Apakah norma-norma Islam tentang aurat dan privasi masih relevan di era media sosial? Tren yang berkembang di kalangan generasi muda Muslim menunjukkan ketidaksesuaian antara ajaran agama dan gaya hidup digital yang cenderung terbuka. Bagaimana Islam memandang fenomena ini, dan apakah ada pandangan fiqh kontemporer yang mampu menjembatani dua dunia ini? Artikel ini mencoba menggali batasan aurat dalam Islam, tantangan era digital, dan bagaimana pandangan ulama kontemporer termasuk dari Indonesia, menanggapi fenomena ini.
Dalam Islam, menjaga aurat adalah perintah agama yang melambangkan kemurnian hati, ketaatan, dan pengendalian diri seorang Muslim. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman agar mereka menjaga pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya…” (QS. An-Nur [24]: 31)
Ayat ini menjadi dasar bagi pemahaman tentang aurat dan keharusan bagi umat Islam untuk memelihara kehormatan diri di hadapan publik, termasuk di media sosial. Banyak ulama kontemporer, seperti Syekh Yusuf Al-Qaradawi, menekankan pentingnya menjaga aurat di ruang publik — termasuk di ranah digital — karena prinsip-prinsip syariah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Menurut Al-Qaradawi dalam Fiqh Al-Ibadat lil Muslimin, media sosial tidak membebaskan seorang Muslim dari kewajiban ini:
“حفظ العورة على مواقع التواصل الاجتماعي واجبٌ على كل مسلمٍ ومسلمةٍ، وهو تجسيدٌ لاحترام النفس وحماية الحياء الذي أمر الله به”
“Menjaga aurat di media sosial adalah kewajiban bagi setiap Muslim, yang mencerminkan penghormatan terhadap diri dan memelihara rasa malu yang diperintahkan oleh Allah.”
Kewajiban ini bukan semata aturan, tetapi adalah cerminan dari kehormatan dan rasa malu yang menjadi bagian integral dalam identitas Muslim. Di era digital, menjaga aurat berarti menyadari bahwa ruang virtual pun adalah publik, dan tetap tunduk pada hukum-hukum syariat.
Media Sosial dan Normalisasi Eksposur
Media sosial kerap kali mengaburkan batas antara ranah pribadi dan publik, sehingga membawa dampak yang tak terhindarkan pada cara individu mempersepsikan aurat. Eksposur diri yang berlebihan di media sosial telah mengarahkan generasi muda Muslim pada gaya hidup yang mengutamakan popularitas dibandingkan kepatuhan terhadap syariat. Banyak orang, termasuk figur publik Muslim, merasa nyaman berbagi foto dan video tanpa memikirkan bahwa perilaku tersebut mungkin melampaui batas-batas aurat yang ditetapkan dalam Islam.
Dalam perspektif agama, tindakan ini adalah bentuk hilangnya rasa malu. Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika kamu tidak merasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa rasa malu adalah perisai yang membentengi manusia dari perilaku tidak bermoral. Kehadiran media sosial sebagai budaya “tanpa batas” menciptakan tantangan bagi umat Muslim, khususnya generasi muda yang mudah terpengaruh. Prof. Dr. Quraish Shihab, dalam tafsirnya Tafsir Al-Misbah, memandang bahwa aurat tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik tetapi juga menyinggung kepribadian yang terjaga dan penuh rasa malu.
“Menjaga aurat adalah bagian dari menjaga jati diri seorang Muslim. Pada dasarnya, aurat bukan sekadar persoalan fisik, tetapi bentuk kehormatan diri yang Allah perintahkan untuk dijaga sebagai wujud ketundukan.”
Pandangan ini menekankan pentingnya aurat sebagai cerminan kepribadian Muslim yang terhormat. Dalam tafsir tersebut, Prof. Quraish Shihab menekankan bahwa budaya saling pamer di media sosial bukan hanya berdampak negatif pada identitas religius, tetapi juga merusak kesehatan mental dengan mendorong individu untuk mencari validasi dari penampilan luar semata.
Lebih lanjut Prof. Dr. Quraish Shihab, sering kali dalam wawancaranya di acara Kajian Tafsir di salah satu stasiun TV nasional, mengingatkan bahwa menjaga aurat adalah bentuk penghormatan kepada diri dan kewajiban dalam Islam yang tak boleh diabaikan meskipun berada di ranah virtual.
“Di era digital, umat Islam harus bijak dalam memanfaatkan teknologi. Menjaga aurat dan batas-batas kehormatan diri adalah salah satu bentuk ibadah yang harus diperhatikan, meskipun dalam bentuk yang lebih kontekstual.”
Dalam hal ini, beliau mengusulkan metode pendekatan berbasis edukasi yang lebih adaptif, dengan memanfaatkan tokoh-tokoh Muslim yang populer di media sosial untuk memberikan teladan tentang perilaku digital yang sesuai dengan ajaran Islam. Menurutnya, menjaga aurat di dunia maya bisa diwujudkan dengan tidak memamerkan aspek pribadi yang melampaui batas kepatutan yang sudah ditetapkan oleh syariat Islam.
Candu Like dan Popularitas Generasi Gen Z
Menghadapi arus candu like dan popularitas dari influenser dan warganet seharusnya generasi muslim milenial Gen Z harus menciptakan campaign digital yang melibatkan tokoh-tokoh Muslim dengan pesan kuat tentang pentingnya aurat dan batas-batas etika di media sosial. Pendekatan ini relevan untuk generasi muda yang sering terpengaruh tren, karena mereka lebih mudah meniru teladan dari tokoh-tokoh panutan yang mampu menjembatani syariat dengan gaya hidup digital.
Dalam kerangka yang lebih luas, pendekatan ini juga bisa diperkuat dengan pendidikan agama yang lebih dalam di lingkungan keluarga dan sekolah. Hal ini untuk memastikan generasi muda memahami bahwa menjaga aurat bukanlah semata aturan tanpa makna, melainkan bagian dari upaya menjaga kesucian diri dalam beragama.
Fiqh kontemporer tidak hanya sekadar membatasi perilaku, tetapi berupaya memberi solusi yang relevan sesuai konteks zaman. Pendekatan maqasid syariah atau tujuan syariat menjadi salah satu solusi dari para ulama kontemporer untuk menyesuaikan aturan-aturan agama di era globalisasi dan digital. Ulama kontemporer, seperti Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, berpendapat:
مقاصد الشريعة تحتم علينا أن نراعي الزمان والمكان في الدعوة إلى الالتزام بالعفة والستر في العالم الرقمي، ونبتكر وسائل جديدة للتوعية بين الشباب.”
“Tujuan syariat mengharuskan kita memperhatikan perubahan zaman dan tempat dalam menjaga kesucian dan batas aurat di era digital, serta menciptakan metode baru untuk memberikan kesadaran di kalangan pemuda.”
Az-Zuhaili menekankan pentingnya memahami tujuan-tujuan syariat dalam konteks perubahan sosial yang dinamis. Ini berarti umat Islam tidak hanya harus menaati aturan, tetapi juga memahami hikmah di balik perintah menjaga aurat, yang bertujuan untuk melindungi kehormatan diri dan identitas agama.
Pendekatan berbasis edukasi juga didorong dalam berbagai kajian kontemporer untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam tentang aurat tetap dapat diterapkan secara bijaksana di dunia digital. Pendidikan agama yang adaptif dan kampanye kesadaran aurat di media sosial menjadi salah satu metode efektif untuk menyikapi fenomena ini.
Alhasil, menjaga aurat di media sosial bukan sekadar persoalan peraturan dan norma formalitas yang lepas dari pantaun malaikat dan masyarakat dunia nyata, tetapi cerminan dari identitas religius dan integritas pribadi setiap Muslim dalam menjaga kualitas agamanya. Generasi Muslim menghadapi tantangan besar di era digital, di mana nilai-nilai agama kerap kali tergeser oleh norma-norma sosial yang bebas. Kembali pada ajaran Islam, menjaga aurat adalah bagian dari upaya menjaga kehormatan diri di hadapan Allah dan sesama manusia.
Dengan bimbingan dari para ulama dan edukasi yang tepat, generasi muda Muslim dapat memahami bahwa aurat bukan hanya sekadar persoalan fisik dan beban taklif agama tetapi lebih kepada kebutuhan pribadi dalam menjaga privasi dan kualitas diri dihadapan manusia lebih lebih dihapan Allah. Wallahu a’lam