Wazanmedia.com – PERBINCANGAN mengenai problematika yang dialami para difabel seakan tidak pernah selesai. Meski sudah banyak undang-undang yang memperjuangkan nasib mereka, itu hanyalah sebatas wacana yang tak berkelanjutan. Diskriminasi, pengkulturan, dan segregasi terus mereka alami di masyarakat bahkan hingga saat ini. Mereka seolah diposisikan sebagai masyarakat kelas dua oleh mereka-mereka yang mengaku normal.
Pada akhirnya, mereka secara perlahan disingkirkan dalam tatanan masyarakat global karena dianggap sebagai pengganggu keindahan. Cara pandang yang keliru disinyalir menjadi penyebab adanya tindakan-tindakan tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa apa yang menimpa mereka merupakan takdir Tuhan dan manusia hanya bisa pasrah menerimanya. Persepsi seperti ini mengindikasikan bahwa mereka tidak setara.
Dapat disimpulkan bahwa kesenjangan yang dialami difabel bukan hanya masalah kesehatan, tetapi fenomena yang kompleks dan merefleksikan interaksi antara seseorang dan masyarakat di mana ia tinggal. Intervensi ajaran Islam sebagai agama mayoritas di bumi pertiwi diperlukan untuk memberikan pemahaman bahwa seluruh manusia itu setara, sehingga tidak akan ada tindakan-tindakan yang merugikan bagi mereka.
Judul besar di sini ingin mengungkap bagaimana ajaran Islam memandang difabel yang diwakili oleh kitab suci Al-Quran sebagai rujukan utama dalam Islam. Dari sini akan diketahui apakah Islam bersikap melindungi dan toleran terhadap difabel, atau malah sebaliknya.
Kesetaraan dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran, tidak terhitung banyaknya perintah untuk berlaku adil. Ini menunjukkan bahwa keadilan dan kesetaraan merupakan sebuah prinsip Islam yang harus dimiliki oleh seluruh manusia. Karena memang pada hakikatnya semua manusia itu setara dalam memperoleh hak-haknya. Salah satu nas Al-Quran yang membahas prinsip keadilan dan kesetaraan ialah seperti firman Allah Swt. dalam surah Al-Maidah ayat 8: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”. [1]
Adapun tujuan dari berbuat adil itu sendiri yakni untuk menciptakan keharmonisan dan kesinergian manusia dalam menjalani kehidupan. Ketika rasa keadilan dan kesetaraan sudah terpatri dalam nurani masyarakat dunia, maka sudah dapat dipastikan tidak ada lagi yang namanya sikap destruktif maupun diskriminatif yang mengarah pada kelompok difabel.
Pesan Cinta dan Kasih Sayang untuk Semua
Allah SWT berfirman: “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” [Al-Taubah: 71]. Ayat di atas mengindikasikan bahwa sebenarnya manusia satu sama lain merupakan pelindung. Hal ini selaras terhadap penafsiran Ibnu Katsir terkait ayat di atas bahwa: “manusia seharusnya saling tolong menolong dan mendukung satu sama lain.” [2]
Termasuk ciri-ciri orang yang beriman adalah besarnya kasih sayang mereka terhadap saudara-saudaranya, pun terhadap para difabel. Sehingga, tidak ada lagi hinaan dan cacian yang diarahkan pada mereka. Nabi pernah bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan simpati mereka seperti tubuh. Jika satu organ mengeluh, seluruh tubuh meresponsnya dengan malam-malam yang tidak bisa tidur dan demam.”[3]
Solidaritas dan Kerja Sama
Di antara landasan masyarakat Islam yang disebutkan dalam Al-Quran adalah kerja sama dan solidaritas antar anggota masyarakat seperti yang ditegaskan dalam potongan ayat: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.”( Al-Maidah: 2). Disebutkan dalam Tafsir Al-Tabari terkait ayat tersebut: “saling tolong menolong dalam kesalehan dan ketakwaan adalah: melakukan apa yang diperintahkan Allah, dan menghindari apa yang dilarang Allah agar kamu takut dan menghindari dosa-dosa-Nya, dan mengerjakan seluruh perintahnya”.[4]
Orang yang memiliki kemampuan khusus (difabel), apabila hidup bersama masyarakat yang prinsipnya adalah gotong royong dalam kebajikan dan ketakwaan, maka tidak akan merasa kesusahan atau bersedih hati, karena pada dasarnya masyarakat yang menerapkan pentingnya solidaritas dan kerja sama akan berlomba-lomba menebar kebaikan kepada orang lain berdasarkan landasan tersebut.
Respek dan Hormat Kepada ‘Liyan’
Selain itu, salah satu landasan pokok yang diletakkan oleh Al-Quran adalah rasa hormat dan penghargaan di kalangan umat Islam. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-kan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.” [ Al-Hujurat: 11]. Ayat ini secara eksplisit menegaskan akan pentingnya rasa hormat dan toleransi terhadap siapa pun, tak terkecuali bagi para difabel. Ketika para difabel hidup dalam masyarakat yang saling menghormati dan menghargai, mereka akan percaya diri dan tidak merasa malu di depan orang lain atas apa yang menimpa mereka.
Seorang muslim seharusnya memang mencegah dirinya dari perilaku tercela yang ia berikan terhadap saudaranya, sebagaimana Hadis Nabi “Dari Abdullah bin ‘Amr dan Jabir bin Abdillah -raḍiyallāhu ‘anhum- “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya” (HR. at-Tirmdzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah).[5] Sayyid Qutb menegaskan dengan berkata: “Masyarakat berbudi luhur yang dibangun Islam berdasarkan bimbingan Al-Quran adalah masyarakat yang berakhlak mulia. Dan setiap individu mempunyai harkat dan martabatnya masing-masing yang tidak dapat diganggu gugat, yang merupakan bagian dari harkat dan martabat keseluruhan, karena martabat seluruh elemen manusia adalah satu. [6]
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari beberapa keterangan di atas bahwa ajaran Islam yang berbasis Al-Quran dan Hadis memberikan dampak yang sangat signifikan dalam terciptanya etika sosial serta keharmonisan antar manusia. Dampak tersebut berwujud bahwa Al-Quran secara utuh memandang manusia setara tanpa dibeda-bedakan, sehingga secara niscaya mengakui bahwa seluruh manusia layak mendapat perlindungan dari perilaku-perilaku tak bermoral. Ini membuktikan bahwa Al-Quran sebagai pedoman umat Islam telah menggariskan konsep kesetaraan sejak awal, tinggal bagaimana manusia dapat mengeksplorasi dan menerapkannya ke dalam realitas sosial.
Masalahnya terkadang timbul dari umat Islam itu sendiri yang terkadang tidak serius dalam menjalankan norma-norma yang telah tertulis baik dalam Al-Quran dan Hadits. Sehingga pada akhirnya, prinsip-prinsip yang sudah Allah gariskan menjadi sia-sia. Fal Yatadabbar!
[1] Azam, Suhaib Fayez (2014, 11 Desember,). “Orang berkebutuhan khusus berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah”. Diakses pada tanggal 21 Juli 2024 dari https://app.turath.io/book/150305.
[2]Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an, vol.4, hal.153.
[3] Muslim, Sahih Muslim, Kitab Kesalehan, Sambungan, dan Adab, Bab Kasih Sayang, Simpati, dan Dukungan Orang Beriman, jilid 4, hal. 1999, Hadits No. 2586.
[4] Al-Tabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an, vol.2, hal.490.
[5] Shihab, M. Quraish. “TOLERANSI”. Tangerang: Lentera Hati. Agustus 2022. Hal. 152.
[6] Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2000. Jilid 6.
, hal.3913.