Wazanmedia.com – BENARKAH pendapat sahabat jadi dalil? umat Islam dalam menjalankan perintah Tuhan haruslah berpegang pada dalil-dalil yang tersedia dalam syariah. Dalil itu sendiri, dalam kajian usul fikih terbagi menjadi dua, ada yang disepakati seluruh kalangan ulama’ dan ada yang tidak.
Antara apakah dalil atau hujah disepakati dan tidak, dapat memunculkan implikasi yang berbeda. Jika ternyata dalil itu disepakati semua kalangan (para mujtahid) maka dalil tersebut mengikat dan harus diikuti semua ketentuan-ketentuannya (seperti al-Qur’an, Hadits, Ijmak, Qiyas). Sementara jika masih ada kesangsian dalam aspek kekuatan hujahnya (seperti mazhab sahabat, istishab, dll), maka umat Islam diberi kebebasan untuk menjadikannya sebuah pegangan (dalil) ataupun mengabaikannya.
Yang ingin dibahas pada kesempatan kali ini ialah dalil yang masih dipertentangkan (mukhtalaf fih) yakni Mazhab Sahabat. Dalam kitab al-Wajiz, Syeikh Wahbah Az-Zuhaily mendefinisikan Mazhab Sahabat sebagai sekumpulan pemikiran atau fatwa yang bersifat ijtihadi (hasil interpretasi manusia terhadap nas-nas syariat) terkait masalah fikih yang disampaikan oleh satu orang sahabat Nabi. Fatwa di sini kemudian menjadi sebuah kumpulan putusan hukum yang terkadang dijadikan pegangan oleh masyarakat muslim untuk menjalankan syariah Islam, di samping ada juga beberapa kalangan yang menentangnya. Untuk mengetahui lebih lanjut perdebatan antara ulama’ yang menentang dan yang mendukung eksistensi mazhab para sahabat beserta implikasi yang ditimbulkan, marilah kita simak penjelasan berikut:
Pendapat Pertama
Salah satu kelompok yang mendukung bahwa pendapat sahabat bersifat mengikat ialah kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Argumen yang dilontarkan salah satunya, bahwa mereka sepakat kalau ijtihad memiliki ruang untuk salah dan benar. Namun, ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat Nabi tentu berbeda dengan selain sahabat. Ijtihad yang dilakukan sahabat lebih kecil kemungkinan mengarah pada kesimpulan yang salah. Hal ini dikarenakan pengetahuan mereka terkait ajaran Islam dapat dikatakan fresh atau murni karena belajar langsung pada Nabi. Mereka juga melihat secara langsung aktivitas nabi ketika beribadah, bermuamalah, dan aktivitas-aktivitas lain yang berkaitan dengan fikih. Tidak hanya itu, mereka juga rata-rata memenuhi secara sempurna syarat kebolehan ijtihad, seperti adil, menguasai ilmu bahasa, maqashid as-syariah dll.
Kedua, mereka mengetahui secara langsung kiat-kiat turunnya sebuah ayat (asbab an-nuzul), atau proses munculnya sebuah Hadits (asbab al-wurud). Keistimewaan-keistimewaan yang telah di sebutkan, hanya dimiliki mujtahid yang berstatus sahabat Nabi. Sehingga, muncul kesimpulan kesan bahwa pendapat mereka cenderung salah sangat kecil kemungkinan. Ditambah, ada Hadits Nabi yang berbunyi: “Para sahabatku ibarat bintang, siapa pun dari mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk”, yang menurut kelompok kedua semakin menguatkan eksistensi Mazhab Sahabat dapat dijadikan dalil yang wajib diikuti.
Ketiga, terdapat hadis yang mengatakan “kalian harus mengikuti Sunahku dan Sunah para Khulafa ur-rasidin setelahku”. Secara literlek, kata “harus” dalam hadis tersebut (menurut kalangan ini) bermakna wajib dan diterapkan secara umum bagi seluruh umat muslim. Mereka juga memaparkan dalil hadis yang berbunyi “ikutilah dua orang setelahku, yakni Abu bakar dan Umar”. Artinya, jika memang mengikuti semua sahabat masih diperdebatkan eksistensinya, maka tidak berlaku ketika mengikuti pendapat Abu Bakar dan Umar, yang sudah dianjurkan langsung secara tegas oleh Nabi.
Pendapat Kedua
Pendapat pertama yang dipelopori kalangan Syafi’iyyah, Syiah, dan Mu’tazilah mengatakan bahwa Mazhab Sahabat tidak dapat dijadikan dalil agama (hujjah syar’iyyah) dengan beberapa alasan: Pertama, Mazhab Sahabat merupakan sekumpulan pemikiran yang sifatnya ijtihadi dan dimunculkan oleh satu orang sahabat. Perlu kita ketahui bahwa setiap ijtihad pasti memiliki kemungkinan benar dan salah. Ditambah para sahabat bukan seperti Nabi yang memiliki sifat maksum (terjaga), sehingga bisa saja melakukan suatu kekeliruan dalam berijtihad. Oleh karenanya, mazhab sahabat sangat lemah untuk dijadikan dalil-dalil syariat yang mengikat.
Kedua, ketika mengatakan bahwa mazhab sahabat merupakan salah satu dalil syariah yang di sepakati, maka semua umat Muslim tidak boleh menyalahi ketentuan yang dihasilkan.
Sementara, kenyataannya banyak sekali kisah yang menunjukkan para sahabat terkadang berselisih paham dengan sahabat yang lain terkait urusan fikih. Seperti yang terjadi antara sahabat Umar dan sahabat Ammar bin Yasir yang berbeda pendapat ketika seorang laki-laki datang untuk menanyakan apakah orang junub dan tidak mendapatkan air tetap wajib salat? Umar menjawab, “Jangan sholat sampai engkau mendapatkan air.”
Sementara, Ammar bin Yasir berkata pada Umar bin Khattab: “Tidakkah Anda ingat. Dulu –engkau dan aku– pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak sholat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah SAW. Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian.” (Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah al-Salafiyah).
Kisah ini mengatakan bahwa pendapat yang disampaikan satu sahabat, tidaklah menjadi sebuah dalil yang wajib di ikuti oleh sahabat lain. Hal ini menjadi keniscayaan bagi umat Muslim yang lain boleh untuk mengikutinya maupun tidak.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan -sebagaimana dalam al-Mustashfa- terdapat tiga dalil utama yang menolak argumen bahwa mazhab sahabat itu mengikat.
Pertama, para sahabat sepakat bahwa pendapat mereka boleh untuk dikritik dan tidak diikuti, dan Sayidina Abu bakar dan Umar tidak mengingkari kesepakatan tersebut. Bahkan mereka berdua mewajibkan para mujtahid untuk berijtihad untuk memecahkan suatu permasalahan. Tidak hanya mengekor terhadap pendapat yang sudah dilontarkan para sahabat sebelumnya.
Kedua, tidak ada satu pun dalil yang memastikan bahwa para sahabat itu maksum sebagaimana Nabi. Sehingga bisa saja pendapat mereka tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.
Ketiga, banyak sekali kisah yang menunjukkan para sahabat berselisih paham sebagaimana di atas.
Menurut salah satu ulama’ usul fikih kontemporer, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Mazhab para sahabat memang kuat dari segi kualitas ijtihadnya. Tapi, ia tidak dapat dijadikan sebuah dalil yang mengikat bagi umat Islam sebagaimana Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasionalisasinya, karena tidak ada satu pun teks yang secara gamblang mengarah pada wajibnya mengikuti pendapat mereka. Berbeda dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang secara tegas mengharuskan umat Islam menjadikannya sebuah pedoman. Juga, banyak dari kalangan Tabi’in yang secara terang-terangan menyalahi pendapat para sahabat Nabi yang semakin mengindikasikan bahwa mazhab sahabat tidak kuat untuk dikatakan sebagai dalil yang mengikat.
Al-Ghazali memaknai Hadits Nabi yang menganjurkan untuk mengikuti arahan para sahabat, bahwa hal tersebut menjadi sebuah kewajiban bagi sahabat yang awam. Bukan malah menjalar secara universal lantas mewajibkan seluruh umat untuk mengikutinya. Meski begitu, ketika ada seseorang yang menjadikan mazhab sahabat sebuah dalil, tentu ia tidak dapat di dosa kan, karena masih ada perselisihan terkait eksistensi dari mazhab sahabat.
*disadur dari kitab “Al-Mushtasfha” karya Al-Ghazali dan “Al-Wajiz Fi Usulil Fiqhi” karya Wahbah Az-Zuhaily, “Fathul Bari” karya Ibnu Hajar al-Asqalani.