Wazanmedia.com – Apakah lingkungan pesantren yang seharusnya menjadi tempat pendidikan moral dan spiritual bisa terhindar dari perilaku negatif seperti bullying? Pertanyaan ini penting mengingat pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki peran vital dalam membentuk akhlak santri. Sayangnya, fenomena bullying tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah umum tetapi juga bisa terjadi di pesantren. Meski pesantren dikenal dengan sistem pendidikannya yang mengedepankan disiplin dan pembentukan karakter. Struktur sosial dan hierarki di dalamnya kerap menciptakan celah bagi terjadinya kekerasan antar santri. Baik secara fisik maupun mental.
Dalam Islam, perilaku bullying jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang mengajarkan untuk saling menghormati dan berbuat baik kepada sesama. Firman Allah dalam Al-Qur’an,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain. (Karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan)”. (QS. Al-Hujurat: 11).
Ayat ini menekankan pentingnya sikap saling menghormati dan tidak merendahkan orang lain. Nilai yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam interaksi sosial di pesantren. Di samping itu, dalam hadits Nabi Muhammad SAW disebutkan, “Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak menzhaliminya dan tidak menghinanya” (HR. Muslim).
Berdasarkan dalil ini, perilaku bullying jelas tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Dan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam harus memastikan bahwa santrinya jauh dari perilaku semacam itu.
Pentingnya Kelembutan dalam Mendidik
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din, mendidik dengan kasih sayang dan kelembutan jauh lebih efektif daripada dengan kekerasan. Al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang guru harus memperlakukan muridnya dengan penuh kelembutan. Supaya hati mereka menjadi lebih semangat dalam belajar. Beliau menulis.
_يَنْبَغِي لِلْمُعَلِّمِ أَنْ يَكُونَ لَيْنًا فِي التَّعْلِيمِ، رَفِيقًا فِي تَأْدِيبِ الصِّبْيَانِ، لِيَكُونَ أَنْفَسُهُمْ إِلَى الطَّلَبِ أَشْوَقَ، وَقُلُوبُهُمْ إِلَى التَّعَلُّمِ أَرْغَبَ، فَإِنَّ الْإِقْبَالَ بِالرِّفْقِ يُحْدِثُ مِنَ النَّشَاطِ مَا لَا يُحْدِثُهُ الإِقْبَالُ بِالْعُنْفِ وَالزَّجْرِ._
“Seorang guru hendaknya bersikap lembut dalam pengajaran, penuh kasih sayang dalam mendidik anak-anak, agar hati mereka menjadi lebih bersemangat dalam belajar dan lebih tertarik untuk menuntut ilmu. Karena pendekatan yang lembut akan melahirkan semangat yang tidak dapat diperoleh melalui kekerasan dan celaan.”
Pendapat ini relevan dengan kasus bullying di pesantren. Di mana tindakan kekerasan dari senior kepada junior sering dianggap sebagai bentuk disiplin. Padahal itu hanya menimbulkan kebencian. Pendidikan berbasis kelembutan dan cinta kasih jauh lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Salah satu faktor penyebab terjadinya bullying di pesantren adalah hierarki sosial yang cukup ketat. Biasanya, santri senior memiliki otoritas tertentu terhadap santri junior, dan dalam beberapa kasus, kekuasaan ini disalahgunakan untuk melakukan tindakan intimidasi. Budaya “nggembleng” atau melatih mental terkadang disalahartikan sebagai bentuk kedisiplinan yang keras, padahal yang terjadi adalah tindakan bullying terselubung. Selain itu, latar belakang santri yang berbeda-beda juga dapat memicu konflik sosial. Santri yang berasal dari lingkungan keluarga yang keras atau memiliki trauma masa lalu sering kali membawa kecenderungan untuk melakukan bullying sebagai bentuk pelampiasan atau mekanisme pertahanan diri.
Dampak Serius Bullying
Dampak dari bullying di pesantren sangat serius, baik bagi korban maupun pelaku. Korban bullying sering mengalami tekanan psikologis yang berat seperti stres, kecemasan, hingga depresi. Bahkan, ada kasus di mana santri yang menjadi korban bullying memutuskan untuk keluar dari pesantren karena tidak tahan dengan tekanan yang mereka alami. Sebaliknya, pelaku bullying juga akan mengalami dampak negatif jangka panjang, seperti tumbuh menjadi individu yang agresif dan memiliki kecenderungan anti-sosial. Lebih jauh lagi, bullying dapat merusak harmoni sosial di pesantren, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi proses pembelajaran dan perkembangan spiritual santri.
Larangan Kekerasan Berlebihan dalam Islam
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menyatakan bahwa sanksi fisik tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan harus bertujuan mendidik, bukan menyakiti.
_وَلَا يَحِلُّ ضَرْبُ الْمُتَعَلِّمِ إِلَّا لِتَأْدِيبٍ لَا إِيلَامٍ، وَلَا يَكُونُ الضَّرْبُ لِلنَّقْمَةِ، فَإِنَّمَا يَجِبُ التَّأْدِيبُ بِمَا يُحَسِّنُ أَخْلَاقَهُ وَيُعَلِّمُهُ الطَّاعَةَ، فَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ الضَّرْبِ إِصْلَاحٌ فِي جَوَانِبِهِ فَهُوَ أَوْلَى._
“Tidak halal memukul murid kecuali untuk mendidik, bukan untuk menyakiti. Pukulan tidak boleh dilakukan karena kebencian, tetapi untuk memperbaiki akhlaknya dan mengajarkannya ketaatan.”
Pendapat ini memberikan landasan bahwa hukuman yang keras dan kekerasan fisik sebagai bentuk “pendisiplinan” di pesantren tidak sesuai dengan prinsip Islam yang mendidik dengan adil dan penuh kasih sayang. Hukuman fisik haruslah proporsional dan jika ada cara lain yang lebih efektif, maka itu lebih diutamakan. Hal ini juga sesuai dengan nilai dasar pendidikan karakter yang tidak menggunakan kekerasan.
Solusi Berdasarkan Nilai-Nilai Islam
Untuk mengatasi bullying di pesantren, pendekatan solutif harus dilakukan baik secara preventif maupun kuratif. Pendekatan preventif dapat berupa penyuluhan dan pelatihan kepada seluruh komponen pesantren, mulai dari santri, ustadz, hingga pengurus pesantren, tentang bahaya dan dampak negatif bullying. Edukasi ini harus berbasis pada ajaran Islam yang menekankan akhlak mulia dan kasih sayang. Kyai dan ustadz sebagai panutan di pesantren perlu memberikan contoh nyata tentang bagaimana interaksi yang islami, di mana santri diajarkan untuk saling menghormati dan melindungi satu sama lain.
Pendekatan kuratif juga penting dilakukan dengan memberikan pendampingan psikologis kepada korban maupun pelaku bullying. Konseling dan bimbingan rohani dapat membantu korban untuk pulih dari trauma yang mereka alami, sementara pelaku perlu diarahkan agar menyadari kesalahan mereka dan mendapatkan bimbingan untuk berubah menjadi individu yang lebih baik. Dalam hal ini, penting bagi pesantren untuk memiliki sistem pengawasan yang ketat dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses oleh santri, agar kasus bullying bisa segera diidentifikasi dan ditangani.
Pendidikan dengan Kasih Sayang
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkam al-Maulud menekankan bahwa pendidikan harus dilakukan dengan kasih sayang dan kelembutan. Beliau mengatakan,
_وَأَمَّا تَعْلِيمُ الصِّبْيَانِ وَتَأْدِيبُهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِالْرِّفْقِ وَاللُّطْفِ، لِأَنَّ الشِّدَّةَ تَحْمِلُهُمْ عَلَى النُّفُورِ وَالْكَرَاهِيَةِ، بَيْنَمَا الرِّفْقُ يَحْمِلُهُمْ عَلَى الْحُبِّ وَالْإِقْبَالِ._
“Adapun mendidik dan membimbing anak-anak, maka harus dilakukan dengan kelembutan dan kasih sayang, karena kekerasan hanya akan membuat mereka lari dan benci, sedangkan kelembutan akan mendorong mereka untuk mencintai (belajar) dan tertarik (kepada ilmu).”
Pandangan Ibnu Qayyim ini menguatkan bahwa pendekatan lembut dalam pendidikan akan menciptakan rasa aman bagi santri dan mendorong mereka untuk lebih terbuka terhadap pembelajaran.
Selain itu, peran kyai dan pengasuh sangat krusial dalam mengawasi interaksi sosial antar santri. Mereka harus aktif memantau dinamika yang terjadi di asrama atau kelas, memastikan tidak ada penyimpangan yang berpotensi menjadi tindakan bullying. Kyai dan pengasuh juga harus menjadi teladan dalam akhlak mulia, karena santri cenderung meniru perilaku para pemimpin mereka.
Alhasil, bullying di pesantren merupakan masalah serius yang harus ditangani dengan pendekatan yang berbasis nilai-nilai Islam. Islam telah mengajarkan kita untuk saling menghormati, menyayangi, dan menjauhi segala bentuk perilaku yang merugikan orang lain. Dengan pendidikan karakter yang baik, pengawasan yang ketat, dan penerapan sanksi yang adil, bullying dapat diminimalisir bahkan dihilangkan dari pesantren, sehingga pesantren benar-benar menjadi tempat yang sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu membentuk generasi berakhlak mulia dan taat kepada Allah SWT.