Hubbul Wathan Minal Iman—”Cinta tanah air adalah bagian dari iman”—bukanlah ungkapan yang tercantum dalam hadits Nabi atau ayat Al-Qur’an. Namun, ia adalah sebuah mantra yang lahir dari lisan seorang ulama besar, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Mantra ini berasal dari jiwa yang dipenuhi oleh iman kepada Allah dan tubuh yang senantiasa tunduk, sujud, serta mencium tanah airnya, sebuah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa.
Mengapa mencintai tanah air adalah bagian dari iman? Jawabannya sederhana, namun dampaknya sangat besar. Tanah air adalah pemberian Tuhan, sebuah amanah yang memungkinkan kita hidup, berkembang, dan mengkreasi kehidupan sebagai bentuk nyata dari pengabdian kita kepada-Nya. Setiap langkah, setiap napas, setiap sujud yang kita lakukan, semuanya terjadi di atas tanah ini—tanah yang diberkahi oleh Tuhan, tanah yang menjadi tempat kita berteduh, bekerja, dan beribadah. Tanah air bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga merupakan bagian integral dari identitas kita sebagai umat beragama dan manusia yang bersyukur.
Penjajahan, di sisi lain, adalah upaya untuk membatalkan pengabdian ini. Lebih dari sekadar tindakan fisik yang merampas hak-hak rakyat, penjajahan adalah bentuk penindasan yang secara langsung bertentangan dengan ajaran Islam. Islam menekankan keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, nilai-nilai yang semuanya dicederai oleh penjajahan. Dalam pandangan Islam, setiap manusia berhak untuk hidup merdeka dan mempraktikkan ibadahnya tanpa tekanan atau paksaan. Penjajahan adalah pengkhianatan terhadap hak-hak dasar ini, memaksa manusia yang merdeka untuk tunduk kepada kekuatan yang lain selain Allah. Oleh karena itu, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, melalui mantra *Hubbul Wathan Minal Iman*, menyerukan jihad fisabilillah—perjuangan suci untuk mengusir penjajahan dan mempertahankan kebebasan beribadah serta kemerdekaan bangsa.
Mantra ini bukan hanya kata-kata kosong, tetapi jiwa dari perlawanan yang menggerakkan hati setiap insan yang merindukan kebebasan. Ia adalah panggilan suci, mengajak setiap orang untuk berjuang melawan penindasan, untuk mempertahankan tanah air yang diberkahi, dan untuk menjaga amanah yang diberikan oleh Tuhan. Dalam konteks ini, cinta tanah air bukan sekadar emosi patriotik, melainkan ekspresi dari iman yang mendalam—iman yang memerintahkan kita untuk menjaga dan melindungi tanah yang telah diberkahi Tuhan sebagai tempat kita hidup dan beribadah.
Lebih jauh, semangat Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu—juga menemukan keselarasan yang mendalam dengan syari’at Islam. Islam menghormati kemanusiaan dan keberagaman, mengajarkan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, tetapi semua sama di hadapan Allah. Satu-satunya ukuran yang membedakan manusia adalah tingkat ketakwaannya, bukan suku, ras, atau asal-usulnya. Ide Bhinneka Tunggal Ika, yang mengajarkan persatuan dalam keberagaman, sangat sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang menghargai perbedaan tetapi mendorong persatuan dalam kebaikan dan ketakwaan.
Dengan demikian, perjuangan untuk kemerdekaan bukan hanya upaya politis, tetapi juga bentuk pengamalan iman dan syari’at. Hubbul Wathan Minal Iman adalah manifestasi dari ajaran Islam yang mengharuskan setiap Muslim untuk menjaga tanah airnya, menghormati perbedaan, dan memastikan bahwa setiap individu dapat menjalankan kehidupannya dengan bebas, adil, dan dalam ketakwaan kepada Allah.