Kitab Fathul Izar
Fathul al-Izar fi Kasyfi al-Asrar li Awqat al-Harats wa Khilqah al-Abkar, (Membuka Sarung dalam Menyingkap Rahasia-Rahasia Waktu Hubungan Seksual dan Penciptaan Keperawanan) atau yang lebih familiar disebut dengan “Fathul Izar”, adalah sebuah kitab yang selesai ditulis pada tanggal 25 September 2007 dan edisi revisi yang tercetak pada tahun 2008. (Abdullah Fauzi, 2008, p.23) Pengarangnya adalah KH. Abdullah Fauzi, biasa disapa “Gus Fauzi”. Beliau lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1973.
Menurut informasi yang beredar di berbagai media sosial, jurnal, skripsi, dan artikel-artikel lainnya, Fathul Izar adalah karya yang dihasilkan selama KH. Abdullah Fauzi melakukan tirakat 3 tahun. Konon setelah melahirkan karya perdana ini, beliau dipanggil oleh KH. Abdul Hannan Ma’sum, salah satu pendiri Pondok Pesantren Fathul Ulum, guna menikahi putri keempatnya, yaitu Ning Rif’atul Hasanah Ulya, saat itu Gus Fauzi berusia 35 tahun.
Fathul Izar itu sendiri terdiri dari 16 halaman dan 4 pembahasan pokok, yakni: Pertama, pembahasan tentang hubungan seksual dan rahasia-rahasia waktu pelaksanaanya (Bayan al-Hartsi wa Asrar Awqatihi). Kedua, tentang aturan tata cara hubungan seksual (Bayan Tadbir al-Hartsi). Ketiga, tentang doa-doa yang dilafadzkan sebelum dan ketika berhubungan seksual (Bayan Ad’iyah al-Hartsi). Terakhir, tentang rahasia penciptaan keperawanan (Bayan Asrar Khilqah al-Abkar).
Kritik Terhadap Fathul Izar
Pada penjelasan mengenai 4 pembahasan pokok ini, kebanyakan argumen-argumen yang dilontarkan oleh muallif cenderung menggunakan istilah qila wa qola (“katanya”). Selain itu, sumber argumen juga tidak disebutkan secara gamblang dan hanya berpatokan pada anonimitas, seperti “ahli ilmu”, “ahli firasat”, ahli hikmah”, tanpa menyebutkan identitas sosok yang dimaksud. Argumen semacam ini tidak memiliki landasan dalil yang valid, baik dari hadis Rasulullah Saw maupun dari atsar sahabat dan tabi’in.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya terhadap argumen muallif yang menukil perkataan “ahli ilmu”, mengenai waktu-waktu tertentu dalam hubungan seksual yang akan mempengaruhi keadaan anak setelah lahir. Dalam kitab tersebut dikatakan:
“Para ahli ilmu berpendapat bahwa:
Malam Jumat-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam jumat niscaya anak yang terlahir akan hafal al-Qur,an.
Malam sabtu-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam sabtu niscaya anak yang terlahir akan gila.
Malam minggu-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam minggu niscaya anak yang terlahir akan menjadi seorang pencuri atau suka berbuat zalim.
Malam senin-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam senin niscaya anak yang terlahir akan memiliki masa depan fakir dan miskin, atau ridha terhadap takdir.
Malam selasa-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam selasa niscaya anak yang terlahir akan berbakti kepada orang tua.
Malam rabu-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam rabu niscaya anak yang terlahir akan cerdas, memiliki pengetahuan yang luas, serta banyak bersyukur.
Malam kamis-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam kamis niscaya anak yang terlahir akan berhati ikhlas.
Malam hari raya-Barangsiapa menyetubuhi istrinya di malam hari raya niscaya anak yang terlahir akan memiliki enam jari di setiap tangan dan kakinya.”
Dari redaksi ini, mengindikasikan bahwa ada waktu-waktu terlarang dan juga pantangan-pantangan berhubungan intim sehingga harus dihindari, yaitu: malam sabtu, minggu, senin, dan malam Hari Raya.
Dalam Islam, baik al-Qur’an maupun hadis ditegaskan bahwa, istri hanya dilarang didatangi dalam 6 kondisi: saat haid, nifas, istri yang dizihar, sedang i’tikaf, dalam keadaan ihram, dan siang hari di bulan ramadhan. Larangan menggauli istri di hari-hari tertentu, sebagaimana disebutkan diatas, adalah tidak memiliki landasan yang kuat, bahkan berseberangan dengan pendapat mayoritas ulama.
Syekh Muhammad bin Abdillah ad-Dusuri dalam tafsirnya, Aqwal at-Tahawi fi at-Tafsir …, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah: 223 berpendapat bahwa:
أن المراد بقوله تعالى: (فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) أي: إذا شئتم ومتى شئتم في أي وقت من أوقات الحل, يعني إذا لم تكن في زمان إحرام أو صوم أو نفاس أو حيض أو نحو ذالك
“Maksud dari firman Allah Swt “Datangilah ladangmu bagaimana saja kamu kehendaki” adalah: jika kalian menginginkannya dan kapan saja kalian menginginkan dari waktu-waktu yang diperbolehkan, yakni bukan pada saat ihram, puasa, nifas, haid, atau waktu-waktu terlarang lainnya.”
Imam al-Ghazali dalam Ihya dan Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, syarah Ihya, tentang ayat di atas berpendapat juga: “Firman Allah Swt pada lafadz “أنى شئتم” berkemungkinan tiga makna. Pertama, bermakna bagaimanapun, baik dari belakang, depan, atau samping, selama pada satu lubang, yaitu vagina. Kedua, bermakna kapanpun, baik pagi, siang, sore, atau malam (termasuk baik malam sabtu, minggu, dst). Dua pendapat inilah shahih. Ketiga, bermakna dimanapun, baik dubur atau qubul. Pendapat ini ditolak, karena ada riwayat yang melarang mendatangi istri dari dubur.” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, juz 6 hlm 178)
Syekh Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Jashash dalam tafsirnya, Ahkam al-Qur’an, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah: 187, berpendapat bahwa:
(أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نسائكم) عام في سائر الليالي التي يريد الناس الصوم في صبيحتها وغير جائز الاقتصار على ليالى صيام رمضان دون غيره لما فيه من تخصيص العموم بلا دلالة
“Lafadz: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur (berjima) dengan istrimu” adalah berlaku umum untuk semua malam yang orang-orang hendak puasa keesokan harinya, dan tidak boleh membatasi pada malam-malam puasa ramadhan saja, karena hal demikian termasuk mengkhususkan (takhsis) sesuatu yang umum tanpa adanya dalil.”
Dari redaksi ini jelas bahwa, di setiap malam pada saat bulan ramadhan dihalalkan bagi para suami untuk mendatangi istrinya (berjimak), termasuk malam sabtu, minggu, senin, dst. Hal ini tidak hanya pada malam bulan ramadhan saja, melainkan juga pada setiap malam bagi orang-orang yang hendak puasa keesokan harinya. Sebagai contoh, jika seseorang ingin berpuasa sunnah pada hari sabtu, maka malam sabtu halal baginya berhubungan intim. Demikian pula jika ingin berpuasa sunnah pada hari minggu atau senin, maka malam sebelumnya, yaitu malam minggu dan senin, juga halal mendatangi istrinya, dimana pada malam-malam tersebut, (malam sabtu, minggu, senin) dalam Fathul Izar adalah pantangan-pantangan berhubungan intim bagi pasutri, karena akan menyebabkan anak begitu dan begini.
Saya pribadi, dan mungkin juga sebagian besar netizen, belum tahu persis landasan teori-teori yang ada di kitab Fathul Izar, apakah berdasarkan pengalaman pribadi atau teori asal jadi. Atau muallif memang sudah meneliti, melihat dan mengamati fakta ini. Tetapi yang jelas, sedikit pengetahuan saya, belum menemukan teori-teori pantangan mendatangi istri pada malam-malam tertentu selain dalam Fathul Izar. Insya Allah saya akan melakukan penelitian lebih mendalam mengenai hal ini, bahkan boleh jadi pembahasan ini saya ajukan sebagai judul skripsi. Wallahu A’lam
Sumber rujukan:
Abdullah Fauzi, Fathul Izar.
Muhammad bin Abdillah ad-Dusuri, Aqwal at-Tahawi fi at-Tafsir min Awwal al-Quran…
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din
Muhammad bin Muhammad al-zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin
Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Jashash, Ahkam al-Qur’an
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (Ibnu Rusyd), al-Bayan wa at-Tahshil…
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam…
Bannan Naelin Najihah, Jurnal Al-Ibanah, Vol. 06 No. 01 (Januari-juni 2021)
Qorina Khoirul Afifah, Persepsi Santriwati Tentang Pendidikan Seks Dalam Kitab Fathul Izar
Moh. Iwan Ihyak Ulumuddin, Konsep Pendidikan Pranikah Dalam Islam…
Alwi Yahya, Pendidikan Seks Pra Nikah Dalam Islam Perspektif KH. Abdullah Fauzi
Irna Maifatur Rohmah, Fathul Izar, Kitab Panduan Pranikah Ala Pesantren, artikel Dunia Santri. id