Wazanmedia.com–Ada anggapan bahwa seluruh persoalan yang dijabarkan dalam ilmu akidah adalah pokok-pokok agama (ushuluddin). Karena menyangkut prinsip, maka tidak boleh terjadi perbedaan pendapat.
Ini berbeda dengan ilmu fiqh, yang mengkaji perkara cabangan dalam agama (furu’uddin). Sehingga, wajar bila di dalamnya kerap terjadi perselisihan ulama.
Benarkah demikian? Apakah perbedaan pendapat hanya boleh terjadi dalam masalah-masalah fiqh dan tidak boleh dalam masalah-masalah akidah?
Berikut ikhtisar jawaban Syaikh Ali Jum’ah untuk pertanyaan tersebut:
Islam dan Persatuan Umat
Islam menghendaki umatnya bersatu padu dan tidak terpecah belah. Hal ini sebagaimana dijabarkan oleh QS. al-Anbiya ayat 92, QS. al-Mu’minun ayat 52, QS. as-Syura ayat 13, QS. Ali Imran ayat 103, dan lainnya.
Persatuan bisa terwujud bila umat Islam memiliki prinsip yang merepresentasikan identitas/kepribadiannya (huwiyyah). Prinsip tersebut bisa berupa keyakinan (akidah), amaliah (syariah/fiqh), dan budi perangai (khuluqiyyah/akhlaq).
Prinsip menyangkut keyakinan seperti iman kepada Allah dan Rasulnya. Prinsip menyangkut amaliah seperti kewajiban melaksanakan salat, puasa, zakat, dan haji. Prinsip menyangkut budi perangai seperti terlarangnya kebohongan dan terpujinya kejujuran. Dalam persoalan-persoalan semacam ini, umat Islam harus bersatu padu dan tak boleh berselisih.
Rahmat Perbedaan Pendapat
Sementara itu, untuk persoalan-persoalan yang tidak menyangkut prinsip, perselisihan yang terdapat di dalamnya tidak tergolong sebagai perpecahan yang tercela. Perbedaan dalam hal ini justru direstui agama dan menjadi kebaikan bagi kaum muslimin.
Nabi bersabda, “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi umatku.” Al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, “Allah memberi manfaat (bagi kaum muslimin) dengan perbedaan amaliah para sahabat Nabinya. Orang yang mengamalkan amaliah seseorang di antara mereka pasti merasa berada dalam kemudahan.”
Tidak Semua Pembahasan Ilmu Akidah Adalah Ushuluddin
Ada sementara orang yang keliru paham menganggap bahwa tidak boleh ada perselisihan pendapat dalam persoalan akidah. Ini akibat dari kerancuan antara pernyataan ‘tak boleh ada beda dalam persoalan pokok agama (ushuluddin)’ dan penamaan ilmu akidah atau ilmu tauhid sebagai ‘ilmu ushuluddin’. Memang, selama ini ilmu akidah sering disebut sebagai ilmu ushuluddin. Namun demikian, penamaan tersebut tidak berarti bahwa ilmu akidah hanya berisi persoalan-persoalan prinsip keyakinan yang tak boleh ada perbedaan.
Penamaan ilmu akidah dengan ilmu ushuluddin sesungguhnya untuk mengesankan bahwa yang dibahas dalam ilmu ini adalah masalah-masalah keyakinan atau keimanan. Iman memang pondasi agama, tetapi ia juga memiliki cabang yang berbeda-beda.
Jadi, tidak seluruh bahasan ilmu akidah merupakan pokok-pokok agama yang tak boleh diperselisihkan. Sebagaimana ilmu fiqh, di dalamnya juga terdapat persoalan cabangan yang memungkinkan perbedaan pendapat.
Standar Kebolehan Beda Pendapat
Standar boleh tidaknya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentu bukan nama dari suatu ilmu, melainkan berdasar keberadaan dan kualitas dalil dalam suatu masalah: apakah dalilnya ada atau tidak, dan apakah dalilnya pasti (qath’iyy) atau tidak, baik dari segi transmisi maupun signifikasinya. Dengan demikian, tak ada beda antara ilmu akidah dan yang lainnya. kalau suatu masalah dalam ilmu tersebut dalilnya tidak qath’iyy, maka bolehlah perbedaan pendapat di sana.
Sejak era salaf (mulai sahabat Nabi), mudah dijumpai perbedaan pendapat dalam persoalan akidah. Di antaranya, apakah Nabi bisa melihat Allah? apakah Nabi Isra’ Mi’raj dengan jasad, ruh, atau dua-duanya? siapa Nabi yang hendak disembelih nabi ibrahim? apakah jenazah disiksa sebab tangisan keluarganya? Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa ilmu akidah tak ubahnya ilmu fiqh. Di dalamnya ada persoalan-persoalan yang disepakati dan juga diperselisihkan.