Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi persoalan serius di Indonesia, dan dampaknya tidak hanya terbatas pada korban, tetapi juga menyentuh fondasi kehidupan masyarakat luas. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Sumenep, Jawa Timur, baru-baru ini, mengungkap wajah kelam dari fenomena ini. Sebanyak tiga kasus brutal terjadi secara beruntun: di Desa Juruan Daya pada 10 September 2024, di Desa Jenangger pada 5 Oktober 2024, dan yang terbaru di Desa Gadding, Kecamatan Manding, pada 9 Oktober 2024. Dalam kasus terakhir, seorang perempuan berusia 46 tahun berinisial SW menjadi korban kebrutalan suaminya sendiri, ME, yang menganiaya hingga menyebabkan kematian dengan luka yang sangat sadis. Kejadian ini mengindikasikan bahwa KDRT di Indonesia lebih dari sekadar masalah keluarga, melainkan mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi perempuan.
Kekerasan fisik yang terjadi, seperti dalam kasus SW yang dibacok menggunakan celurit, menunjukkan betapa kejamnya kekerasan dalam rumah tangga yang bisa terjadi di tengah masyarakat kita. Luka-luka fatal pada tubuh korban, termasuk jari yang putus dan usus yang terburai, menggambarkan bentuk kekerasan ekstrem yang seharusnya dapat dicegah. Fakta ini membawa kita kepada pertanyaan yang lebih mendalam: mengapa kekerasan seperti ini terus terjadi, dan apa akar masalah yang memicunya?
Salah satu akar penyebab KDRT adalah budaya patriarki yang masih kental di banyak daerah di Indonesia. Dalam konteks ini, perempuan sering kali dipandang sebagai subordinat dari laki-laki, yang membuat mereka lebih rentan menjadi korban kekerasan. Norma-norma sosial yang menganggap kekerasan sebagai hal “biasa” dalam kehidupan rumah tangga turut memperparah situasi. Budaya ini menciptakan ruang bagi para pelaku untuk merasa memiliki “hak” dalam melakukan kekerasan, bahkan ketika tindakan tersebut melampaui batas kemanusiaan.
Selain faktor budaya, masalah ekonomi juga berkontribusi besar dalam memicu kekerasan. Keterbatasan ekonomi sering kali menjadi penyebab konflik yang memicu kekerasan fisik maupun verbal dalam rumah tangga. Ketika tuntutan hidup semakin besar, stres dan frustrasi dalam memenuhi kebutuhan keluarga dapat berujung pada perilaku agresif. Dalam kasus-kasus yang terjadi di Sumenep, bukan tidak mungkin bahwa kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi dinamika kekerasan yang terjadi.
Penggunaan zat adiktif seperti alkohol dan narkoba sering kali memperparah kekerasan dalam rumah tangga. Banyak pelaku KDRT melakukan tindakan brutal saat berada di bawah pengaruh alkohol atau narkoba, yang menurunkan pengendalian diri mereka. Meski demikian, penyalahgunaan zat adiktif tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya penyebab, melainkan bagian dari masalah yang lebih kompleks, termasuk faktor sosial dan psikologis.
Ironisnya, penegakan hukum terhadap kasus KDRT masih sering dianggap lemah dan tidak efektif. Banyak korban yang enggan melaporkan karena merasa tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai atau takut akan stigma sosial. Bahkan, dalam beberapa kasus, pihak berwenang gagal memberikan perlindungan yang layak kepada korban, yang akhirnya berujung pada kematian seperti dalam kasus SW. Hal ini mencerminkan perlunya perbaikan sistem hukum dan perlindungan bagi korban KDRT.
Masalah KDRT juga memiliki dampak psikologis yang dalam, tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi anak-anak yang menjadi saksi kekerasan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan cenderung mengembangkan masalah perilaku dan emosional, yang berpotensi menciptakan siklus kekerasan antar generasi. Dampak ini dapat terus membayangi mereka hingga dewasa, mempengaruhi kualitas hidup dan relasi sosial mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi yang komprehensif dan sistemik. Salah satu langkah yang perlu diambil adalah meningkatkan kesadaran masyarakat melalui edukasi publik yang masif tentang dampak buruk KDRT dan hak-hak korban. Kampanye yang menargetkan perubahan norma sosial yang menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar perlu dilakukan secara terus-menerus.
Selain itu, pemerintah harus memperkuat kebijakan dan peraturan untuk memberikan perlindungan yang lebih tegas kepada korban. Peraturan perundang-undangan terkait kekerasan dalam rumah tangga perlu diperkuat, termasuk dengan pemberian sanksi yang lebih berat bagi pelaku dan perlindungan saksi serta korban. Langkah ini harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum dalam menangani kasus KDRT secara sensitif dan efisien.
Program rehabilitasi juga harus diperluas, tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi pelaku untuk mencegah kekerasan berulang. Pelaku kekerasan sering kali adalah orang yang memiliki masalah emosional atau gangguan mental tertentu yang tidak teratasi. Dengan memberikan terapi dan dukungan psikologis, diharapkan mereka bisa mengendalikan perilaku agresifnya.
Di sisi lain, pemberdayaan ekonomi bagi korban KDRT juga merupakan langkah penting. Banyak perempuan yang tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan karena keterbatasan ekonomi dan ketergantungan finansial. Dengan memberikan pelatihan keterampilan dan akses modal, korban diharapkan dapat mandiri secara finansial dan mampu keluar dari lingkaran kekerasan.
Peran lembaga sosial dan pemerintah daerah sangat penting dalam penanganan KDRT. Lembaga sosial dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam memberikan layanan rehabilitasi dan advokasi bagi korban. Pemerintah daerah, seperti yang ditegaskan oleh Indriani, juga perlu menggalakkan program pencegahan yang lebih masif, misalnya dengan pelatihan bagi tokoh masyarakat dan aparat desa untuk menangani kasus KDRT.
Kasus-kasus di Sumenep menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah masalah individual semata, melainkan mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi perempuan dan keluarga. Pemerintah dan masyarakat harus bersatu untuk mengatasi masalah ini, dengan langkah konkret dan kebijakan yang lebih berpihak pada korban.
KDRT harus dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dapat ditoleransi dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, upaya pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi harus menjadi prioritas bersama dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak-anak di Indonesia.