Wazanmedia.com – AL-GHAZALI, dalam karya monumentalnya Tahafut al-Falasifah (تَهافُتُ الفَلاسِفَة), mengkritik filsafat peripatetik yang diwakili oleh para filsuf seperti Ibn Rushd (Averroes) dan Ibn Sina (Avicenna). Kritik yang diberikan oleh Al-Ghazali berfokus pada pandangan-pandangan para filsuf yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam, khususnya dalam hal akidah dan pandangan tentang Tuhan, penciptaan, dan kehidupan setelah mati.
Salah satu kutipan penting dari Tahafut al-Falasifah yang menggambarkan kritik Al-Ghazali terhadap para filsuf adalah:
وَأَمَّا الفَلاسِفَةُ فَقَدْ تَفَرَّقُوا فِي أَمرٍ غَلَطُوا فِيهِ، وَهُوَ أَمْرُ رَبِّنَا وَمَعَادِنَا، وَهِيَ الأُمُورُ الَّتِي لاَ تَصِحُّ إِلَّا بِالرَّسَائِلِ النَّبَوِيَّةِ، وَإِذَا تَعَارَضَتْ فَلاَ فَائِدَةَ فِي تَفَسِيرِهِ
“Adapun para filsuf, mereka terpecah dalam satu masalah yang mereka salah paham, yaitu masalah Tuhan kita dan kehidupan setelah mati, dan hal-hal tersebut hanya dapat dipahami dengan wahyu kenabian. Jika terjadi pertentangan, maka tidak ada manfaatnya dalam penafsirannya.”
Antara Akal dan Wahyu
Di sini, Al-Ghazali mengkritik filsuf-filsuf yang terlalu mengandalkan akal dan logika dalam memahami hal-hal yang hanya dapat dijelaskan melalui wahyu. Menurut Al-Ghazali sendiri, akal manusia terbatas dalam memahami realitas ketuhanan dan kehidupan akhirat.
Di kesempatan lain Al-Ghazali juga mengkritik filsafat dari filsuf yang menganggap dunia ini kekal atau tidak memiliki awal. Dalam hal ini adalah merupakan pandangan yang lebih dekat dengan teori ajaran Aristotelian, termasuk yang diajarkan oleh Ibn Rushd. Dalam filsafat peripatetik, ada sebuah keyakinan bahwa dunia selalu ada dan tidak pernah diciptakan oleh Tuhan, atau bahwa penciptaan dunia adalah suatu proses yang abadi dan terus-menerus.
Sehingga Al-Ghazali menegaskan dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan. Dan penciptaan itu adalah tindakan ilahi yang mutlak. Beliau menulis:
إِنَّ رَبَّنَا خَالِقٌ لِكُلِّ مَا سِوَىٰهُ وَمُحْدِثٌ لِكُلِّ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَإِنَّ فِي تَفَكُّرِهِ فِي هَذَا قِيَامٌ عَلَىٰ حَقِّهِ
“Sesungguhnya Tuhan kita adalah Pencipta segala sesuatu selain-Nya, dan Dia adalah yang mengadakan segala sesuatu di langit dan bumi. Dan dalam merenungkan hal ini terdapat bukti atas kebenaran-Nya.”
Jelas di sini Al-Ghazali meng counter filsafat yang menyatakan bahwa dunia ini kekal dan tidak diciptakan oleh Tuhan. Sehingga Al-Ghazali mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang memiliki kekuasaan absolut untuk menciptakan dunia pada suatu titik waktu tertentu.
Hubungan Akal dan Wahyu
Kritik lanjutan dari Al-Ghazali terhadap filsafatnya para filsuf seperti Ibn Rushd adalah pandangannya mengenai hubungan antara akal dan wahyu. Al-Ghazali menekankan bahwa akal memiliki keterbatasan dan tidak dapat sepenuhnya memahami kebenaran yang lebih tinggi yang hanya dapat diketahui melalui wahyu. Dalam kitab yang sama yakni Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali menjelaskan pentingnya wahyu sebagai sumber kebenaran utama dan bahwa akal harus tunduk pada wahyu.
الْعَقْلُ لَا يَصِلُ إِلَىٰ قَبْلَ الْوَحْيِ وَبَعْدَهُ فِي قَوْلِهِ وَعَمَلِهِ، وَإِنَّ مَنَا فِي عَمَلِهِ يَفْرَغُ مِنْهُ بِحَقِّ الوَحْيِ
“Akal tidak akan mampu mencapai kebenaran yang lebih tinggi selain dari wahyu dalam perkataan dan perbuatannya. Dan sesungguhnya, apa yang benar dalam amalnya hanyalah yang berasal dari wahyu.” Maksudnya bahwa wahyu adalah sumber utama pengetahuan yang benar, dan bahwa akal harus terbatas pada apa yang dapat dipahami olehnya. Dalam hal-hal yang lebih tinggi, seperti masalah ketuhanan dan eskatologi, wahyu-lah yang menjadi panduan yang benar.
Kehidupan Setelah Mati
Al-Ghazali juga mengkritik pandangan filsuf, termasuk Ibn Rushd, mengenai kehidupan setelah mati dan jiwa. Ibn Rushd, dalam pandangannya yang lebih rasional, menganggap bahwa jiwa adalah substansi yang tidak bisa binasa dan bahwa kehidupan setelah mati tidak perlu dipahami secara harfiah. Ia menganggap bahwa kehidupan setelah mati lebih bersifat simbolis dan rasional.
Namun, Al-Ghazali berpendapat bahwa ajaran Islam jelas mengenai kebangkitan jasmani setelah mati dan kehidupan yang nyata setelah kematian. Dalam Tahafut al-Falasifah, menjelaskan:
وَفِي ذَاتِ الجَسَدِ تَكْمُلُ الْمَعَادُ وَيَكُونُ فِي ذَٰلِكَ تَحَقُّقُ حَقِيقَتِهِ بِالْجَسَدِ وَالنَّفْسِ فِي دُورَتِه
“Dan dalam tubuh itu sendiri terwujud kehidupan setelah mati, dan di dalamnya terdapat pengaktualisasian hakikatnya dengan tubuh dan jiwa dalam perputarannya.” Titik tekannya bahwa kehidupan setelah mati melibatkan kebangkitan jasmani dan bahwa kehidupan akhirat adalah kenyataan yang harus dipahami sesuai dengan apa yang diajarkan oleh wahyu, bukan hanya sebagai gagasan rasional atau simbolis.
Kritik Metode Filsafat Peripatetik
Tidak berhenti di situ Al-Ghazali juga mengkritik metode filsafat peripatetik yang terlalu bergantung pada logika dan rasionalitas. Sebagai penyeimbang, beliau menekankan pentingnya pengalaman spiritual dan tasawuf sebagai jalan untuk mengetahui Tuhan. Ia berpendapat bahwa akal tidak dapat sepenuhnya menggantikan pengalaman mistik yang membawa seseorang untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Dalam karyanya Ihya’ Ulum al-Din Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa pengetahuan sejati datang melalui penyucian jiwa dan penghayatan spiritual, yang hanya dapat dicapai melalui ibadah dan tasawuf. Beliau berkata:
إِنَّ فِي تَصَوُّفِهِ رُوحَ الحَقِّ وَفِي جُودِهِ قَلْبُ الإيمَانِ، وَالذِي لَا يَفْهَمُهُ إِلَّا مِنْ ذَوِي التَّقْوَىٰ وَالْإِيمَانِ
“Sesungguhnya dalam tasawuf terkandung jiwa dari kebenaran, dan dalam kebajikan terkandung hati dari iman, yang tidak dipahami kecuali oleh orang-orang yang memiliki ketakwaan dan keimanan.”
Dengan demikian, perbedaan pandangan antara Al-Ghazali dan Ibn Rushd mengenai filsafat dan agama mencerminkan dua pendekatan besar dalam pemikiran Islam: pendekatan teologis (Al-Ghazali) yang menekankan wahyu sebagai sumber kebenaran utama, dan pendekatan rasional (Ibn Rushd) yang berusaha untuk menyelaraskan akal dengan wahyu. Meskipun mengkritik keras filsafat Ibn Rushd, ia tetap mengakui pentingnya akal dalam kerangka keilmuan, namun ia menegaskan bahwa wahyu adalah sumber utama pengetahuan yang benar, terutama dalam hal-hal yang melibatkan ketuhanan, penciptaan, dan kehidupan setelah mati.
Bahan Bacaan:
- Al-Ghazali, Abu Hamid. Kekeliruan Para Filsuf (Tahafut al-Falasifah). Terjemahan oleh Mohammad Shalahuddin. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
- Al-Ghazali, Abu Hamid. Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama (Ihya’ Ulum al-Din). Terjemahan oleh M. Quraish Shihab. Jakarta: Lentera Hati, 2008.
- Ibn Rushd, Abu al-Walid Muhammad. Pembelaan terhadap Filsafat (Tahafut al-Tahafut). Terjemahan oleh Abu Bakar Ali. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
- Fakhry, Majid. Sejarah Pemikiran Filsafat Islam. Terjemahan oleh A. Mustofa. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.