Wazanmedia.com – Di seri terakhir tulisannya tentang tambang, Gus Ulil membangun wacana tentang apa yang dimaksud dengan “pengakidahan isu lingkungan” dalam seri pertama tulisannya. Ya, beliau menyebut mazhab Deep Ecology sebagai pemeran utama. Pada seri terakhir tersebut, beliau menulis yang intinya sebagai berikut:
Untuk melindungi alam saya tidak perlu menjadi penganut paham ekosentrisme yang menuduh agama semitis, Islam salah satunya, adalah biang keladi kerusakan alam semesta. Paham yang memakzulkan manusia sebagai pusat bumi seperti yang menjadi “akidah” bagi Islam. Paham Yang mensucikan alam/bumi. Paham yang menuhankan alam/bumi.
Sebagai terlihat dalam sub judul beliau, “Menginterogasi Kosmosentrisme,” barangkali postingan saya ini boleh diberi judul “Jawaban Deep Ecology.”
Gus Ulil dengan mantap mengklaim bahwa wawasan teologis dalam Islam (akidah) menempatkan manusia sebagai pusat kosmos. Koreksi saya atas klaim ini adalah hal itu benar sepanjang dimaksudkan wawasan tersebut merupakan pemahaman atau tafsir yang dominan (mungkin konvensional?) dalam kajian teologi Islam. Apakah Islam itu (cenderung) menganut antroposentrisme atau kosmosentrisme? Atau tidak dua-duanya? Pertanyaan ini menjadi lahan garapan teologi yang ramai dengan hiruk-pikuk pendapat, bukan ladang tauhid yang senyap oleh satu doktrin.
Dalil-dalil bahwa Manusia sebagai Pusat
Hemat saya, agaknya sulit untuk memastikan bahwa Islam membawa gagasan “manusia sebagai pusat semesta”. Sejumlah ayat yang dikutip Gus Ulil, tidak satu pun yang lugas membawa doktrin tersebut. Tidak ada yang ‘ibārat al-nashsh dalam istilah teknis Ushūl al-Fiqh. Karena itu, ayat-ayat tersebut dapat kita bawa, dengan gaya pembacaan yang berbeda, justru ke makna yang sebaliknya, atau setidaknya berbeda. Pun, jika tidak mungkin, sekumpulan empat ayat tersebut dapat dihadapkan dengan ayat dan sabda lain yang potensial memiliki alternatif arah makna yang berbeda.
Sekadar contoh, ayat pertama klausa ahsani taqwīm dalam surat al-Tīn ini (QS. 95;4) memang kaprah dipahami jumhur dalam arti “sebaik-baiknya ciptaan.” Tetapi sebetulnya tidak semua mufassir bersepakat dengan pemaknaan tersebut. Sebut misalnya al-Farra’ (w. 207 H), al-Tusturi (w. 283 H), dan ‘Ikrimah (w. 104 H), klausa tersebut ditafsirkan dengan “usia paling bugar” (al-syābb al-qawi al-jald). Mereka yang menerjemahkan demikian mempertahankannya dalam ayat berikutnya, bahwa radadnāhu asfala safilīn, berarti setelah masa bugar itu Allah mengantarkan manusia ke kondisi fisik yang lemah, masa tua renta. Dengan pemaknaan ini, ayat ini tidak membawa pesan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makluk. Hewan-hewan lain juga mengalami dan melewati kondisi paling bugarnya untuk kemudian melemah dan mati. Meskipun toh ia diterjemahkan dengan sebaik-baiknya ciptaan, tetap itu tidak secara lugas mengatakan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta.
Dari tujuh kemungkinan yang didaftar oleh Al-Maturidiy perihal takwil karramna banī Ādama (QS. 17:70) dua di antaranya lumayan relevan untuk dibawa kepada klaim bahwa manusia sebagai pusat, ketiganya adalah bahwa seluruh makhluk ditundukkan untuk “kenyamanan manusia”, karena potensi ilmiah manusia. Namun, Ibnu ‘Abbas misalnya, menafsirkan ayat ini dengan: bahwa manusia itu memiliki karāmah lantaran manusia makan dengan kedua tangannya, sementara hewan-hewan lain makan dengan mulutnya. Berdasar pada makna dari Bapak mufassir ini, rasanya menjadi aneh mengatakan: kita ini adalah pusat jagat raya karena kita makan dengan tangan, yang lain makan langsung dengan mulut.
Mungkin di antara empat ayat yang dikutip, ayat khalaqa lakum mā fi al-ardhi jamī‘an (QS. 2:29) ialah paling kuat untuk dijadikan dalil dari klaim manusia adalah pusat semesta, karena seperti terjemah resmi Kemenag, Dialah Allah, yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu…terasa berbunyi, bahwa selain manusia hanya berarti sebagai fasilitas manusia. Namun, mereka yang tidak suka dengan terjemah tersebut, bisa memilih terjemah usulan Syeikh Ali Jum‘ah berikut: Dialah Allah, yang menjadikan apa yang ada di bumi untuk kamu semua.
Terjemah belakangan ini juga menjadi mungkin lantaran kata (jamī‘an) berposisi sebagai muakkid untuk kata lakum, bukan mā seperti dalam terjemahan yang popular. Meskipun tidak signifikan berbeda, tapi dengan pemaknaan ini ayat memiliki aksentuasi yang berbeda dibandingkan dengan terjemah yang pertama, yaitu bahwa taskhīr ilāhiy mempersyaratkan persamaan yang total di antara semua generasi manusia. Ayat ini kemudian bermakna: ambil secukupnya dari bumi supaya ia lestari dan layak huni untuk generasi mendatang.
Demikian juga dengan ayat yang mengisahkan penciptaan Adam as., tidak lugas membawa makna antroposentrisme.
Menaksir Keserasian Deep Ecology dengan Nilai-nilai Islam
Melalui kutipan tafsir-tafsir yang tidak konvensional ini, masih ada kemungkinan membuat klaim yang sebaliknya dari klaim Gus Ulil, yaitu boleh jadi wawasan Islam cenderung terhadap pandangan “kosmosentrime.” Untuk kepentingan ini, saya akan mengutip Ali Jum‘ah, sebagai model alternatif dari tafsir yang dominan.
Tulis Gus Ulil, “Gagasan (deep ecology) ini menempatkan segala makhluk hidup, termasuk bumi, sebagai sesuatu nilai yang inheren pada dirinya (inherent worth of all living being). Segala hal bermakna bukan dalam relasi instrumentalnya dengan manusia, melainkan karena adanya nilai intrinsik pada dirinya.”
Arne Næss dalam artikel yang disebut Gus Ulil mendaftar tujuh prinsip dari gerakan Deep Ecology, untuk menunjukkan distingsinya dari Shallow Ecology movement. Ulasan sekilas Gus Ulil barusan kiranya semakin dipahami dengan mengutip satu prinsip penting, yaitu prinsip biospherical egalitarianisme—in principle. Tulis Næss, “To the ecological field-worker, the equal right to live and blossom is an intuitively clear and obvious value axiom.” Dengan prinsip ini, Næss hendak menghapuskan hubungan tuan-budak, manusia sebagai tuannya dan makhluk lain sebagai budak, jenis kemitraan yang berperan dalam alienasi manusia dari dirinya sendiri.
Prinsip ini agaknya disalahpahami oleh Gus Ulil, tulisnya, “Mereka ini memiliki pandangan bahwa seolah-olah bumi harus dipertahankan “at all cost” walau harus mengalahkan kepentingan manusia.”
Salah paham begini sudah diprediksi oleh Næss sendiri. Dalam bukunya Ecology, Community, and Lifestyle, dia menulis pada halaman 170,
“The principle of biospheric egalitarianisme defined in terms of equal right, has sometimes been missunderstood as meaning that human needs should never have priority over non-human needs. But this is never intended. In practice, we have for instance greater obligation to that which is nearer to us. This implies duties which sometimes involve killing or injuring non-humans.”
Næss memberikan contoh pelibatan hewan dalam eksperimen yang menyakitkan untuk mengetahui apakah suatu zat pewarna makanan berbahaya bagi manusia sebagai tindakan yang melanggar prinsip ini.
Dalam obrolan santai dengan teman-teman santri, terkait tema ‘illat taghyīr khalq allāh saya sering menggoda mereka kalau Fikih kadang/sering berkarakter antroposentrisme. Fuqaha meributkan persoalan hukum, misalnya, operasi plastik supaya yang jelek jadi ganteng, atau hukum sulam alis demi kecantikan, tapi belum saya dengar mereka mempertanyakan hukum membonsai pohon-pohon padahal ia mau tumbuh besar dan bebas, tidak juga mempermasalahkan semangka yang dipaksa hidup tanpa biji__mungkin karena itu berguna dan enak bagi manusia.
Dalam kasus-kasus ini kita tidak menimbang antara keperluan perifer manusia dan kebutuhan vital spesies lain. Hanya karena supaya suatu makanan lebih artistik, seekor tikus harus bertaruh nyawa. Hanya karena enak bagi manusia, semangka dipaksa tanpa biji. Kita, manusia, dengan enteng berkata sambil lalu, ya itu boleh-boleh saja karena kita mampu melakukannya dan itu bermanfaat bagi kita. Menurutku, ini sudah egosentrisme. Næss mengingatkan, “The dimensions of peripheral needs of humans must be compared with vital needs of other species, if there is a conflict.”
Sekarang mari “mencari-cari” teks suci yang menunjukkan Islam cenderung kepada ecosentrisme.
Prinsip egalitarianisme kiranya bisa dinisbatkan kepada sejumlah ayat yang memperlakukan makluk bukan manusia sama dengan manusia, misalnya tawaran memanggul amanat kepada langit, bumi, dan gunung (QS 33:72), toturial Allah swt. kepada lebah bagaimana cara membangun rumah (16:68), dan sekian ayat yang menceritakan bahwa pelbagai makhluknya bertasbih. Singkatnya, Ali Jum‘ah menyimpulkan,
وكل ذلك إنما يعكس احترام الكائنات في التصور الإسلامي على المستوى المادي والوجداني …والمسلم خاصة يتعامل مع مخلوقات الله من منطلق الشعور بالمساوة معها والمشاركة في العبودية لإله واحد…نراه يستوي عنده ضعف المخلوقات وقوتها، حقارتها وعظمتها…
“Semua itu mencerminkan kemulian alam semesta dalam konsepsi Islam baik pada level material maupun emosional….Muslim khususnya, berinteraksi dengan makhluk-makhluk Allah dengan rasa kesetaraan dan kesamaan sebagai hamba Tuhan yang Esa…Aku meyakini seluruh makhluk itu setara di hadapan Allah, yang kuat dan yang lemah, yang agung dan yang remeh.”
Bukan saja setara dengan makhluk hidup, manusia juga setara dengan lingkungan abiotik. Tentang Uhud, Nabi bersabda, “Ini adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya.” Dalam satu hadis Bukhari dikisahkan juga bagaimana sebatang pohon di masjid yang tidak lagi digunakan Nabi untuk tempat khutbah, merintih karena rindu, seperti rintihan unta bunting, ia terus merintih sampai Nabi mengusapkan tangan beliau pada batang itu. Ada banyak hadis lain di mana daging, batu, perumahan, (semuanya lingkungan abiotik) berinteraksi layaknya manusia. Dan setelah mengutip himpunan ayat dan hadis yang mempersonifikasi benda-benda jamādat, Ali Jum‘ah menyimpulkan,
“Dalam pandangan muslim, semua lingkungan abiotik memiliki kemuliaan…contoh paling nyata adalah gerak melingkar manusia memutari Kakbah saat tawaf, suatu gerak yang mirip dengan bintang dan benda-benda langit dalam orbitnya, mirip juga dengan gerak elektron mengelili inti atomnya”
Pandangan Ali Jum‘ah, menurut pemahamanku, cenderung ecosentrisme daripada antroposentrisme. Semua makhluk Allah, biotik dan abiotik, adalah setara sebagai hamba-Nya. Rasa kesetaraan ini hanya mungkin tumbuh dalam jiwa manusia jika ia mengakui bahwa makhluk lain juga hidup, berhak melangsungkan kehidupannya, bahkan mengakui abiotik sebagai “hidup” layaknya manusia.
Menurut ahli fikih bernama latin Ali Gomaa ini, manusia hanya satu bagian dari alam semesta ini, kendati ia istimewa karena sanggup memikul amanat yang mana langit, bumi, dan gunung ogah memanggulnya; juga karena ilmu dan pengetahuannya. Kompensasinya, mereka semua rela “ditundukkan” untuk manusia. Tetapi, bukan karena dua kelebihan ini, manusia lantas mendapatkan hak taskhīr, hak ini diberikan hanya semata-mata kehendak dan kuasa-Nya.
Ibarat rantai sepeda motor, manusia hanyalah satu link dari keseluruhan link, yang memerlukan engsel rantai, roller, dan tahanan karet. Kita tidak bisa menyebut mana bagian penting dari semua komponen ini. Mana yang pusat? Tidak tahu. Baiklah, karena beberapa keistimewaannya, tepatnya manusia mungkin mirip dengan master link, yaitu link yang memiliki desain khusus supaya rantai dapat mudah dilepas dan dipasang, tapi kita atau minimal saya, tidak bisa menyebutnya sebagai pusat rantai.
Tulis Gus Ulil, “Manusia tidak saja dimakzulkan dari kedudukannya sebagai pusat realitas, melainkan pusat itu digeser ke “alam”. Kita, di sini, melihat gerak dari antroposentrisme (manusia sebagai pusat) ke kosmosentrisme (alam sebagai pusat). Bahkan lebih jauh lagi: alam bukan saja menjadi pusat, melainkan juga sesuatu yang suci.”
Kita mengendus keberatan Gus Ulil terhadap pemakzulan manusia dari posisinya sebagai pusat. Keberatan yang muncul dari keteguhan atas tafsir agama pilihannya. Keberataan serupa ini tentu tidak ada bagi mereka yang merasa cocok dengan kosmosentrisme. Peralihan dari antroposentrisme ke kosmosentrisme, bagi saya, bukanlah pemakzulan, tetapi lebih kepada “berbagi”, sebabnya jelas: manusia tentu saja bagian dari kosmos ini sendiri.
Keberatan beliau ini didasarkan pada kekhawatiran beliau bahwa bisa-bisa kelak muncul pemujaan pada alam, kosmolatri, dalam istilah beliau. Namun, jika Gus Ulil gelisah dengan “pengkudusan atau penyembahan alam,” kita pun risau jangan-jangan beliau “mempertuhankan manusia.”
Manusia dan Bumi
Apakah berlebihan bila saya menyimpulkan gagasan ekofeminisme dapat dibaca dalam ajaran Islam? Dari riwayat Thabrani kita mendengar bahwa Nabi bersabda, “Mawaslah engkau dengan bumi karena ia adalah ibumu.” Simak baik-baik misalnya surat Thaha ayat 55, “Dari bumi Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
Bagi saya, tidak ada yang salah dengan menempatkan bumi sebagai makhluk yang hidup. Menganggapnya “suci” sebagaimana ibu kita sendiri. Anak dan ibu merupakan contoh hubungan cinta dan kasih sayang paling kukuh. Anak yang merantau selalu merindukan ibu pertiwinya. Bumi meratap sedih dan menangis bila anaknya manisnya mati. “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka (Firaun dkk.)…” (QS. 44:29)
Ekofeminisme spiritual, satu dari lima sub mazhab ekofeminisme, yang memiliki pandangan bahwa alam dan perempuan memiliki hubungan yang kuat dan keramat, dalam batas tertentu dibenarkan oleh nalar Islam, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengannya. Bahwa ditemukan praktik ekstrem penganutnya, misalnya mengharuskan mereka menjadi vegetarian (lalu mereka mendirikan sub mazhab “ekofeminis pembebasan hewan”), kita dapat menolaknya tanpa membuang gagasan intinya yang berguna.
Ali Jum‘ah menyusun tiga jenjang hubungan antara manusia dan bumi, yaitu pemanfaatan dengan modal taskhīr, tafakkur dan tadabbur, dan cinta kasih. Urutan ini dimulai dari level paling rendah hingga yang sublim. Berhenti dan puas dengan pemanfaatan alam, betapa pun dengan komitmen menjaga kelestariannya, berarti mencukupkan diri dengan “penggemukan tubuh” belaka. Muslim yang baik harus promosi ke level tafakkur-i’tibār untuk mengunduh pengetahuan dan pelajaran. Perut diisi dengan level pertama, dan akal diterangi dengan level kedua. Tersisa level puncak, itulah cinta kasih. Bagaimana aku bisa menumbuhkan cinta kepada obyek yang aku posisikan ia sebatas benda yang berguna untukku?
Kritik Ekofeminis dan Deep Ecology atas Agama
Hemat saya, kita tidak perlu takut dengan pensakralan atau pengkudusan bumi, dan atau, asumsi Gus Ulil, kosmolatri. Cinta memang sakral nan suci, juga ada pemujaan dalam cinta. Walā syakka, pemujaan itu bukan persis seperti penyembahan kepada Allah yang Maha Suci. Ali Jum‘ah menulis,
فالمسلم يقدس من عالم الأشياء: المصحف والكعبة وقبر النبي صلى الله عليه وسلم ونحوها.
“Muslim (yang baik) mengkuduskan sebagian benda-benda dalam semesta, mushaf, Kakbah, kubur Nabi saw., dan lain sebagainya.”
Tulis Gus Ulil, “Sebagai muslim saya tak perlu merasa gentar dan takut di hadapan “fisafat kosmosentrisme” yang, kesan saya, seperti berteriak menguarkan kata-kata “Aku menuduh” kepada agama-agama semitik (sekali lagi, termasuk Islam) sebagai biang kerusakan alam. Saya menolak keras tuduhan ini!”
Penolakan keras Gus Ulil atas “tuduhan” dimaksud setelah beliau menjelaskan bahwa antroposentrisme sama sekali bukan semacam a licence to kill, sebab Alquran membawa amanat bahwa manusia adalah khalifah Allah atau duta Tuhan. Oleh karena Allah itu (juga) Rabb, maka antroposentrisme dengan sendirinya sudah mengandung pesan “pemeliharaan” dan “penggembalaan” manusia atas lingkungan.
Saya belum tahu dari mana kesan tuduhan kosmosentrisme kepada agama-agama semitik Gus Ulil dapatkan. Sahabat-sahabat yang lama menggeluti wawasan deep ecology bisa bantu saya menunjukkan sumber pokok kalau memang ada tuduhan serupa.
Yang saya tahu dari buku Ecology, Community, and Lifestyle, Næss berpanjang lebar (mulai halaman 183 sampai 189) membahas ayat-ayat Bible dalam konteks kelestarian alam. Tidak ada tuduhan darinya, seperti kesan Gus Ulil, bahwa agama adalah biang kerusakan alam. Bahkan, dia secara simpatik mengulas sejumlah ayat Bibble dalam paradigmanya sendiri untuk mengimbangi tafsir konvensional. Malah argumen Gus Ulil untuk menolak “tuduhan itu” juga dinyatakan eksplisit dalam satu paragraf berikut,
“Mankind is accountable to God, in the light of our uniquely responsible position: regent, caliph; deputy, guardian, administrator, steward, and servent are some of the terms used in the Bible and the Koran.” Simak betul-betul kata dengan font italic!
Akhirnya…
Mungkin perdebatan tentang kosmosentrisme atau antroposentrisme ini sia-sia mengingat semua pihak sepakat dan berkomitmen akan pentingnya pelestarian lingkungan (al-khulf lafdhiy). Tapi bagaimana wujud aktual komitmen itu, setidaknya dalam pikiran, harus diakui ada perbedaan substantif (al-khulf ma‘nawiy). Gus Ulil dan kawan-kawan yang sepakat dengan beliau, meminjam gaya Imam Sya’rani, berada di pihak takhfīf. Sahabat-sahabat yang kontra dengan beliau, atau saya seorang, mengambil posisi tasydīd.
Apa yang ditulis oleh Giddens dalam The Third Way kiranya mewakili pilihan posisi saya, “Ekonom neoliberal mengatakan kalau pemanasan global tidak akan terjadi, atau sekadar fenomena alam belaka dan bukan disebabkan oleh aktivitas manusia. Alam memiliki sifat pemulihan yang melampaui dampak yang diciptakan oleh manusia terhadap lingkungan…sikap positif dan penuh harap atas bahaya-bahaya lingkungan itu sendiri merupakan strategi yang amat berbahaya.”
Secara prinsip, sekali lagi secara prinsip, saya menolak tegas pertambangan batu bara terutama bila pertimbangan dan tujuannya semata revenue dari suatu organisasi, bahkan demi pertumbuhan ekonomi nasional sekalipun. Wallāhu a‘lamu bi al-shawāb.