Salah satu persoalan filsafat yang abadi adalah tentang keberadaan Tuhan. Apakah Tuhan itu ada? Ini telah menarik perhatian beberapa pemikir terbesar di setiap tradisi filsafat. Pembahasan ini masuk dalam salah satu cabang filsafat, yaitu teologi (filsafat agama). Dalam bagian pertama ini, akan dipaparkan salah satu argumen tradisional yang mendukung keberadaan Tuhan, yaitu argumen ontologis.
Argumen pertama datang dari Plato (428-348 SM). Ia masyhur dengan teori idea. Menurutnya, segala yang ada di alam ini pasti memiliki idea, artinya konsep universal dari segala sesuatu. Kuda, betapapun perbedaan ukuran, warna, kondisi, kelamin, asal geografis dan lain-lainnya di alam nyata tetap disebut kuda karena di alam idea terdapat paham, gambaran, atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda di manapun ia berada. Manusia memiliki idea, yaitu hewan yang berpikir (hayawan natiq). Konsep ini berlaku universal untuk seluruh manusia, baik besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan, di Asia, Eropa, Afrika, atau Timur Tengah.
Idea adalah hakikat dan dasar bagi segala sesuatu. Segala hal yang dapat ditangkap oleh indera di alam nyata sesungguhnya hanyalah bayangan atau salinan dari alam idea. Yang sebenarnya memiliki wujud adalah idea-idea, bukan benda-benda yang teramati berubah-ubah di alam nyata ini.
Idea-idea itu tidak bercerai berai dan tak ada hubungan satu sama lain, tetapi semuanya bersatu dalam idea tertinggi yang disebut Idea Kebaikan atau yang mutlak baik (The Absolute Good). Yang mutlak baik itu adalah sumber, tujuan, dan sebab dari segala yang ada, dan itu juga disebut dengan Tuhan.
St. Augustine (354-430 M) memiliki penjelasan lain. Ia memandang bahwa di alam ini ada kebenaran, tetapi akal manusia terkadang bimbang bahwa apa yang diketahuinya adalah kebenaran. Manusia lantas menyadari bahwa di atas kebenaran tersebut, ada suatu kebenaran tetap dan tak berubah-ubah. Kebenaran yang tetap itu menjadi sumber dan penuntun bagi akal manusia dalam mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itu bersifat mutlak dan itu disebut dengan Tuhan.
St. Anselm dari Canterbury (1033-1109 M) berpendapat bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesarannya tak dapat dilebihi dan diatasi oleh segala yang ada, alias bersifat tidak terbatas. Sesuatu tersebut pasti memiliki wujud dalam hakikat. Sebab, kalau ia tak mempunyai wujud dalam hakikat dan hanya punya wujud dalam pikiran, sesuatu itu tentu tidak sempurna. Sesuatu yang memiliki wujud dalam hakikat itu lebih sempurna daripada sesuatu yang hanya ada di alam pikiran saja. ‘Sesuatu’ yang Mahabesar dan Mahasempurna itu adalah Tuhan. Oleh karena sesuatu yang terbesar dan tersempurna itu tak boleh tidak mesti mempunyai wujud, maka Tuhan pasti mempunyai wujud, alias Tuhan pasti ada.
Gagasan St. Anselm ini diteruskan oleh Rene Descartes (1598-1650 M). Menurutnya, manusia memiliki gagasan tentang wujud yang sempurna. Gagasan itu tidak mungkin muncul dari diri manusia sendiri karena manusia tidak sempurna. Oleh karena itu, menurut Descartes, gagasan mengenai wujud yang sempurna pasti berasal dari wujud sempurna (Tuhan) itu sendiri. Menyatu dengan gagasan tersebut adalah fakta bahwa wujud sempurna itu pasti ada. Sebab, wujud sempurna tidak akan sempurna jika ia tidak ada. Pun kita tidak akan memiliki gagasan tentang entitas sempurna jika tidak ada entitas sempurna. Karena manusia tidak sempurna, gagasan tentang kesempurnaan itu tidak mungkin berasal dari manusia.
Immanuel Kant (1724-1804 M) mengkritik argumen ini. Menurutnya, ditambahkannya sifat wujud kepada konsep bagi sesuatu tidak membawa hal baru bagi konsep itu. Tuhan secara konseptual adalah Zat yang Mahabesar dan kesempurnaannya tidak memestikan wujudnya. Konsep kesempurnaan tuhan tetap sempurna sekalipun tidak ada wujudnya. Manusia bisa saja membayangkan sebuah negara yang adil makmur sejahtera bak surga, tetapi hal tersebut tidak meniscayakan keberadaan negara itu. Seorang perempuan atau laki-laki bisa saja memikirkan pasangan ideal menurutnya, tetapi itu tidak meniscayakan mereka akan berpasangan dengannya.