal bulan (tanggal 1), malam pertengahan bulan (tanggal 15), dan malam akhir bulan”. Jawab teman saya.
Karena penasaran, saya mencoba menelusuri kembali kitab Fathul Izar, dan memang tidak ada lagi pantangan berhubungan intim selain malam sabtu, minggu, senin, dan malam hari raya, terlepas apakah awal bulan, akhir bulan, dan akhir bulan. Setelah saya cari lagi di beberapa kutub at-turats, ternyata pantangan berhubungan intim di awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan, saya temukan di dalam kitab Ihya Ulum ad-Din, karya Imam al-Ghazali. Kira-kira, siapa yang berani membantah Hujjah al-Islam ini?
Al-Ghazali Dan Ihya
Bernama lengkap Hujjah al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Lahir di Thus, Khurasan, Iran pada tahun 450 H, dan wafat di Tabristan pada tahun 505 H saat berusia 55 tahun. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama pemikir sekaligus mujaddid islam. Ini terbukti bahwa al-Ghazali seringkali menonjol dalam berbagai disiplin keilmuan, dari keilmuan agama hingga filsafat. Bahkan al-Ghazali juga dijadikan sebagai kiblat tasawuf oleh kalangan Ahlussuunah Waljamaah selain Imam Junaid al-Baghdadi.
Salah satu karya monumental al-Ghazali di bidang tasawuf adalah Ihya Ulum ad-Din, sebuah kitab yang kata kelompok sebelah, wahabi, penuh dengan hadis dhaif, entah apakah mereka memang sudah mentakhrij hadisnya atau belum, sehingga berani mengklaim banyak hadis dhaif di dalam Ihya, saya juga kurang tahu.
Al-Hafidz Abdurrahim bin Husain bin Abdurrahman bin Abi Bakar bin Ibrahim al-Iraqi (w 806 h) menulis sebuah kitab berjudul: al-Mughani’an Haml al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya min al-Akhbar. Kitab ini berfokus menerangkan tentang takhrij, status hadis, dan atsar yang terdapat dalam Ihya. Sebagaimana metode takhrij, al-Hafidz al-Iraqi menyebutkan sanad hadis satu-persatu yang ada dalam Ihya, namun jika memang tidak ditemukan sanad atau siapa yang meriwayatkan, beliau mengatakan “Lam Ajid”, yang berarti “saya belum menemukan”. Kata-kata “belum menemukan” bukan berarti hadis itu tidak ada secara mutlak, barangkali ada cuma pengetahuan kita yang sangat terbatas dibandingkan al-Ghazali.
Kritik
Meskipun sekelas ulama yang bergelar “al-Hafidz” (hafal ratusan ribu hadis) tidak pernah mengklaim adanya hadis dhaif dalam Ihya, serangan dari kalangan wahabi tetap terus berlangsung. Mereka sering memvonis bahwa hadis-hadis dalam Ihya tidak memiliki sanad yang sah, alias dhaif. Bahkan kritikan terhadap Ihya tidak hanya datang dari kalangan wahabi, tetapi juga dilakukan oleh Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami dan Muhammad bin Ahmad ar-Ramli.
Lebih jelasnya, Imam al-Ghazali dalam Ihya berpendapat bahwa ada waktu-waktu terlarang berhubungan intim bagi pasutri. Beliau mengatakan begini:
ويكره له الجماع في ثلاث ليال من الشهر الأول والآخر والنصف يقال إن الشيطان يحضر الجماع في هذه الليالي ويقال إن الشياطين يجامعون فيها. وروي كراهة ذلك عن علي ومعاوية وأبي هريرة رضي الله عنهم
“Makruh berhubungan badan bagi seseorang di tiga malam pada setiap bulannya, yaitu: awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan. Dikatakan bahwa setan hadir ikut serta jimak pada malam-malam ini, dan dikatakan juga bahwa setan-setan berjimak di malam-malam tersebut. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Mu’awiyah, dan Abu Hurairah ra.” (Ihya Ulum ad-Din, juz 2 hlm 50)
Dari redaksi ini, al-Ghazali hanya memakruhkan berhubungan badan dalam waktu-waktu tertentu, yakni awal, pertengahan, dan akhir bulan. Itu berdasarkan riwayat dari Sayyidina Ali, dan Abu Hurairah. Artinya Imam al-Ghazali tidak serta-merta melarang berhubungan badan, yang sebenarnya merupakan sunnah Rasul, tanpa adanya dalil. Hal ini berbeda dengan pandangan Fathul Izar yang melarang berhubungan badan tanpa menyebutkan dalil sama sekali, bahkan memberikan dampak negatif terhadap kelahiran sang buah hati.
Namun, dalil yang disebutkan oleh al-Ghazali dalam hal ini tidak cukup kuat atau dhaif. Argumen ini dikritik oleh dua ulama yang berkedudukan sebagai “mujtahid fatwa” dalam fikih as-Syafi’i: Pertama, Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami:
قيل يحسن تركه ليلة أول الشهر ووسطه وآخره لما قيل إن الشيطان يحضره فيهن ويرد بأن ذالك لم يثبت فيه شيء وبفرضه الذكر الوارد يمنعه
“Dikatakan bahwa, seharusnya meninggalkan berhubungan badan pada awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan, karena setan itu datang pada malam-malam tersebut. Pendapat ini ditolak, sebab tidak ada dalil yang valid mengenai hal tersebut. Dan dengan asumsi bahwa hal itu mungkin terjadi, bisa ditolak dengan zikir atau doa sebelum berhubungan badan.” (Tuhfah al-Muhtaj, juz 7 hlm 217)
Kedua, Muhammad bin Ahmad ar-Ramli:
وما قيل من أنه يحسن ترك الوطء ليلة أول الشهر ووسطه وآخره لما قيل إن الشيطان يحضره فيهن رد بعدم ثبوت شيء من ذالك وبفرضه الذكر الوارد يمنعه
“Pendapat yang mengatakan bahwa sebaiknya meninggalkan berhubungan badan pada awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan, karena setan akan datang di malam-malam tersebut, adalah tidak memiliki dasar/dalil. Dan dengan asumsi bahwa hal itu mungkin terjadi, bisa ditolak dengan zikir atau doa sebelum berhubungan badan.” (Nihayah al-Muhtaj, juz 6 hlm 209)
Wallahu A’lam