Ditetapkan dan berlaku semenjak 26 Juli 2024, PP. No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU. No. 17/ 2023 tentang Kesehatan mulai menuai kontroversi, untuk sementara ini, perihal pasal 102 yang berbunyi, “Upaya Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1O1 ayat (1) huruf a paling sedikit berupa: a). menghapus praktik sunat perempuan.”
Posisi MUI untuk pasal ini jelas kontra atau setidaknya resistan. KH. Cholil Nafis dalam acara yang dipandu oleh Hotman Paris menyatakan bahwa PP yang melarang sunat perempuan tersebut bertentangan dengan norma agama. Khitan dalam pandangannya adalah boleh, dianjurkan, bahkan wajib. Melarang yang boleh jelas tidak direstui agama. Sepanjang dua windu MUI masih bergeming dalam sikapnya: dilarang melarang. Tanggal 7 Mei 2008, MUI merilis fatwa No. 9A/2008 dengan tema Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan, memutuskan antara lain: “Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.”
Buru-buru saya mengingatkan bahwa pasal 101 itu tidak melarang seluruh warga Indonesia untuk melakukan praktik khitan perempuan. Tokoh agama dan atau dukun anak misalnya yang masih membuka praktik tidak diancam pidana oleh PP ini. Ia hanya melarang tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan masyarakat melakukan “tindakan medis” sunat perempuan.
Kiai Cholil keberatan dengan penggunaan istilah khitan perempuan. Menurutnya, ketika menyebut khitan yang itu diakui oleh hukum Islam, maka terminologinya harus diserahkan kepada hukum Islam. Bahwa ada praktik khitan perempuan yang melukai, memotong, atau intinya merusak kelamin perempuan, itu kesalahan dan dosa tradisi. Perbaiki yang keliru itu, bukan malah melarang apa yang dianjurkan oleh agama. Kalau saja PP. itu bilang “jangan dilukai” dan jangan menyebut khitan, it’s ok. Demikian kira-kira Kiai asal Sampang ini berargumen.
Buru-buru lagi saya mengingatkan bahwa pasal 102 itu sama sekali tidak menyebutkan istilah “khitan”. Ia memilih istilah “sunat perempuan.” Memang ada bedanya? Hemat saya, berbeda. “Khitan” jelas etimologi Fikih (syar‘iy), sementara “sunat perempuan” itu terminologi tradisi Nusantara (‘urfiy). Ensiklopedia Fikih Kuwaitiyah, tidak mencantumkan “sunat” sebagai istilah kerabat dari “khitan” atau “khifādl.” Sejumlah istilah afiliasi “khitan” (al-Alfādh Dzāt al-Shilah) dalam Ensiklopedia paling tebal itu, terbatas dalam dua atau tiga istilah: khifādl, i‘dzār, ‘udzrah.
Namun demikian, PP. tersebut juga patut dikritik. Selain karena tidak peka pada kemungkinan penolakan sejumlah pihak antara lain MUI, ia juga tidak menyertakan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “sunat perempuan,” istilah yang dipilihnya. Pasal 102 tersebut dibubuhi hanya dua kata: cukup jelas. Nah, sekarang mulai tidak jelas, kan?
Sekiranya mereka yang merumuskan memiliki kepekaaan, mereka sebetulnya cukup membuat poin (a) pasal tersebut berbunyi begini: menghapus praktik penyayatan, pelukaan, pemotongan, dan setiap bentuk pengrusakan lain terhadap alat reproduksi perempuan. Kalau saja begini redaksinya, Pak Kiai Cholil Nafis mau tidak mau (thau‘an au karhan) harus taslīm. Atau opsi lainnya, berikan penjelasan yang memadai apa yang dimaksud dengan “sunat perempuan.”
Pengrusakan Kelamin, Perdebatan Istilah, dan Problem Komunikasi
Tentu semua pihak sepakat dan berniat menghapuskan setiap tindakan yang merugikan anak-anak perempuan kita, apalagi menyangkut kesehatan reproduksinya. Ya, intinya: mari hentikan pengrusakan kelamin. Tetapi penggunaan term “sunat” dalam PP tersebut dan term “khitan” dalam seri-seri diskusi membuat kita lupa pokok tujuan yang penting. Kita malah disibukkan dengan istilah dan term.
Saya mencurigai bebarapa pihak memang tidak menyukai istilah-istilah bernuansa Islam. Kecurigaan ini saya dasarkan paling sedikitnya atas dua hal. Pertama, definisi Female Genital Mutilation (FGM) buatan WHO itu sering diidentifikasi sebagai praktik khitan yang dilakukan oleh umat muslim pada satu sisi, dan jarang atau tidak pernah dihubungkan dengan praktik masyarakat Barat yang mengoperasi vagina untuk tujuan estetik pada sisi lain, atau tindik vagina. Dua praktik terakhir ini tidak mustahil merupakan “rekonstruksi vagina besar-besar.” Bagaimana tidak, otot-otot kendor dikencangkan, bibir yang menggelambir dipangkas, yang lebar disempitkan?
Anda boleh menyanggah kalau keduanya berbeda. Sunat perempuan dilakukan tanpa ada pilihan bebas bagi anak yang bersangkutan, sementara tindik atau operasi estetik vagina dilakukan dengan kesadaran dan pilihan bebas seorang perempuan dewasa. Anak itu korban orang tuanya. Tapi jika demikian, perempuan dewasa juga korban dari suaminya yang berfantasi dan membuat definisi apa dan kek mana vagina ideal itu. Hemat saya, keduanya sama-sama korban.
Kedua, sejumlah kajian antropologi menunjukkan agenda anti FGM adalah sebentuk arogansi moral Barat atas budaya Dunia Ketiga. Obiama Nnaemeka melancarkan kritik bahwa pengenalan istilah FGM hanya mempromosikan kebarbaran tradisi umat Muslim Afrika untuk kemudian diletakkan sebagai justifikasi bagi kampanye Barat menghapuskan tradisi khitan. Obiama sendiri termasuk perempuan feminis yang galak menolak praktik sunat perempuan, tetapi ia tetap kritis terhadap term buatan Barat. Detail ulasannya dapat anda baca dalam bukunya berjudul, Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses.
Silverman (2004) mengafirmasi adanya reproduksi kolonialisme oleh Barat dan aktivis anti FGM. Tulisnya dalam buku Anthropology and Circumcision,
“The female rite, in particular, as a result of transnational movements and refugees, is now clashing with Western law from California to Paris. At the same time, Western activists and governments impose notions of somatic integrity onto the bodies and states of others, thus reproducing colonialism or, depending again on your perspective, enabling human rights.”
Sudut pandang aktivis anti FGM memformulasi gerakan mereka sebagai dan demi penegakan hak-hak asasi manusia, tetapi sangat mungkin dalam pandangan MUI atau Kiai Cholil Nafis para aktivis itu digerakkan oleh mesin penjajahanan model baru. Sudut pandang yang berbeda tidak bisa dikompromikan dengan saling lempar wacana ke media.
Kajian lebih mutakhir dilakukan oleh Gyaviira Kisitu (2018) dalam The politics of knowledge on Female Circumcision and its Implication to the Wellbeing of Women. Artikel ini menguatkan Silverman dan mengusulkan untuk meninjau ulang pendekatan serta motivasi pejuang anti-FGM yang dinilai gagal karena komunikasi dan repsentasi yang tidak berimbang. Para aktivis itu memposisikan diri sebagai guru sementara mereka yang masih melangsungkan praktik sunat perempuan (FGM Gatekeepers) ditaruh sebagai murid yang mesti diajari. Perubahan sosial dan transformasi sejati tidak bisa dicapai dengan potong-tempel instan satu pengetahuan budaya oleh pengetahuan budaya lain.
Artikel terkhir ini kiranya dapat menjadi masukan berharga bila kelak negeri kita hendak merumuskan undang-undang yang melarang total pelukaan kelamin perempuan. Di benua Afrika, bahkan beberapa negara yang sudah memutuskan melarang total, praktik sunat perempuan tetap dihormati serta dilestarikan secara sembunyi-sembunyi. Para aktivis anti-FGM mesti mawas diri untuk menggunakan istilah asing yang bisa-bisa menimbulkan kesan mendiskreditkan istilah atau bahasa dari budaya lokal, terutama bila itu serapan atau modifikasi dari norma agama.
Tahun 2020 saya mengadakan survei-surveian di tiga kampung dari desa saya sendiri, pertanyaannya satu: apakah seseorang mengkhitan anak perempuannya? Jawabannya agak mengejutkan, hanya segelintir ibu yang mengaku mengkhitan anak perempuannya, segelintir lagi malah balik nanya ke saya tentang hukumnya, dan mayoritas menjawab sudah tidak lagi mengkhitan. Alasan kelompok terakhir ini, simpel: dukun anak yang biasa menyunat bayi perempuan sudah mati, sementara bidan tidak tahu caranya atau menolak. Tentu saja, PP. No. 28/2024 ini tidak relevan untuk tiga kampung itu dan daerah lain di mana praktik sunat perempuan sudah punah.
Problem Argumentasi Fatwa MUI
Sementara itu, MUI juga menyisakan problem argumen hukum perihal posisi mereka dalam wacana sunat perempuan. Posisi MUI mantap setidaknya sepanjang 16 tahun belakangan ini, seperti dinyatakan Kiai Cholil Nafis: kami tidak mewajibkan sunat perempuan, tapi kalian jangan melarang apa yang syariat bolehkan. Tetapi kemudian, MUI sendiri gamang menentukan terminologi syar‘iy dari bentuk legal sunat perempuan.
Kiai Cholil Nafis gamblang menyatakan dalam diskusi itu, “Khitan yang ada dalam Islam itu tidak dirusak dan dipotong dan dilukai.” Betul demikian. Tetapi apakah pernyataan beliau ini merupakan pandangan resmi MUI? Saya tidak yakin demikian.
Dalam fatwa No. 9A/2008, MUI menyebutkan dua poin tata cara pelaksanaan sunat perempuan.
- Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
- Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.
Apa itu praeputium? Istilah ini jamak dialihbahasakan menjadi “tudung klitoris.” Ia, mengutip dari Biology of Women, sebuah lipatan kulit yang berada di sekitaran dan melindungi glans klitoris, juga menutupi bagian luar dari klitoris, sebagai sambungan dari labia minora dan merupakan homologo dari kulup pada genital laki-laki. Penting dicatat, terminologi “homologo” hanya mengandung makna mirip, bukan identik.
Tudung klitoris ini terdiri dari jaringan mukokutan; jaringan ini berada di antara mukosa dan kulit, dan memiliki fungsi imunologis. Tudung klitoris juga penting tidak hanya dalam perlindungan kepala klitoris, tetapi juga dalam kenikmatan seksual, karena merupakan jaringan erogen. Mengutip dari buku Anatomic Study of the Clitoris and the Bulbo-Clitoral Organ (2014), artikel Normal Female Prepuce mendeskripsi secara rinci lebih-kurang berikut,
“Tudung klitoris memiliki efek stimulasi pada klitoris yang membesar akibat rangsangan seksual, ia juga melindungi klitoris dari kontak langsung dengan penis yang bisa menghasilkan rasa nyeri. Ini merupakan keseimbangan yang rumit antara kenikmatan dan rasa sakit. Tanpa tudung klitoris, keseimbangan ini pasti terganggu yang mengakibatkan ketidaknyamanan dan berkurangnya kepekaan seksual.”
Lebih dari satu abad yang lalu, Syaraful Haq penulis kitab ‘Aun al-Ma‘būd menuliskan hal serupa secara lebih imajinatif dan menggugah. Tulisnya lebih-kurang berikut,
“Itu lebih bermanfaat dan lebih nikmat bagi istri dan lebih disukai suami. Hal ini disebabkan karena kulit di antara kedua sisi vulva dan klitoris yang ada di sana, bila dielus secukupnya dengan jari atau penis, istri akan mengalami sensasi dari puncak kenikmatan sampai bisa-bisa lepas kendali dan ejakulasi tanpa penetrasi. Ada banyak syaraf di sana yang amat sensitif dengan sentuhan. Oleh karena itu, tukang sunat sebaiknya menyisakan tudung klitoris dan klitoris itu sendiri agar suami dapat melakukan foreplay yang cukup sehingga istri mencapai orgasme tepat saat suaminya ejakulasi, sebab umum diketahui lelaki lebih gampang ejakulasi daripada perempuan. Semua ini mendukung tumbuh-mekarnya cinta, sayang, dan keharmonisan antara pasutri. Ini semua didedahkan dengan benderang dalam buku-buku kedokteran. Wallāhu a‘lam!”
Sepertinya saya terlalu berpanjang lebar soal penjelasan terkait fungsi seksual dari klitoris dan tudung klitoris. Jangan lupa pemirsa yang budiman, ada kegunaan lain yang jauh lebih penting dari tudung klitoris, yaitu fungsi imonulogis. Intinya, mungkin, tudung klitoris bisa menghambat pertumbuhan bakteri patogen, atau setidaknya sebagai pelindung mekanis bagi klitoris dari sentuhan langsung barang asing yang membahayakan. Atau perempuan dengan tudung klitoris yang baik cenderung susah tertular virus corona, mungkin.
Kembali ke artikel Normal Female Prepuce anggitan Mohamed A Baky Fahmi itu, Profesor di Universitas Azhar, ia mendaftar empat bentuk normal dari tudung klitoris, yaitu tapal kuda, biji kopi, terompet, dan tenda. Masing-masing bentuk ini antara satu ke lain perempuan sangat beraneka mulai dari ukuran, ketebalan, hingga tampilan estetiknya. Semuanya adalah normal belaka. Penyimpangan pertumbuhan tudung klitoris bersifat kasuistik, jarang, dan tidak selalu menghajatkan tindakan medis.
Pertanyaannya, bagaimana cara menghilangkan praeputium atau tudung klitoris tanpa menyayat, tanpa melukai, tanpa mengeluarkan darah? Tawaran Kiai Cholil bahwa sunat perempuan itu tiada melukai, memotong, dan merusak, adalah mustahil jika prosedur sunatnya mengikuti fatwa dari lembaga beliau sendiri.
Poin kedua dari fatwa tegas melarang pemotongan dan pelukaan klitoris. Hemat saya, ini perlu dipertanyakan (fīhi nadhar). Tidak sedikit kitab Fikih klasik yang justru membuat semacam SOP untuk memotong klitoris. Fatḥ al-Mu‘īn dan Ḥāsyiyāt-nya, kitab yang dinukil dalam fatwa MUI, menuliskan,
فتح المعين: …والمرأة قطع جزء يقع عليه الاسم من اللحمة الموجودة بأعلى الفرج فوق ثقبة البول تشبه عرف الديك وتسمى البظر بموحدة مفتوحة فمعجمة ساكنة. إعانة الطالبين: البظر – بالضم – الهنة، وسط الشفرة العليا. اه. والهنة هي التي تقطعها الخاتنة من فرج المرأة عند الختان.
“Yang wajib dalam khitan perempuan adalah memotong bagian dari daging yang terletak di bagian atas vagina, di atas lubang kencing, yang mirip dengan jengger ayam dan dinamakan klitoris. Klitoris adalah (bagian) kemaluan pada bagian tengah bilah atas vagina. Bagian itu lah yang dipotong oleh tukang sunat saat mengkhitan kemaluan perempuan.”
Kitab-kitab dari Mazhab al-Syafi’iy lain yang menetapkan SOP serupa antara lain adalah Nihāyat al-Mathlab, Asnā al-Mathālib, Ḥāsyiyatā Qalyūbiy wa ‘Umairah, Ḥāsyiyat al-Jamal, dan Tuḥfat al-Habīb. Sejumlah kitab klasik ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Pasalnya, apabila kitab-kitab ini dinilai otoritatif dan karenanya MUI mengutip sebagian di antaranya untuk kepentingan menjelaskan hukum sunat perempuan itu boleh, tapi mengabaikan SOP yang ditentukannya, maka bisa-bisa MUI jatuh ke dalam sikap nu’minu bi ba‘dl wa nakfuru bi ba‘dl; atau terperangkap dalam lubang talfīq. Talfīq itu ibarat mencampurkan es boba dan soto babat dalam satu mangkuk. Chef Juna pasti murka dan melaknat tindakan ini.
Namun, dalam sudut pandang yang lebih optimis, MUI boleh dianggap melakukan semacam tarjīh. Ia tidak mau keluar dari hasil ijtihad yang dikodifikasi dalam kitab-kitab klasik pada satu sisi, tapi harus keluar juga dari sana khususnya pada bagian yang kurang relevan. MUI menerima hukum kebolehan sunat perempuan, tapi mengusulkan SOP yang baru dari tata cara pelaksanaan sunat, yakni tidak boleh ada penyayatan, pelukaan, pomotongan, dan tindakan lain yang dapat merusak kemaluan perempuan.
Bagaimana tidak ada tindakan merusak bila anjuran la tanhaki, hadis yang dibawakan oleh Kiai Cholil Nafis, ditafsirkan dengan iqtha‘ ba‘dl al-nawāti wa lā tasta’shilīhā/potong sebagian (yang mirip) biji tapi jangan lenyapkan sama sekali oleh kitab ‘Aun al-Ma’bud, kitab yang dirujuk MUI sendiri dalam fatwa “dilarang melarang” itu?
Meskipun dihasilkan dari penalaran inkohesif, saya setuju dan mendukung Kiai Cholil Nafis bahwa jangan sampai sunat itu menyayat, melukai, dan merusak alat reproduksi. Memang dalam logika deduksi, pemikiran yang sesat tidak selalu menghasilkan simpulan yang salah sebgaimana pemikiran yang tepat tidak pasti melahirkan simpulan yang benar. Wallāhu a‘lam!