“Meluruskan praktik kawin paksa yang masyhur terjadi di masyarakat, yang katanya mendapat legitimasi agama terkait kebolehan “wali mujbir” memaksa anak perempuannya untuk dinikahkan meski sang anak merengek-rengek menolaknya”.
Perempuan dengan segala sifat femininnya terkadang mendapatkan tindakan-tindakan diskriminasi di tengah-tengah kehidupan. Mereka acap kali dipandang sebagai makhluk lemah (kurang akal) dan diduga tidak mampu untuk memilih karakter yang ideal. Akibatnya, sering dijumpai orang tua yang bertindak sewenang-wenang menikahkan putrinya yang sudah dewasa (balig) dengan pilihannya meski putrinya secara tegas menolak, entah karena perasaan tak senang atau si perempuan memiliki calon sendiri.
Dikarenakan pernikahan tersebut tidak berlandaskan rasa saling suka alias mempelai wanita tidak sreg akan pilihan orang tuanya, banyak kejadian yang menimbulkan perceraian di tengah mahligai rumah tangga. Data terbaru dari “databooks.katadata.co.id” bulan Februari 2024 mengumpulkan ada sekitar 314 kasus perceraian yang dipicu kawin paksa. Jumlah ini belum seluruhnya, karena masih banyak kasus kawin paksa lainnya yang tidak terekspos oleh media.
Usut punya usut, perbuatan di atas tampaknya didasari sebuah pemahaman bahwa para orang tua diberikan legalitas dari agama untuk memaksa putrinya untuk dinikahkan, yakni Hak Ijbar. Memang benar dalam fikih Syafi’iyah (yang banyak di praktikan di Indonesia), dibangun sebuah paradigma bahwa wali mujbir (Ayah dan Kakek) mendapatkan hak ijbar ketika perempuan sudah mencapai usia balig. Sementara, Hanafiyah berbeda pendapat dengan membolehkan wanita dewasa memilih sendiri kriteria pasangannya.
Sehingga, perlu adanya pembacaan yang inklusif terhadap konteks dari pemahaman di atas. Karena, ketika hanya membaca tanpa mempertimbangkan waktu dan tempat lahirnya teks tersebut, akan muncul tindakan-tindakan serampangan yang malah menimbulkan kerancuan dalam beragama. Demi menghindari atau meluruskan paham yang sudah kadung mengakar, perlu kiranya untuk menelaah kembali kedua teori tersebut sembari menggunakan teori “maqhasid pernikahan”, guna memunculkan formulasi ideal yang relevan untuk saat ini terkait permasalahan di atas.
Konsep Ijbar dalam Fikih Syafii
Seperti yang dipaparkan di atas, dalam Mazhab Syafii, wali mujbir (Ayah dan Kakek) punya otoritas penuh terhadap putrinya dalam urusan pernikahan. Istidlal ini diambil dari sebuah hadis yang ada di kitab “Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim”, yang isinya:
« والبكر يستأذنها أبوها في نفسها وإذنها صماتها عن ابن عباس: أن النبي ﷺ قال الثيب أحق بنفسها من وليها ».
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi bersabda “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sementara seorang perawan dimintai izin oleh wali ketika ingin dinikahkan, dan diamnya perempuan berarti memberi izin”.
Metode yang digunakan oleh kalangan Syafiiyah dalam memahami hadis di atas ialah teori mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik dari teks dhahir atau mantuq). Mantuq atau makna tekstual pada lafal hadis di atas (yang digaris bawahi) mengindikasikan bahwa perempuan yang sudah menjanda diberi kebebasan untuk memilih calon suaminya, dan si wali dari janda tersebut tidak berhak sama sekali untuk memaksanya menikah.
Sementara, pemahaman terbaliknya (mafhum mukhalafah) mengisyaratkan bahwa ketika si perempuan (مولى) berstatus perawan, maka berhak bagi si wali untuk menikahkan perempuan tersebut dengan pilihannya. Sehingga, pemahaman terkait teks hadis selanjutnya (والبكر يستأذنها أبوها في نفسها) mengatakan bahwa seorang wali hanya di sunahkan untuk meminta restu terhadap anaknya. Artinya, meski perempuan tersebut menolak untuk dinikahkan, semisal sudah punya pilihan sendiri, orang tua (wali) tetap legal untuk menikahkannya meski dengan term paksaan.
Konsep Ijbar dalam Fikih Hanafi
Berbeda dengan Mazhab Syafii, Hanafi membolehkan wanita dewasa memilih sendiri kriteria pasangannya. Jika dalam hadis di atas, Syafiiyah melahirkan hukum disunahkan bagi wali mujbir meminta izin pada anaknya (مولى), Hanafiyah malah mewajibkan meminta izin pada anaknya jika ingin dinikahkan. Perbedaan ini hadir karena keduanya berbeda dalam menggunakan metode istinbath.
Jika Syafi’iyah (yang termasuk golongan Jumhur ulama’ usul fikih) secara tegas mengatakan bahwa mafhum mukhalafah bisa dijadikan sebuah dalil, tidak demikian dengan Hanafiyah. Sehingga, Hanafiyah memahami hadis di atas secara utuh dan melahirkan hukum yang berbeda, yakni wajibnya meminta izin. Teori yang digunakan ialah:
“”أن القران بين جملتين لفظا بأن تعطف إحداهما على الأخرى يقتضي التسوية بينهما, “ketika ada dua jumlah bersambung menggunakan perantara huruf ‘ataf dalam satu kalimat , maka hukumnya pasti sama”. Dua jumlah yang dimaksud dari hadis di atas, yang pertama ialah الثيب أحق بنفسها من وليها dan yang kedua yaitu والبكر يستأذنها أبوها في نفسها وإذنها صماتها . Jika jumlah yang pertama menghasilkan putusan wajibnya meminta izin bagi walinya ketika dinikahkan, maka demikian juga bagi jumlah yang kedua. Sehingga kesimpulannya menurut mazhab Hanafiyah, kedua perempuan tersebut (baik janda atau perawan) yang merdeka, berakal, dan telah baligh sama-sama berhak untuk memilih pasangannya sendiri. Hal ini untuk menjaga kebaikan adat dan etika yang dilindungi oleh Islam. Seorang perempuan dalam pandangan Abu Hanifah harus melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya dengan pilihan dan kerelaannya. Akan tetapi disunahkan baginya untuk menyerahkan pelaksanaan akad nikah kepada walinya, demi menghormati orang yang selama ini mengurusnya.
Analisis Asas Berpikir Kedua Mazhab
Setiap landasan berpikir yang berbeda akan melahirkan hukum yang berbeda pula. Perbedaan hukum di atas muncul karena landasan yang berbeda. Syekh Wahab Khalaf dalam kitabnya “Ilmu Usul Fikih” menjelaskan bahwa asas berpikir Syafiiyah lebih mengutamakan aspek “kasih sayang” ketimbang “kemanusiaan”, sehingga hukum-hukum yang dilahirkan pun demikian. Dalam konteks di sini orang tua tidak mau anaknya salah dalam memilih pasangan, maka Syafiiyah pun memberikan wewenang penuh bagi wali mujbir untuk memilihkan calon suami anaknya dengan berlandaskan kasih sayang mereka.
Prinsip di atas, Tidak sama dengan Hanafiyah yang lebih mementingkan rasa “kemanusiaan” dari pada “kasih sayang”. Kemanusiaan (menurut mereka) dianggap lebih relevan untuk dijadikan landasan dalam memutus sebuah hukum. Oleh karenanya, wanita yang sudah balig (perawan ataupun janda) diberikan kebebasan penuh untuk memilih sendiri calon pasangannya, karena itu merupakan hak mereka untuk menyuarakan kebebasan berekspresi sebagai manusia, tidak terikat oleh kasih sayang yang sifatnya mengekang dan bisa berbeda-beda tiap karakter.
Penting untuk diketahui bahwa masing-masing dari dua mazhab di atas, sama-sama mensyaratkan Kafaah (kesetaraan) antara kedua calon mempelai, atau setidaknya calon suami lebih baik dari istrinya. Kafaah yang disepakati yaitu dalam aspek kualitas agama antara calon suami dan istri. Selain itu, seperti masalah nasab, pekerjaan, dan fisik masih diperdebatkan apakah masuk dalam kategori kafaah atau tidak. Artinya, meski mazhab Syafii melegalkan adanya praktik ijbar, si wali haruslah mempertimbangkan kesamaan dalam kualitas spiritualnya. Ketika tidak setara, maka pernikahan tersebut menjadi batal jika si perempuan melakukan protes.
Demikian pula ketika mengikuti konsep Hanafiyah di mana perempuan diberi kebebasan terhadap calon pasangannya, ia juga harus mempertimbangkan hal tersebut (kualitas agamanya), sehingga wali boleh membatalkan pernikahan jika diketahui si suami tidak setara atau berada di bawah kualitas agama si perempuan.
Hal ini terjadi karena memang kafaah merupakan hak prerogatif yang dimiliki oleh perempuan dan walinya. Jika dipikir-pikir, mungkin inilah landasan yang menjadi kebolehan adanya hak ijbar. Islam menginginkan di dalam pernikahan terjalin hubungan yang romantis tanpa adanya tindak kekerasan. Sebagaimana salah satu tujuan dari pernikahan sendiri yakni menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan wa rahmah yang bisa terwujud hanya jika keduanya setara dalam level ketakwaan.
Telaah Maqhasid Pernikahan
Untuk menemukan formulasi yang dapat memadukan pendapat kedua mazhab, perlu adanya telaah ulang terkait tujuan pernikahan menurut Islam di samping mencocokkan dengan kondisi saat ini. Secara prinsip, tujuan utama pernikahan adalah melanjutkan keturunan agar manusia senantiasa hidup di muka bumi. Akan tetapi, dibalik itu terdapat hikmah agar manusia saling berbagi keluh kesahnya terhadap pasangannya. Hal ini tergambar dalam QS. Ar-Rum (30): 21:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum [30]: 21).”
Ayat di atas yang menjelaskan bahwa Tuhan mensyariatkan pernikahan agar manusia merasa tenteram sehingga diciptakan sebuah pasangan. Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan tertentu terhadap jenis yang lain. Perasaan dan pikiran-pikiran itu ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua jenis, laki-laki dan perempuan, itu terjalin hubungan yang wajar. Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkawinan antara laki-laki dengan perempuan.
Secara implisit, tafsir di atas menegaskan bahwa manusia seharusnya mencari pasangannya yang dapat mewujudkan tujuan pernikahan. Hal ini dapat terealisasi jika ia independen memilih sesuai selera pasangan yang ia pilih. Artinya, ketika orang tua hanya sekedar memberi saran atau masukan terkait karakter dan sifat lelaki ideal masih bisa di benarkan. Akan tetapi ini tidak lantas membuat orang tua berhak mencampuri pernikahan anaknya sepenuhnya, apalagi sampai kepada taraf paksaan. Selain karena alasan bahwa yang akan menjalani pernikahan adalah anaknya, pemaksaan tersebut bisa-bisa menghilangkan marwah dari tujuan pernikahan, yakni terjalinnya kasih sayang kedua insan yang hanya terwujud jika keduanya saling rela dalam menjalin hubungan rumah tangga.
Terkait kebolehan ijbar yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, menurut Yusuf Qardhawi ini terjadi karena beliau hidup di zaman yang mana jarang sekali seorang perempuan mengenal siapa yang melamarnya kecuali keluarganya. Maka dari itu ayahnya diberi wewenang khusus yaitu hak untuk menikahkan anaknya tanpa izin anaknya, hal ini karena rasa kasih seorang ayah kepada anaknya, juga matangnya pertimbangan, pilihan yang tepat dalam memilihkannya, dan ketidakmungkinan sang ayah bersikap sewenang-wenang terhadap anaknya.
Sedangkan, untuk saat ini, di tengah kemajuan globalisasi yang membuat manusia mudah mengenali karakter satu sama lain, pendapat imam Syafi’i dirasa tidak lagi relevan untuk di terapkan. Ditambah, zaman sekarang banyak dari kalangan perempuan yang sudah berpendidikan sehingga mereka tidak lagi lugu untuk masalah pernikahan. Apalagi saat ini kasih sayang orang tua tidaklah semurni zaman dulu, dengan banyaknya kasus orang tua yang nekat menikahkan anaknya (secara paksa) dengan iming-iming uang, jabatan, atau karena terlilit hutang. Dan dengan adanya kebolehan ijbar bagi wali malah akan membuat pintu yang memungkinkan sang anak merasakan penyesalan seumur hidupnya semakin terbuka lebar.
Jika alasan karena kondisi saat ini (di mana pergaulan bebas meraja lela) memaksa orang tua untuk menikahkan putrinya dengan calon yang dianggap baik tanpa sepengetahuannya, tentu ini hanya akan mematikan hak mereka. Alangkah lebih bijak jika orang tua berdiskusi dan menawarkan pasangan yang baik sembari menasihati secara hati ke hati terhadap putrinya, dari pada bertindak egaliter dengan mengesampingkan peran yang juga dimiliki oleh setiap manusia, seperti ditegaskan dalam sebuah kaidah “الحر لا يدخل تحت اليد” “orang merdeka tidak berada dalam kuasa siapapun!”.
Sumber Rujukan: Takhrij al-Furu’ Ala al-Usul, Al-Gurrah al-Munifah Fi Tahqiqil Ba’di Masail al-Imam Abi Hanifah, al-Fatawa Al-Mua’asharah Fadhilati Allamah ad-Duktur Yusuf Qardhawi, Al-Ihkam Fii Usul Al-Ahkam lil Amidi, Ilmu Usul Fikih Wahab Khalaf.