Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, melalui bukunya, Nalar Perempuan Muslimah, mendefinisikan kesetaraan gender sebagai hal yang membedakan laki-laki dan perempuan secara sosial. Menurutnya, isu gender sudah ada sejak dulu, tepatnya di abad 20, sekitar tahun 1900-an. Pada masa itu, elemen manusia didorong untuk membedakan mana yang laki-laki dan perempuan secara biologis.
Dengan adanya perbedaan tersebut muncullah istilah ‘gender’. Perempuan yang aktif di forum lingkar ngaji KGI ini, juga menjelaskan pengertian keadilan gender. Menurutnya, kendatipun hubungan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun keduanya harus sama-sama berlaku adil, saling memahami dan menghargai. Mengingat keduanya sama-sama hamba Allah SWT. Jadi ketakwaan adalah titik temu paling pokok yang memanifestasikan kesetaran gender.
Perbincangan isu gender semakin memanas seiring terjadinya kasus terhadap kaum hawa molanjak. Subordinasi, misioginis, budaya patriarki masih melekat dalam sistem sosial. Ingar-bingar problematis tersebut melibatkan keterlibatan ulama dan tokoh pesantren. Hal ini dikarenakan dua alasan.
Pertama, adanya isu gender tidak terlepas dari doktrin keagamaan. Kedua, keterlibatan para tokoh pesantren mampu memberikan warna yang signifikan karena mereka paham terhadap konsep kegamaan.
Kontribusi pesantren perempuan terhadap isu gender melalui pergerakannya mampu menunjukkan keeksisan mereka di kanca global. Munculnya sejumlah pergerakan swadaya masyarakat (LSM) yang mensosialisasikan gagasan kesetaraan gender berbasis pesantren pada akhirnya menuai hasil yang sempurna.
KH Husein Muhammad memberikan pernyataan, keberhasilan tersebut setidaknya didasarkan pada tiga alasan. Pertama , mengkomunikasikan para aktivis pesantren perempuan tentang gender diawali dengan pengemukakan fakta empiris dengan realitas sosial. Dengan demikian, argumentasi mereka tidak mungkin dibantah, khususnya dari komuditas muslim mereka.
Kedua , pesantren perempuan mengkritisi melalu media analisis wacana keagamaan perempuan yang dimuat di dalam kitab kuning yang dibandingkan dengan keterangan dalam kitab kuning lainnya. Ketiga , adanya kesadaran gender dari masyarakat muslim terkait kewajiban HAM dan demokrasi.
Kontribusi Pesantren terhadap Kajian Gender
Tidak sampai di situ, pesantren perempuan melalui perseoranganpun mengawali sebagai pegiat gender. Sebut saja seperti Dr. Nur Rofi’ah melalui bukunya Nalar Kritis Muslimah, Dr. Siti Ruhaini melalu karya ilmiahnya yang pada waktu itu meramaikan jagat publik dengan judul Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi.
Juga ada Maria Ulfa yang dikenal melalui karya lepasnya dengan judul Fikih Aborsi, Nyai Khoiriyah Hasyim dan Nyai Hj. Durrotun Nafisah yang memiliki mendirikan pesantren perempuan di kediamannya masing-masing.
Hadirnya berbagai komunitas sadar gender pada masa sekarang juga turut memberikan kontribusi besar dalam sistem kacamata terkait perempuan. Apalagi komunitas tersebut dominan terdiri dari alumni pesantren perempuan. Pada masa itu, banyak bermunculan komunitas sadar gender yang dikenal masyarakat luas sebagai penggaung isu gender, seperti PP Fatayat NU, Fahima, Yayasan Puan Amal Hayati, Puspita, dan Fahmina Institute.
Tampak menarik jika Dr. Nur Rofi’ah, Bil, Uzm. membuat kesimpulan terkait gender, hubungan laki-laki dan perempuan terangkum empat hal; Pertama, penegasan kedudukan perempuan sebagai subjek penuh dalam kehidupan. Kedua, keduanya sama-sama hamba Allah, serta sama-sama mengemban kekhalifaan di bumi ini. Ketiga, keduanya sama-sama menjadi subjek kehidupan yang harus bekerja sama dalam mewujudkan kemaslahatan. Keempat, laki-laki bukan standar kemaslahatan perempuan.
Pendapat tersebut kiranya merupakan hasil kesimpulan yang sangat panjang melalui berbagai perenungan terkait isu perempuan. Meskipun tampaknya, pendapat tersebut mengesampingkan norma yang telah tercantum dalam literatur klasik.
Dalam artian, kemungkinan besar terjadi kontektualisasi materi dengan kebutuhan tempat dan kondisi saat ini. Sebabnya, hal tersebut dapat mengubah sebuah sistem sosial secara seimbang. Bagaimanapun, keadilan dan peniadaan stigmanisasi negatif pada perempuan merupakan sikap yang harus ada.
Upaya Mengkontekstualisasikan Sistem pada Kitab Klasik
Kamus Ilmiah Populer mendefinisikan sistem sebagai suatu aturan yang dibuat, atau sebuah motode: cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu). Sistem adalah suatu kumpulan objek atau unsur-unsur atau bagian-bagian yang memiliki arti berbeda-beda yang saling memiliki hubungan, saling bekerja sama, dan saling mempengaruhi satu sama lain, serta memiliki kelangsungan pada rencana atau bidang yang sama dalam mencapai suatu tujuan tertentu pada lingkungan yang kompleks (Ridho, 2018).
Dalam menjalankan aktivitas, sistem berperan terutama dalam mengonsep suatu tindakan. Sistem tersebut dapat mempengaruhi strata sosial masyarakat. Tumbuhnya hubungan ketimpangan perempuan perspektif publik disebabkan oleh sistem yang dianut. Sistem yang dipijaki tersebut menjadi samakin timpang tatkala tambah diyakini sebagai ketetapan hukum yang pasti oleh masyarakat.
Dalam tradisi pesantren, adanya norma yang ditetapkan kitab klasik memunculkan sistem yang seolah memarginalkan sosok perempuan. Sampai saat ini pun arah pergerakan perempuan di sebagian pesantren masih terkukung oleh suatu sistem. Oleh karena itu, sampai detik ini mereka semakin marak mengupayakan sistem rekontruksi. Bahkan kritikan humanis mereka mendominasi pada aspek publik.
Upaya mengarahkan sistem ke arah kontekstualiasasi sebaiknya disemarakkan, terutama terhadap kondisi perempuan pesantren. Akan tetapi, bukan berarti sistem yang sudah berjalan ditiadakan seluruhnya. Namun, sikap yang pas terkait sistem tersebut adalah bentuk pengkolaborasian kontektualisasi yang sesuai dengan kehidupan kaum perempuan pesantren. Pada masa ini, sudah sepatutnya pesantren membuka ruang tanpa membungkam suara perempuan dengan tetap berpedoman pada norma pesantren sendiri. Oleh karena itu, adanya upaya kontekstualisasi sistem sesuai realita adalah satu tindakan untuk menumpas stigma menomerduakan pesantren perempuan.
Refleksi dari Benang Merah
Dalam mengawali isu gender, pesantren perempuan memiliki kontribusi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kontribusi mereka dalam upaya menuntut keadilan patut diapresiasi dan patut dikenang. Kehadiran mereka melalui berbagai pergerakan juga mampu menyemarakkan seluruh elemen manusia untuk senantiasa memiliki aksi sadar gender secara global.
Sementara itu, kehidupan perempuan pesantren juga seharusnya mendapat perhatian lebih dari segala pihak yang harus dipahami. Stigmanisasi, pemarginalan dan bias gender di sebagian pembahasan kitab klasik diupayakan adanya sistem yang menuntut kesetaraaan dan berkeadilan. Karena hal tersebut namun merupakan upaya menciptakan kemaslahatan kehidupan perempuan pesantren dalam tuntutan ilmu keislaman.