Berbicara soal menulis berarti bicara tentang manusia, bicara tentang manusia tentu harus berbicara tentang kesadarannya. Kesadaran manusia sangat khas, berbeda dengan binatang, walaupun memiliki kesadaran namun tidak menyadarinya, namun instink semata. Anthony Gidden (1991), — seorang ilmuwan sosial mantan Penasihat PM Tony Blair– membagi kesadaran manusia menjadi dua, yaitu kesadaran diskursif dan kesadaran praktis.
Kesadaran diskursif adalah kesadaran yang aktif berpikir, berefleksi terhadap kondisi dirinya, mencari pemecahan atas persoalan-persoalan yang dialaminya, serta mempertimbangkan-nya dan memperhitungkannya berdasarkan kerangka berpikirnya. Sedangkan yang kedua adalah kesadaran praktis yang bersifat praktis, yang mendorong manusia untuk melakukan tindangan rutinnya tanpa mempertimbangkan arti tindakannya tersebut. Jumlah yang kedua tentu lebih banyak dibanding dengan yang pertama.
Kelompok yang kedua memahami kehidupan ini apa adanya tanpa mempertanya-kannya lagi karena sudah terbiasa. Pak Ahmad (bukan nama sebenarnya), misalnya: sudah dua puluh tahun mengajar, berangkat pagi, pulang menjelang dhuhur, kadang-kadang lewat tengah hari dan akhir bulan terima gaji yang sudah habis di awal minggu kedua. Orang menyebutnya sebagai guru yang istiqamah dan ikhlas bekerja lillah karena berharap surga yang “katanya ada”.
Rutinitas berpotensi membuat subjek tak memikirkan lagi makna dari tindakannya. Dalam perspektif Durkhiemian, hal ini dapat dipahami karena kecenderungan manusia memang mencari keteraturan, kalau sudah teratur berarti tujuan hidupnya telah tercapai. Masalahnya adalah apakah sifat ke-agen-an manusia memang demikian pasif di hadapan struktur berupa tatanan simbolis yang notabene merupakan ciptaan manusia juga. Manusia menciptakan dunia, dan dunia kemudian mengatur manusia. Begitu seharusnya, katanya..
Yang memiliki kesadaran diskursif tentu berbeda dari yang pertama. Manusia adalah makhluk yang memiliki karakteristik eksentrik, vital being. Posisi being manusia tidak sama dengan binatang yang terkungkung oleh kondisi biologisnya dan hanya mengikuti insting belaka. Binatang menempati lokasi geografis tertentu dan hidup sesuai dengan ekosistemnya, tetapi manusia hidup tidak terikat secara sempurna dengan lokasi geografisnya. Manusia menciptakan ekosistemnya sendiri dan dirinya sendiri.
Dengan kata lain manusia dipandang sebagai makhluk tidak sempurna, hidup di dunia yang diciptakannya sendiri bersama-sama manusia-manusia yang lainnya, namun ia agen yang memiliki kemampuan reflektif dan bebas memilih tindakannya sendiri. Ikan berenang tidak seperti manusia yang bisa memilih gaya renang.
Dari sini dapat dikatakan bahwa kegiatan menulis merupakan suatu wujud sebuah kesadaran yang tertinggi dari manusia. Kalaupun keteraturan yang menjadi tujuan manusia itu berasal dari dalam tubuh biologis manusia, tetapi selalu dimaknai dan diinterpretasikan secara subjektif, sehingga setiap kali manusia menghadapi situasi yang berbeda maka cara untuk memenuhi kebutuhan akan keteraturan itu juga akan berbeda pula.
Manusia memiliki kebebasan untuk berfilsafat dalam arti mencari maksud dan jawaban atas problem yang membelenggunya yang notabene mengganggu pencapaian keteraturan tersebut. Dengan kesadaran diskursif sangat dimungkinkan manusia menemukan suatu pemahaman baru akan realitas yang melingkupinya.
Kemampuan seseorang untuk melakukan refleksi atas pengalaman hidupnya sangat tergantung kepada bagaimana pengetahuan yang diperoleh dikonstruksikan dalam kesadarannya (Berger: 1966). Seorang anak pertama kali mengalami sosialisasi primer dengan memperhatikan bagaimana significant other yang terdekat, yaitu orang tuanya memainkan peran sosialnya bersama orang-orang yang lain.
Di sinilah untuk pertama kali seorang anak melakukan definisi-definisi secara mendasar dari situasi sosial tertentu. Selanjutnya setelah beranjak dewasa, seseorang mengalami sosialisasi sekunder, yaitu memperkenalkan sektor baru dalam kehidupannya. Selanjutnya, realitas sosial yang berada di luar diri manusia diinternalisasi menjadi realitas yang objektif yang ada dalam diri manusia dan hal ini cenderung diterima secara taken for granted.
Pertanyaannya adalah apakah manusia sedemikian lemah dihadapan fakta yang berada di luar dirinya? Apakah sosialisasi merupakan suatu proses yang sempurna tanpa cacat? Saya cenderung bersepakat dengan asumsi awal di atas, bahwa manusia walaupun dikungkung oleh kecenderungannya untuk mencapai keteraturan tidak berarti tunduk begitu saja.
Manusia memiliki kesadaran yang bersifat categorical imperative, yaitu selalu berusaha mengolah pergerakan dan dinamika dari segala objek yang dipersepsikannya untuk menemukan kaidah atau hukum yang berada dibaliknya. Karenanya tidak mengherankan kalau kenyataannya pewarisan institusi pada generasi berikutnya selalu dapat dipertanyakan ulang karena apa yang dihadapi generasi muda jelas berbeda dengan pendahulunya.
Generasi awal lebih sedikit memiliki stock of knowledge dibanding dengan generasi berikutnya. Walaupun memiliki pemaknaan sendiri terhadap realitas yang dihadapi, namun terlalu beresiko untuk menerabas institusi yang ada untuk mencoba hal baru dalam kehidupan sosialnya.
Generasi muda yang hidup di tengah dunia yang telah terdeferensiasi memandang realitas tidak tunggal (Multiple Realities) dan proses modernisasi menguatkan hal ini dan kemudian media sosial mengacaukannya. Melalui deferensiasi, kesadaran kolektif mulai terdegradasi perannya sebagai pengikat anggota masyarakat dan digantikan dengan birokrasi.
Kondisi yang demikianlah yang menjadikan ruang bagi manusia untuk melakukan refleksi atas kehidupannya. Mulailah manusia merumuskan manakah realitas yang lebih benar dan kemudian memformulasikan kesadarannya sendiri untuk diyakini. Salah satu contoh praktik berefleksi itu adalah menulis. Menulis tentang apa saja sesungguhnya adalah bagian dari kegiatan berfilsafat.
Berfilsafat artinya berpikir kritis, dan berpikir kritis maknanya berpikir bebas dan reflektif. Mengapa filsafat?, ilmu “tanpa rezeki”. Karena filsafatlah yang dapat mengembangkan pemikiran yang logis, rasional dan kritis. Dan filsafat adalah satu-satunya obat agar akal tetap sehat.
Bukankah Peradaban Islam mencapai puncaknya tatkala Filsafat Islam menggantikan Filsafat Yunani sejak 2500 tahun sebelumnya? Saat itu Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin oleh karena ummat Islam sanggup berdialog dengan berbagai peradaban sehingga Islam tidak dipandang sebagai sebuah ancaman. Fenomena gerakan massa belakangan, yang mengatasnamakan Islam justru selalu menampakkan wajah tak mengenal kompromi dan cenderung anti dialog.
Filsafat adalah musuh tak terdamaikan dari segenap pemikiran ideologis. Pemikiran ideologis adalah pemikiran yang berpegang pada satu teori atau satu ajaran yang dianggap sebagai kebenaran mutlak. Atas dasar ajaran itulah mereka memaksakan pandangan pada masyarakat.
Ideologi sebagai ajaran yang mengklaim kebenaran yang tak dapat salah, yang menyangkal apa yang menjadi ciri khas pemikiran manusia yaitu fallibilitas. Kalau menjadi politis akan membenarkan rezim-rezim totaliter anti-demokratis, karena terhadap kebenaran “kehendak rakyat” atau”kehendak mayoritas” tidak berhak. (Suseno: 2009, 11) Filsafat tidak menerima adanya ajaran manusia yang menganggap diri sedemikian benar sehingga berhak menindas pendapat yang lain.
Dengan kerangka di atas, saya selalu menempatkan suatu kegiatan menulis sebagai sebuah pertanda positif. Dipandang sebagai sebuah kode yang mengisyarakatkan keterbukaan, karena menulis harus jujur, kritis dan akan dibaca orang lain. Dan sebuah tulisan yang sudah jadi adalah teks yang independent untuk dibaca, dipuji, dicaci oleh siapapun.
Tulisan yang “provokatif” seringkali membuka peluang munculnya tulisan-tulisan lain sebagai respon begitu seterusnya. Bila itu terjadi, artinya telah terjadi suatu dialog yang berpeluang menghasilkan pemahaman baru terhadap suatu realitas yang lebih arif dan manusiawi. Kesinambungan praktik-praktik yang demikianlah yang menduga adanya refleksivitas, namun pada gilirannya reflexivitas itu hanya mungkin terwujud bila ada kesinambungan praktik-prektik yang membuatnya jelas sama di sepanjang ruang dan waktu. Karenanya ‘reflexivitas’ hendaknya tidak hanya sebagai ‘kesadaran diri’ melainkan sebagai sifat arus kehidupan sosial yang sedang berlangsung yang senantiasa dimonitor. (Gidden, 1984: 3)