Wazanmedia.com – “TIKUS jatuh ke lumbung padi, malah kucing yang makan”, ibarat yang pas untuk fenomena pembuangan susu oleh peternak lokal di Boyolali dan Pasuruan. Kenapa? Soalnya, di satu sisi, peternak kecil yang katanya sejahtera, ternyata justru menderita. Di sisi lain, para elite-oligarki menikmati dan pemerintah seolah santai saja dengan terus mengimpor susu dari luar.
Yang lebih ironis, peternak yang sudah jatuh itu masih tertimpa tangga. Pasalnya, meski sebagian menyesalkan pemerintah, tak sedikit Netizen Yang Maha Bijaksana menuding peternak serampangan, bahkan melanggar seruan agama. Mereka bertanya: kenapa susu yang berlimpah itu tidak dibagikan ke sanak saudara, atau disedekahkan saja untuk mencari berkah Tuhan? Bukankah itu lebih baik daripada membuang susu yang berharga dan berdosa karena menyia-nyiakan harta?

Lah, lah, sial benar nasib para peternak dan pengepul susu lokal. Susu terbuang sia-sia dengan taksiran kerugian besar, masih dapat vonis keharaman dan dosa dari Netizen Maha Benar.
Emang sih, membuang susu cuma-cuma dalam ajaran agama bisa dianggap sebagai menyia-nyiakan harta, yang jelas-jelas haram. Keharamannya sudah menjadi konsensus ulama (ijmak). Beberapa ayat Al-Qur’an seperti QS. Al-Isra: 27, yang mengecam tindakan mubazir dan QS. Al-A’raf: 31, yang melarang berlebih-lebihan, serta hadis Nabi tentang larangan menyia-nyiakan harta, cukup untuk memvonis siapa saja yang membuang harta.
Dalam hadis Bukhari disebutkan: “Sesungguhnya Allah membenci tiga hal untuk kalian: banyak omong yang tidak perlu, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya/meminta yang tidak bermanfaat.” (HR. Bukhari).
Tahqiq al-Manath: Membumikan Hukum Langit tentang Menyia-nyiakan Harta
Namun, itu semua baru sebatas tataran teks. Dalam istilah Ushul Fiqh, ini baru sampai di ranah Tanqih al-Manath, yakni hasil analisis hukum dari teks yang “langit”. Sementara dalam tahqiq al-Manath, yaitu penerapan hukum di “dunia bumi” yang bersinggungan dengan subjek-objek hukum, kita perlu melibatkan banyak pendekatan – misal, sosio-ekonomi dan sosio-politik – guna membaca apakah fenomena pembuangan susu ini benar-benar bisa dikategorikan sebagai tindakan yang menyia-nyiakan harta atau tidak.
Jangan asal menghakimi, belum tentu tindakan peternak Boyolali dan Pasuruan yang membuang susu itu haram dan dosa. Karena tidak semua membuang harta itu haram. Misalnya, Imam Taqyuddin al-Subki (1284-1355) menyebutkan, standarnya menyia-nyiakan harta itu adalah jika dibuang tanpa ada tujuan yang jelas, baik itu untuk kepentingan agama atau duniawi. Tapi, kalau ada tujuan yang jelas, maka membuangnya bisa dibenarkan. (Taqyuddin al-Subki, Qadha’ Al-Arab fi As’ilah Halab, hal: 441).
Faktanya, peternak dan pengepul yang membuang susu bukan tanpa alasan. Mereka terpaksa melakukannya karena susu yang dihasilkan bisa mencapai ton-tonan per hari di tolak pabrik-pabrik meski sudah ada tanda tangan kerja sama, padahal susu murni itu cepat basi tanpa pengelolaan yang memadai. Mau disedekahkan ke masyarakat? Bisa jadi sudah ada yang mendapatkannya. Namun, jumlahnya yang sangat banyak dan tidak punya tempat penyimpanan yang layak – ditambah membutuhkan biaya untuk mendistribusikan ke masyarakat luas – membuat mereka tidak punya pilihan selain membuangnya.
Jadi, kalau melihat dari sisi tahqiq al-Mantah, pembuangan susu oleh peternak itu bukanlah tindakan yang menyia-nyiakan harta dalam konteks agama. Bahkan, jika dibiarkan, susu yang tidak terkelola dengan baik akan berdampak lebih buruk, seperti basi yang potensi membahayakan lingkungan ternak, termasuk kesehatan sapinya.
Pada tataran ini, membuangnya bukan saja tidak haram tapi bergeser pada hukum wajib. Dalam fikih, kita bisa melacak dan meng-ilhaq-kan dengan diktum yang Syekh Al-Qalyubi (1580-1659) ambil; bahwa harta yang tidak bernyawa, seperti susu, wajib dibuang jika untuk menyelamatkan harta yang lebih penting (sapi).
Dalam Hasyiah al-Qalyubi, (V. 4, hal. 53) beliau menandaskan.
يَجِبُ إلْقَاءُ غَيْرِ الْحَيَوَانِ لِسَلَامَتِهِ، وَإِلْقَاءُ غَيْرِ الْمَعْصُومِ مِنْهُ لِسَلَامَةِ الْمَعْصُومِ مِنْهُمَا، وَإِلْقَاءُ بَعْضِ كُلٍّ لِسَلَامَةِ بَعْضِهِ وَلَا يَجُوزُ إلْقَاءُ الْحَيَوَانِ الْمَعْصُومِ لِسَلَامَةِ غَيْرِهِ، وَيَجُوزُ إلْقَاءُ بَعْضِ الْمَتَاعِ الْمَعْصُومِ لِسَلَامَةِ بَعْضِهِ كَمَا فِي إلْقَائِهِ لِسَلَامَةِ السَّفِينَةِ كَمَا تَقَدَّمَ فَافْهَمْ
“Wajib untuk melempar sesuatu yang bukan makhluk hidup demi keselamatannya, dan melempar sesuatu yang bukan orang terjaga kehormatannya dari makhluk hidup demi keselamatan yang terjaga kehormatannya dari keduanya, serta melempar sebagian dari keseluruhan demi keselamatan sebagian lainnya. Tidak diperbolehkan melempar makhluk hidup yang terjaga kehormatannya demi keselamatan lainnya. Diperbolehkan melempar sebagian harta yang terjaga kehormatannya demi keselamatan sebagian lainnya, seperti dalam kasus melempar sebagian barang demi keselamatan kapal, sebagaimana telah dijelaskan. Maka pahamilah hal ini.”
Pemerintah yang Pantas “Dosa” Karena Menyia-nyiakan Harta
Nah, kalau sudah begitu, yang salah bukan (semata-mata) peternak atau pengepul susu, tapi pemerintah – kita bisa berdebat soal pelaku langsung, mubsyair, dan tidak. Pemerintah yang seharusnya mampu mencegah fenomena pembuangan susu, bukannya membiarkan impor susu terus berlangsung, sementara produk dalam negeri terbuang begitu saja. Itulah yang sebenarnya menyia-nyiakan harta dan pantas “dosa” (tindakan tak memihak rakyat sendiri).
Kenapa? Karena pemerintah yang punya policy untuk mengambil langkah preventif. Mereka bisa saja menghentikan impor susu, atau setidaknya mengurangi dan memberdayakan susu lokal untuk digunakan dalam negeri. Jika tidak, mereka justru ikut berperan dalam menyia-nyiakan harta yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam Islam, tugas pemerintah jelas: menjaga kesejahteraan rakyat dan mengatur perekonomian agar berjalan dengan baik. Imam al-Mawardi (w. 1058) dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyatakan, salah satu tugas asasi pemimpin itu harus melindungi kesejahteraan rakyatnya, menjaga teritorial wilayahnya, dan memastikan rakyat aman serta sejahtera mengarungi kehidupannya baik dari aspek nyawa dan ekonomi. (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 40). Di sisi lain, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan memperoleh pelayanan kesehatan.
Kelambanan Pemerintah
Lalu, bagaimana bisa pemerintah dikatakan melindungi kesejahteraan rakyat jika mereka membiarkan produk dalam negeri terbuang begitu saja, sementara susu impor terus masuk? Karena itu, lebih tepatnya, para Netizen Yang Maha Benar itu harusnya bersama-sama “mengeruduk” pemerintah yang layak dikatakan menyia-nyiakan harta, bukan peternak.
Alhamdulillah, telinga dan mata pemerintah masih ada walau tidak jernih mendengar dan melihat, tidak tuli dan buta-buta amat. Sehingga ada respons dan tanggapan dari pihak pemerintah walaupun amat lamban laksana cacing yang malas-malasan mengesot, bahkan menunggu viral yang mengukuhkan stigma, “No Viral, No Justice”. Ya tapi gak papa sih, lebih baik lambat, dari pada tidak sama sekali. “Malayudraku Kulluh Layutraku Kulluh” ungakapan yang sepadan dalam Kaidah Fiqh.
ETapi, jika pemerintah ingin melaksanakan tugas dengan berintergritas, mereka harus mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, bukan koar-koar namun terus membuka pintu impor. “Mouth wide open, feet stuck in mud.” Sebab, kebijakan impor susu yang mengabaikan kepentingan rakyat ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam dan keadilan sosial sebagaimana amanat sila ke-5 dalam PANCASILA.