Wazanmedia.com–Warga Nahdliyin di Indonesia memiliki tradisi khas dalam menghormati orang yang dianggap berilmu atau kiai, yaitu tradisi sowan. Dalam kebiasaan ini, mereka berkunjung menemui tokoh tersebut. Pasti, saat bertemu mereka mencium tangannya sembari menyelipkan ‘amplop’, entah itu di genggaman atau saku sang tokoh. Mereka melakukan ini demi ngalap berkah.
Begitu juga, kalau ada kiai datang dalam acara-acara tertentu, mereka berebut cium tangan sembari memberikan ‘salam tempel’. Tentu isi amplopnya beragam. Ada yang puluhan, ratusan ribu, hingga jutaan. Tidak jarang pula amplopnya kosong karena lupa diisi oleh empunya atau tertukar dengan amplop yang lain. Saking banyaknya yang ‘salam tempel’, saku kiai sampai penuh hingga menggelembung.
Suatu ketika, KH. Abdurrahman Wahid—yang akrab disapa Gus Dur—berkunjung ke Madura. Tentu, tidak ada satupun warga Nahdliyin yang tak mengenal ketokohan presiden Republik Indonesia ke-4 ini. Kunjungannya ke mana pun pasti menjadi pusat perhatian dan antusiasme masyarakat.
Warga Nahdliyin Madura memang tersohor antusias bahkan fanatik kepada tokoh agama (Kiai). Kontan saja, ketika mereka tahu Gus Dur datang, mereka berbondong-bondong mengerubuti dan mengerumuninya. Situasi ini membuat Banser—organisasi paramiliter NU yang salah satu tugasnya menjaga Kiai—segera bertindak. Mereka dengan sigap bereaksi mengawalnya secara ketat dan rapat sehingga tidak ada warga yang leluasa menghampiri Gus Dur.
Gus Dur justru menggerutu melihat ketatnya kawalan itu. “Waduh,” celetuknya. “hampir saja saya kaya mendadak, tapi malah nggak jadi.”
Di lain waktu, Gus Dur berkunjung ke Singapura. Ia disambut gegap gempita. Berates-ratus pengusaha berebut ingin hadir di tempat pertemuan yang memposisikan Gus Dur sebagai pembicara. Mereka rela membayar tiket seharga duaratus dolar per kepala untuk bisa hadir di acara itu.
Orang bertanya kepadanya, mengapa pengusaha Singapura itu begitu berhasrat menghadiri acaranya.
“Saya juga nggak tahu,” jawab Gus Dur. “Heran, wong mau nonton saya aja kok pakai bayar segala…”