Wazanmedia.com–Sewindu yang lalu aku menjadi warga kota Bondowoso setelah kupinang salah satu gadis di kota tapai ini. Dan, aku harus berurusan dengan bus Tayo Indah, ujian hidup sesungguhnya. Tadinya sudah kupikirkan, seharusnya aku tidak berani menjatuhkan pilihan jodoh kepada daerah-daerah dengan transportasi yang parah. Tapi waktu itu, saya menepis, “Cinta tak lain dari keberanian menghadapi siksaan.”
Dan siksaan perdana menimpaku di masa bulan madu. Aku dan istri mudik dari Sumenep ke Bondowo dan saya putuskan pilih jalur Sumenep-Jember dengan perkiraan akan lebih mudah. Betul, tidak ada aral melintang dalam perjalanan ke Jember ini. Tantangan sesungguhnya baru dimulai: perjalanan Jember-Bondowoso.
Alam tidak memberi kami pilihan kecuali angkot Mitsubishi tua. Tidak masalah, batin kami, karena bagi pasangan yang berbulan madu, yang ada hanyalah bunga-bunga sakura berbaris sepanjang jalan. Saya tahu ngetem angkot tua selalu level neraka. Sudah lupa berapa lama kami diperam di mobil korengan itu. Yang aku ingat aku hanya berbincang dengan istri begitu lama, dengan urutan peristiwa berikut: jaket kubuka, lalu baju, dan hanya tersisa kaos oblong. Bukan, bukan kehangatan cinta, pemirsa. Matahari mulai memanggang makhluk hidup di bumi.
Kisaran pukul sebelas angkot kami mulai berjalan dengan hati-hati, tepatnya, tertatih-tatih. Setiap ada manusia di pinggir jalan, pak Sopir pasti menawarinya, “Bondowoso?” Obrolan kami sudah menjadi sampingan, dan aku bisa mengalihkan fokus kepada perilaku angkot dan supirnya. Semua manusia ia tawari, bahkan seseorang tua dengan arit di tangannya, juga tidak luput.
Aku mulai jengkel. Istri sibuk menelpon dua kakak ipar untuk memastikan kami dijemput tepat waktu di terminal Bondowoso. Berikutnya, giliran istri menampakkan wajah resah setelah dua kali ditelpon kakak ipar sudah sampai mana, tanyanya. Ia bertanya, Kak, ini sudah lebih dari separuh perjalanan. Lebih baik kita tidak tahu, jawabku.
Tak ada angin tak ada hujan, angkot tetiba minggir tepat sebelum jembatan. Sejurus kemudian, “Nak, turun sini ya, saya tidak bisa masuk kota. Ndak punya SIM.” Alam tidak memberikan kami pilihan, pak Supir pun melakukan hal sama.
Butuh empat jam lebih untuk menempuh perjalanan dari Terminal Arjasa Jember ke jembatan itu. Tahukah kalian reaksi kimia dalam 4 jam pertama fermentasi singkong menjadi tapai? Ialah hidrolisis pati menjadi glukosa dan fermentasi glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida yang membuat singkong berasa manis dan sedikit asam. Karena kami bukan singkong dan tanpa ragi, maka rasa manisnya tidak ada dan hanya tersisa 𝑐𝑒́𝑙𝑜𝑘.
Tidak ada bunga sakura di pinggir jalan. Yang ada hanya pohon-pohon asam suram yang kami pandangi dengan muka masam. Pelajarannya: jangan percaya 𝑞𝑜𝑢𝑡𝑒𝑠 orang yang jatuh cinta!