Wazanmedia.com – Pesantren sejak dahulu dikenal sebagai tempat yang aman, ramah, dan penuh kasih sayang bagi anak-anak dan remaja. Di dalam lingkungannya, santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga menjalani proses pembinaan karakter, akhlak, dan kedisiplinan. Tidak hanya itu, pondok islami ini juga menanamkan nilai-nilai sosial, seperti penghijauan, gotong royong, toleransi, dan rasa empati terhadap sesama.
Selain menjadi lembaga pendidikan Islam, ia juga merupakan lembaga sosial yang memainkan peran utama dalam masyarakat selama berabad-abad lamanya. Nilai-nilai kearifan budaya, kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, kemandirian, solidaritas, dan budi pekerti yang luhur diajarkan didalamnya. Pembentukan karakter yang baik di pesantren ini berpengaruh besar pada terbentuknya masyarakat beradab dan madani.
Prestasi yang diraih oleh pesantren dalam hal kesuksesan mencetak insan mulia menjadikan lembaga ini sebagai rumah impian para orang tua untuk menitipkan putra-putrinya. Ibarat oase di bentangan padang pasir yang luas, pondok Islam ini menjadi tempat terbaik dan teraman untuk generasi bangsa di era digital yang dipenuhi huru-hara dunia. Di tengah derasnya arus zaman yang mengikis moral dan etika, pesantren mampu menumbuhkan santri-santri yang berilmu, beretika, dan berakhlak mulia. Dengan berbagai peran yang dijalankannya, pesantren tak hanya berfungsi sebagai institusi pendidikan keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga pendukung kesejahteraan dan pengembagan sosial masyarakat di sekitarnya. Hal demikian menjadikan pesantren sebagai satu diantara pilar penting dalam kehidupan sosial di banyak wilayah di Indonesia.
Problem Pesantren
Hanya saja, akhir-akhir ini pesantren mengalami stigma miring di mata publik lantaran banyak insiden yang seharusnya tidak terjadi dalam tubuh pesantren. Tindakan asusila dan hukuman yang berlebihan menjadi potret buruk pesantren saat ini. Terlebih pelakunya adalah tokoh atau pengajar yang seharusnya menjadi teladan bagi para santrinya. Kejadian ini menyebabkan trauma yang mendalam bagi korban dan tentu saja merusak citra pesantren sebagai lembaga pendidikan moral.
Pesantren yang terkenal sebagai tempat yang ramah anak mulai kehilangan jubah kehormatannya. Para orang tua mulai skeptis untuk menitipkan anak cucunya di lembaga yang berbasis agama tersebut. Oleh karena itu, menjadi keharusan untuk kita yang mengecap pendidikan pesantren mengembalikan jubah itu dan meyakinkan kembali masyarakat bahwa pesantren bukanlah tempat yang salah untuk menitipkan keturunan.
5 Hal Ajaran Pesantren yang Wajib Dilestarikan
Salah satu ikhtiar yang dapat diupayakan untuk mewujudkan pesantren ramah anak adalah dengan mengingatkan kembali kepada para tokoh dan muallim dalam pesantren bahwa mereka juga memiliki kewajiban berakhlak kepada para muridnya. Dalam amanah yang mereka emban, terdapat etika dan moral yang perlu diperhatikan. Sebab dinilai ramah atau tidaknya pesantren bergantung pada mereka dalam mengayomi para santrinya.
Adalah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang juga menulis beberapa kitab, salah satunya adalah Adabul Alim Wal Muta’allim. Kitab ini membahas tentang etika guru (alim) dan murid (muta’allim) dalam proses pembelajaran. Meski kitab ini tidak secara eksplisit menggunakan istilah “pesantren ramah anak”, ajaran yang terkandung di dalamnya mencakup prinsip-prinsip yang relevan untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang ramah dan kondusif bagi anak-anak.
Dalam kitabnya itu, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mewariskan ajaran kepada generasi setelahnya perihal adab berilmu. Beliau berpesan bahwa selain pada ketekunan belajar, kesuksesan rihlah ilmiah juga bergantung pada etika guru dan murid yang diajarinya. Hal ini beliau uraikan secara sistematis dalam kitab pendidikan karakter khas pesantren itu. Dalam usaha mewujudkannya, ajaran yang beliau sampaikan dapat menjadi pintu masuk yang efektif untuk diterapkan. Beberapa ajaran dalam kitab itu yang patut dirawat oleh setiap guru untuk mewujudkan llingkungan belajar dan hidup ramah anak adalah sebagai berikut;
Pertama
Pertama, humanisasi dalam lingkungan pondok. Humanisasi menjadi alternatif penting dalam mewujudkan pesantren ramah anak. Memperlakukan setiap individu dengan menghargai martabat dan hak-haknya sebagai manusia. Pendekatan ini menempatkan nilai-nilai akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW seperti kasih sayang, empati, dan perhatian terhadap kesejahteraan fisik maupun mental. Humanisasi dalam pesantren bertujuan untuk menjadikan pesantren sebagai tempat yang tidak hanya fokus pada pengajaran agama dan akademik, melainkan juga memberikan perhatian pada perkembangan psikologi, emosional, dan sosial bagi para santrinya.
Kedua
Kedua, pendidikan dengan keteladanan (uswah hasanah). Keteladanan dalam sistem pendidikan santri memiliki peran yang sangat signifikan dalam mewujudkan ruang pendidikan ramah anak. Keteladanan dalam konteks ini berarti bahwa para pendidik, terutama pengasuh, ustad, dan pengajar lainnya berperan sebagai contoh nyata bagi para santrinya dalam berbagai aspek kehidupan dalam pesantren, baik dalam hal akhlak, etika, maupun praktik keagamaan sehari-hari. Sebagaimana pendidikan Arab yang mengenal istilah lisanul hal afsohu min lisanil maqol, bahwa keteladanan dalam bentuk sikap lebih diterima dari pada sekedar memerintahkannya.
Ketiga
Ketiga, Egalitarianisme (prinsip kesetaraan dan keadilan). Dalam dunia pendidikan, prinsip ini berarti penerapan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam perlakuan guru terhadap semua santrinya, tanpa memandang latar belakang, status sosial, kemampuan akademik, atau karakteristik masing-masing individu. Semua santri mendapatkan perhatian yang setara dan sesuai di mata gurunya dalam bimbingan dan pengajaran. Dalam konteks pesantren, pendekatan ini penting untuk menciptakan lingkungan yang adil, harmonis, dan mendukung perkembangan semua santri secara optimal.
Egalitarianisme tidak berarti mengabaikan perbedaan karakter dan bakat santri. Melainkan menghargai setiap individu tanpa membandingan mereka satu sama lain. Guru dalam pesantren perlu memahami bahwa setiap santri memiliki keunikan dan cara belajar yang berbeda-beda. Dengan sikap egaliter, guru memberikan bimbingan yang sesuai dengan karakter dan potensi setiap santri. Tanpa memberikan perlakuan khusus yang tidak adil.
Egalitarianisme juga menciptakan suasana dimana santri tidak merasa dikucilkan atau didiskriminasi. Ini penting untuk membangun rasa percaya diri dan kenyamanan santri dalam belajar dan menjalankan kegiatan dalam pondok pesantren. Santri dari latar belakang yang berbeda-beda, baik dari aspek ekonomi, status sosial, atau kemampuan akademik akan merasa diterima dan dihargai secara setara dalam lingkungan pesantren.
Keempat
Keempat, kepedulian emosional yang dimiliki oleh setiap pengajar. Sebagaimana kasih orang tua pada anaknya, seorang guru seharusnya juga begitu kepada para santrinya. Seorang santri adalah diri bagi sang guru. Menjadi keharusan bagi setiap pengajar memperlakukan santrinya dengan baik. Sebagaimana ia senang ketika orang lain berlaku baik kepadanya. Begitu juga dengan hal buruk, jangan sampai itu menimpa santri-santrinya sebagaimana dirinya tak ingin keburukan menimpa dirinya.
Kelima
Kelima, keikhlasan dan kesabaran seorang guru. Dengan keikhlasan dan kesabaran, guru tak hanya berperan sebagai pengajar ilmu pengetahuan. Tetapi juga sebagai pendidik yang membentuk karakter dan akhlak yang baik untuk para santrinya. Ini sejalan dengan visi pesantren yang tak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama. Tetapi juga tempat untuk membangun kepribadian yang mulia serta menumbuhkan generasi yang lebih baik ke depannya.
Terakhir
Kombinasi antara keikhlasan dan kesabaran ini akan menciptakan lingkungan yang penuh kasih. Mengutamakan kesejahteraan santri, dan siap menghadapi tantangan dalam pendidikan dengan cara yang manusiawi. Pun berlandaskan nilai-nilai keislaman. Tak bisa dipungkiri bahwa kejadian buruk yang menghilangkan citra pesantren akhir-akhir ini disebabkan oleh pendidik yang kurang ikhlas dan sabar dalam membimbing para santrinya.
Itulah beberapa nilai taklim Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim Wal Muta’allim yang efektif untuk menghapus bias akhlak mazmumah dalam dunia pendidikan, dan mewujudkan lingkungan yang ramah anak. Mengembalikan citra pesantren sebagai tempat yang ramah anak membutuhkan usaha bersama dari pihak pesantren, pemerintah, dan masyarakat. Melalui komitmen untuk menerapkan prinsip pendidikan yang adil, penuh kasih sayang, dan melindungi hak para santri, pesantren dapat kembali menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi santri untuk belajar dan tumbuh. Sekian, Wallahu A’lam.