Wazanmedia.com – Shalat adalah pilar utama dalam agama Islam, berfungsi sebagai sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kewajiban ini sangat sakral, dan tidak melaksanakannya secara sengaja hingga dua kali berturut-turut bisa dianggap sebagai kekufuran dalam beberapa pandangan. Bahkan, konsekuensinya bisa sangat berat, termasuk hukuman ekstrem jika tidak ada upaya untuk bertaubat (al-Malibary, 1985, hlm. 3). Namun, Islam juga memberikan fleksibilitas dalam melaksanakan shalat, terutama dalam kondisi sakit atau ketika menghadapi udzur.
Menurut Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, meskipun seseorang masih mampu berdiri, shalat harus dilakukan dalam posisi berdiri meski tidak sepenuhnya tegak, menggunakan alat bantu seperti dinding atau tongkat jika diperlukan (al-Malibary, 1985, hlm. 17). Ini mencerminkan prinsip bahwa shalat tetap harus dilakukan dengan cara yang paling sesuai dengan kemampuan fisik, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
صَلِّ قَائِمًا فَإِن لَمْ تَسْتَطِعْ فَجَالِسًا فَإِن لَمْ تَسْتَطِعْ فَاتَّكِئًا
“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan berbaring” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika Berdiri tak Memungkinkan dan Opsinya
Keberadaan opsi untuk berdiri dengan bantuan alat menunjukkan fleksibilitas yang memungkinkan individu untuk tetap menjaga konsistensi dalam ibadah shalat. Ini mencerminkan keseimbangan antara kewajiban agama dan kondisi fisik yang realistis, memfasilitasi pelaksanaan ibadah secara praktis dan dapat dicapai.
Jika berdiri tidak memungkinkan, shalat dapat dilakukan dalam posisi duduk. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Nawawi, posisi duduk yang diutamakan adalah duduk iftirasy, kemudian bersila, dan terakhir duduk tawarruk (Al-Nawawi, 1994, hlm. 113). Ruku’ harus dilakukan dengan membungkukkan badan sehingga dahi dan kedua lutut lurus.
Pilihan untuk duduk dengan berbagai cara mencerminkan pengakuan terhadap variasi kemampuan fisik individu. Ini juga menunjukkan bahwa tata cara shalat tidak hanya bersifat kaku tetapi bisa disesuaikan dengan keadaan fisik, yang menghindari penambahan beban spiritual dan fisik bagi yang sakit.
Apabila duduk pun tidak memungkinkan, seseorang bisa melakukan shalat dengan berbaring miring, menghadap ke qiblat. Jika posisi miring tidak memungkinkan, maka shalat bisa dilakukan dalam posisi terlentang dengan kedua kaki menghadap qiblat. Jika semua opsi ini tidak memungkinkan, shalat boleh dilakukan dalam posisi apa pun tanpa perlu mengulang (al-Maqarin, 2002, hlm. 223).
Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa Islam memahami keterbatasan individu dan mengedepankan kemudahan dalam beribadah. Ini mencerminkan prinsip bahwa kewajiban agama harus diterapkan dengan cara yang tidak memberatkan individu yang mengalami kesulitan.
Ketika tidak dapat melakukan gerakan ruku’ dan sujud secara fisik, seseorang boleh memberikan isyarat dengan kepala atau mata. Jika isyarat dengan kepala dan mata juga tidak memungkinkan, shalat bisa dilakukan dengan hati selama akal masih berfungsi (Ibn Qudamah, 1997, hlm. 355).
Adanya kebolehan untuk memberikan isyarat dengan kepala atau mata menunjukkan penyesuaian shalat dengan kapasitas fisik yang tersisa. Ini juga mencerminkan prinsip bahwa niat dan kesadaran spiritual adalah elemen penting dalam ibadah, meskipun kemampuan fisik terbatas.
Aturan Ketika ada Kesulitan
Dalam situasi di mana seseorang kesulitan melaksanakan shalat pada waktunya, mereka diperbolehkan untuk menggabungkan shalat, seperti zhuhur dengan ashar atau magrib dengan isya, menggunakan jamak taqdîm atau jamak ta’khîr. Shalat subuh tidak bisa dijamak dengan shalat lain (al-Furu’ oleh Al-Mazari, 2003, hlm. 170).
Kemampuan untuk menggabungkan shalat memberikan solusi praktis bagi mereka yang menghadapi kesulitan dalam melaksanakan shalat pada waktunya. Ini mencerminkan fleksibilitas yang diperuntukkan bagi kondisi-kondisi khusus tanpa mengorbankan keutuhan ritual ibadah.
Seseorang yang bepergian, termasuk untuk pengobatan, diperbolehkan meng-qashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat (Ibn Qudamah, 1997, hlm. 361). Ini berlaku baik untuk perjalanan jauh maupun dekat.
Keringanan ini menunjukkan pemahaman Islam terhadap tantangan yang dihadapi dalam perjalanan, mempermudah pelaksanaan ibadah tanpa mengurangi substansi kewajiban. Ini memperlihatkan sikap adaptif terhadap kebutuhan praktis umat dalam kehidupan sehari-hari.
Islam sangat memerhatikan kondisi fisik dan kesehatan individu dalam melaksanakan ibadah, terutama shalat. Fleksibilitas dalam tata cara shalat ketika sakit atau dalam situasi sulit menunjukkan bahwa agama ini dirancang untuk memfasilitasi praktik ibadah tanpa membebani umatnya secara tidak wajar. Dengan prinsip bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah [2]: 286), pelaksanaan shalat dalam kondisi apa pun tetap dapat dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan, sehingga memenuhi kewajiban agama sambil menjaga kesejahteraan individu.
Bahan Bacaan
- Al-Malibary, Zainuddin bin Abdul Aziz. Fath al-Mu’in. Maktabah al-Turath al-Islami, 1985, hlm. 3.
- Al-Malibary, Zainuddin bin Abdul Aziz. Fath al-Mu’in, 1985, hlm. 17.
- Hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Lihat buku hadits dan koleksi hadits sahih.
- Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Dar al-Fikr, 1994, hlm. 113.
- Al-Maqarin, Ahmad bin Muhammad. Kifayat al-Akhyar. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002, hlm. 223.
- Ibn Qudamah, Muhammad bin Ahmad. Al-Mughni. Dar al-Hikmah, 1997, hlm. 355.
- Al-Mazari, Ibrahim bin Musa. Al-Furu’. Dar al-Turath al-Islami, 2003, hlm. 170.
- Ibn Qudamah, Muhammad bin Ahmad. Al-Mughni, 1997, hlm. 361.
- Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 286.