Fiqih klasik, sebagai produk zaman, memiliki keterkaitan khusus dengan konteks tertentu. Sebagian mengatakan bahwa konsep yang ditawarkan oleh fiqih klasik adalah hal yang sudah final, dengan alasan mainstream bahwa sudah tidak dijumpai lagi seorang mujtahid. Ia sebagai salah satu pedoman umat Islam, baik dalam interaksi vertikal maupun horizontal, kiranya sudah cukup, dan tidak butuh pada perubahan, menurutnya. Padahal, ia adalah teks yang memiliki ruh yang sangat berkaitan dengan konteks di mana ia muncul. Dari itu, maka untuk memahami teks secara utuh kita, umat Islam khususnya, tidak bisa hanya kembali kepada bagaimana teks berbicara, melainkan juga harus memastikan bagaimana teks itu hendak dibuat bicara oleh penulisnya.
Dari ini kemudian kita bisa memahami teks lebih dari penulisnya—dengan mengetahui bentuk pendorong yang bekerja untuk kesimpulan yang teks lahirkan, untuk kemudian tidak membuat kesimpulan yang sama di saat hal yang mendorong tersebut sudah tidak ada.
Terdapat banyak konsep dalam fiqih klasik yang didasarkan pada ideologi anti-egalitarianisme, mulai dari ihwal struktur pemerintahan sampai struktur sosial.
Dalam pemerintahan, misalnya, kursi jabatan hakim hanya bisa disentuh oleh kelompok muslim. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, rakyat non-muslim dibebani pajak (jizyah), rumahnya tidak boleh lebih tinggi dari rumah penduduk muslim, larangan bagi non-muslim untuk menggunakan kendaraan kuda, paksaan untuk mengalah apabila sedang berdesakan (mungkin kalau sekarang macet) dan lain-lain. Non-muslim di sini tentunya adalah mereka yang menumpang di negara Islam (kafir zimmi).
Alasan umum yang biasa ulama kemukakan adalah karena mereka di sisi Allah adalah makhluk yang hina, lalu bagaimana kita akan menghormatinya. (Al-Khatib Asy-Syirbini—Mughni al-Muhtaj, 1522 M).
Jika semua muslim harus patuh terhadap produk fiqih klasik, tentunya konsep di atas bukanlah hal yang dikecualikan. Jika demikian, seharunya rumah Natasha Wilona, Celina Evangelista, Amanda Manoppo dan rumah artis non-muslim lainnya detik ini juga harus digusur dengan alasan konkrit karena lebih tinggi dari rumah saya sebagai warga muslim. Iya Kan? Atau, sekurang-kurangnya, rumah saya ditukar dengan rumah mereka. Tentu hal tersebut lebih baik, bagi saya. Selain itu, boleh juga saya menukar sepeda Vario saya dengan Mercedez Benz-nya Amanda Manoppo, misalnya. Namun, iyakah demikian?
Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa tidak ada suatu teks yang berangkat dari kehampaan. Semua teks yang ada selalu hadir selaras dengan sosio-kultur masyarakat di mana teks tersebut lahir. Karenanya, memhamai konteks adalah tahap tambahan untuk menelanjangi teks secara utuh.
Kedua, suatu teks tidak bisa dilepaskan dari kondisi psikis penulis, sebab ia juga memberi sumbangsih terhadap bagaimana teks tersebut itu lahir. Dari itu proses penelanjangan teks secara total juga butuh pada apa yang disebut “interpretasi psikologis” dalam hermeneutika, sebagai metode dasar dalam filologi. Dua hal ini sebagai upaya menyingkap latar belakang sosio-historis teks serta penulisnya.
Kembali ke ideologi anti-egalitarianisme dalam fiqih klasik dengan sistem kelas berdasarkan keimanan. Secara umum fiqih klasik (penulis-penulisnya) yang menekankan paham elitisme lahir dan tumbuh sekitar tahun 696 M (Masa Abu Hanifah) sampai tahun 1058 M (masa Imam Al-Mawardi). Untuk setelahnya banyak teks fiqih yang merujuk pada teks-teks fikih yang sudah ada sebelumnya. Di masa ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah (kami menyebutnya) “politik tanpa sekat”. Pasalnya, teritorial suatu negara di masa ini tidak ditentukan berdasarkan kesepakatan majelis oleh beberapa negara, sebagaimana sekarang, melainkan berdasarkan luasnya ekspansi yang dilakukan.
Sejauh mana suatu negara (penduduknya) dapat memperluas wilayahnya ke negara lain maka seluas itulah teritorial negara tersebut. Maka tak heran jika semisal dalam fiqih klasik ada dikotomi antara darul Islam dan darul harbi. Dikotomi tersebut berangkat dari kebiasaan manusia masa itu yang sering berkelompok-kelompok berdasarkan status keimanannya. Inilah latar belakang lahirnya elitisme dalam fikih klasik.
Tetapnya status “negara Islam” serta kebiasaan untuk berkelompok-kelompok berdasarkan keimanan ini kemudian mendorong mereka untuk membuat stratifikasi sosial. Pasalnya, meskipun mereka memiliki kebiasaan untuk berkelompok berdasarkan identitas keimanannya, juga ada segelintir orang pada masa itu yang memilih untuk menjadi golongan minoritas di negara tertentu, tak terkecuali di negara Islam.
Sebagaimana sebuah kelompok mayoritas, tentunya kaum muslim di tanah airnya tidak mau kalah terhadap kelompok lain yang sedang menumpang—ada sistem kelas di sana yang juga didasarkan pada iman mayoritas. Itulah gambaran struktur sosial yang terjadi dalam sistem pemerintahan negara Islam. Maka tak heran jika dalam fiqih-fiqih klasik dijumpai identitas muslim, kafir, zimi, kafir harbi, kafir mua’had dan kafir musta’man. Kesannya adalah bahwa keimanan seseorang, pada masa itu, bukan hanya sebagai identitas keagamaan melainkan juga identitas politik yang implikasinya pada akses pemerintahan dan kelas sosial.
Hal lain yang juga mendasari munculnya konsep anti-egalitarianisme dalam fiqih klasik adalah kedekatan para penulisnya, meskipun tidak semuanya, dengan pemerintahan. Sebut saja misalnya, Imam Al-Mawardi yang menjadi diplomat Dinasti Abbasiyah. Dalam perjalanannya ia mengabdi pada negara sambil lalu mengarang kitab. Salah satu kitab yang dilahirkan adalah Al-Ahkam As-Sulthaniyah yang merupakan pedoman pemerintahan Islam. Ulama lain yang semisal dengannya misalnya adalah Al-Ghazali yang juga menjadi konsultan poliltik kerajaan Seljuk (Dinasti Saljukiyah). Pasalnya, raja sebagai sentral kekuasaan membutuhkan dukungan politik, berupa legalitas kebijakan, dari ulama masa itu. Kedekatan tersebut tentunya akan menggiring penulis dalam mendeskripsikan pemikirannya.
Sebab inti dan paling berpengaruh atas ideologi itu adalah sumber yang mereka pakai. Al-Quran dan hadis nabi sebagai sumber utama lahir ditengah masyarakat yang memiliki struktur sosial yang sama dengan masa penulis fikih klasik. Ini yang kemudian menguatkan mereka dalam melahirkan pemahaman anti-egalitarian pada masyarakat. Sakralisasi sumber dan keseuaiannya dengan sosio-kultur mereka mendorongnya untuk mendialogkan teks dengan teks saja, tidak sekaligus dengan konteks, sebab kebetulan memiliki konteks yang sama dengan masa sumber itu lahir.
Konsep demikian tidak berlaku lagi sekarang—dan bukan karena tidak mau patuh pada produk fiqih, melainkan hal-hal yang mendorongnya tidak didapati dalam konteks Indonesia serta mayoritas negara lainnya. Sudah tidak terjadi lagi dikotomi antar negara; sudah tidak ada sistem teritorial negara yang tanpa sekat; sudah tidak didipati adanya kebiasaan manusia berkelompok sesuai identitas keimanannya.
Awal mula dari layunya konsep tersebut adalah sejak runtuhnya Turki Usmani, sebagai dinasti Islam terakhir yang berkuasa. Untuk selanjutnya banyak negara-negara yang sudah mulai bekerja sama secara internasional untuk membangun kesejahteraan. Teritorial yang sudah diatur oleh organisasi internasional berupa PBB menandakan punahnya politik pertumpahan darah. Konsep kesetaraan yang menjadi salah satu bagian dari SDG’s menjadi tanda hilangnya kelas sosial berdasarkan iman.
Referensi:
Mughni al-Muhtaj,
Nahwa Tajdidi al-Fiqhi as-Siyasiy al-Islamiy,
Sejarah Peradaban Islam: Pra-kenabian hingga Islam di Indonesia.