Wazanmedia.com – HAMBA, tentu menghendaki kebaikan. Dan ada 3 tanda Tuhan yang menghendaki hambanya kebaikan. Sebagaimana Imam Jamaluddin Abi al-Faraj Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Sifat Shafwah (hal: 378) mengutip pernyataan Muhammad Ka’ab al-Kurdi yang mengatakan.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا، جَعَلَ فِيهِ ثَلاثَ خِصَالٍ: «فِقْهًا فِي الدِّينِ، وَزَهَادَةً فِي الدُّنْيَا، وَبَصِيرَةً بِعُيُوبِهِ».
“Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap hambanya maka Allah akan jadikan di dalam dirinya tiga hal: pertama: paham di dalam permasalahan agama. kedua: zuhud terhadap dunia. ketiga: mengetahui aib dirinya sendiri.”
Dari pernyataan itu maka ada 3 tanda yang Allah berikan kepada seorang hamba sebagai tanda bahwa Tuhan menghendaki kemapanan dan kebaikan.
Paham Persoalan Agama
Pertama, Allah akan memberikan pemahaman kepada hamba itu dalam persoalan agama. Hal ini senada dengan sabda Nabi Muhammad yang sangat familiar.
من يرد الله خيرا يفقه في الدين
“Siapapun yang Allah kehendaki ia baik maka Allah akan memberi pemahaman padanya di dalam masalah agama.”
Lalu pertanyaannya ilmu agama apakah yang perlu untuk dipelajari terlebih dahulu? Menurut pengarang kitab Hidayatul At-Qiya ada 3 macam Ilmu yang harus dipelajari terlebih dulu sebagaimana syair beliau:
وتعلمن علما يصح طاعة وعقيدة ومزكي القلب اصقل
“Pelajarilah ilmu yang membuat sah taat engkau (Fikih) dan ilmu yang membuat sah aqidahmu (Tauhid) dan ilmu yang membersihkan hati (Tasawuf)”.
Tiga ajaran itu sesungguhnya berlaku hierarkis. Artinya, mempelajari ilmu tauhid kemudian dilanjutkan dengan fikih, setelah itu mendalami tasawuf. Sebab, bagaimana mungkin seorang hamba bisa sholat sesuai rukun dan syarat, bila ia belum bertauhid kepada Tuhan?
Zuhud: Tak Terikat Dunia Fana
Kedua, orang yang zuhud terhadap dunia. Zuhud terhadap dunia itu bukan orang yang miskin atau fakir tidak memiliki harta, tetapi zuhud adalah orang yang harta atau dunia sama sekali tidak terkait dengan hatinya. Artinya, ia tak terikat dengan dunia fana. Baginya, ada atau tidak ada harta, banyak atau sedikit harta, hilang atau bertambah harta itu bukan hal yang merisaukan hatinya.
Hal ini sebagaimana beberapa perkataan tokoh-tokoh sufi semisal Syekh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan.
فقال: استصغار الدنيا، ومحو آثارها من القلب.
“Syekh Junaid berkata: Meremehkan dunia dan menghapus pengaruh-pengaruhnya dari hati.”
Ibrahim bin Adham mengatakan hal yang serupa tentang zuhud.
الزهد فراغ القلب من الدنيا لا فراغ اليد
“Zuhud adalah kosongnya hati dari dunia, bukan kosongnya tangan.”
Dalam Syarah Sunnah (vol. 14, hal. 286) karya Imam al-Baghawi menukil keterangan Sufyan al-Tsauri.
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِلُبْسِ الْغَلِيظِ وَالْخَشِنِ، وَأَكْلِ الْجَشِبَ، إِنَّمَا الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا قَصْرُ الأَمَلِ
“Sufyan ats-Tsauri berkata: “Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan memakai pakaian kasar dan makan makanan yang tidak enak. Zuhud terhadap dunia adalah memendekkan angan-angan.”
Imam Ibnu Abbas memberikan penjelasan mengenai zuhud ini. kata زهد, menurut Ibnu Abbas, berasal dari tiga huruf. Huruf pertama berupa Zai yang berarti zadun Lil ma’adi mempersiapkan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian. Huruf kedua, Ha’ yang berarti Hadyun liddin artinya menempuh jalan yang bisa membuatnya sampai kepada jalannya Nabi Muhammad SAW. Sementara huruf ketiga berupa Dal yang merujuk kepada Dawamun Littha’ati selalu continue dalam menjalankan ketaatan baik melaksakan perintah maupun menjauhi larangan-Nya. (Muhammad Nashruddin, Fasl al-Khitab Fi al-Zuhdi, vol. 5, hal. 848).
Mengenal Aib Diri Sendiri
Ketiga, adalah mengetahui aib dirinya sendiri. Dari sini seorang hamba tidak sibuk untuk mencari aib orang lain, tidak sibuk untuk membongkar aib orang lain, tidak sibuk membicarakan aib orang. Dan lagi, dengan mengetahui aib diri sendiri maka semakin mengenal dirinya. Tentu, mengenal diri sendiri sangat penting karena bisa menjadi jembatan mengenal Tuhan.
«مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ»
“Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya”.
Berkenaan dengan hadis ini, Syekh Jalaluddin al-Suyuthi mengutip Syekh Tajuddin Ibnu ‘Atha’illah dalam Latha’if al-Minan, menuturkan bahwa ia mendengar gurunya, Abu al-‘Abbas al-Mursi, mengatakan bahwa hadits ini memiliki dua penafsiran. (Al-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, vol. 2, hal. 288).
Penafsiran pertama yaitu, siapa yang mengenal dirinya dengan kehinaannya, kelemahannya, dan kefakirannya. Maka ia akan mengenal Allah dengan kemuliaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kekayaan-Nya. Jadi, pengenalan terhadap diri datang lebih dulu, kemudian pengenalan terhadap Allah menyusul setelahnya.
Penafsiran kedua, bahwa siapa yang mengenal dirinya, hal itu menunjukkan bahwa ia telah mengenal Allah sebelumnya. Maka, yang pertama adalah keadaan para salik (orang yang menempuh jalan menuju Allah), dan yang kedua adalah keadaan para jadzab (orang yang ditarik langsung oleh Allah). Demikianlah 3 tanda bahwa Tuhan menghendaki kebaikan pada hamba.