Dalam beberapa penyelenggaraan ibadah haji, masalah yang selalu muncul adalah penggunaan visa haji palsu oleh para jamaah. Sebagian mengetahui bahwa visa yang digunakan memang sengaja dipalsukan, sementara sebagian lainnya merupakan korban dari perusahaan travel. Untuk mengatasi hal ini, otoritas Arab Saudi melakukan sweeping atau razia terhadap para jamaah haji untuk memastikan keaslian visanya. Mereka yang kedapatan menggunakan visa palsu terancam dideportasi dan berpotensi tidak dapat menyempurnakan ibadah hajinya.
Lantas, bagaimana dengan para jamaah yang tetap melaksanakan ibadah haji dengan visa palsu tersebut? Sahkah hajinya menurut hukum Islam?
Lembaga fatwa resmi Mesir (Dar al-Ifta’ al-Misriyyah) menerangkan, bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam yang kewajibannya bersifat pasti (ma’lum min ad-din bi ad-darurah) bagi orang yang mampu berdasarkan keterangan beberapa dalil—baik al-Qur’an maupun as-Sunnah—yang saling menguatkan akan kewajibannya. Di antara dalil tersebut adalah QS. Ali Imran ayat 97:
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS Ali ‘Imran: 97)
Berikut di antara hadis Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan kewajiban haji:
“Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah”.” (HR Muslim)
Sedangkan persoalan haji menggunakan visa palsu, yang perlu diperhatikan adalah bahwa keberadaan visa tersebut merupakan ketentuan yang dibuat oleh otoritas yang berwenang (dalam hal ini pemerintah Arab Saudi) demi kemanan dan stabilitas negara serta kebaikan bersama. Apa yang baik di mata umat muslim juga baik menurut Allah.
Memang, visa untuk melaksanakan ibadah haji tidak ada di zaman Nabi dan para sahabatnya. Namun demikian, ketentuan mengenainya harus dipatuhi mengingat dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk menaati ulil amri. “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’: 59)
Jika seseorang beribadah haji dan secara sadar menggunakan visa palsu, maka ia telah melanggar ketentuan dari pemerintah yang harus ditaati, sehingga ia berhak memperoleh sanksi sesuai aturan yang berlaku. Sebagaimana maklum, bahwa keberadaan visa merupakan izin bagi seseorang untuk masuk ke negara lain untuk keperluan yang diperkenankan. Sehingga, ketentuan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan keabsahan ibadah haji. Dengan kata lain, hajinya tetap sah. Sah atau tidaknya ibadah haji bergantung pada ketaatan dan pelaksanaan terhadap dan syarat rukunnya. Walaupun demikian, Khusus untuk visa haji, itu disyaratkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk mempersiapkan infrastruktur haji secara terukur bagi para jamaah.
Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca lewat portal berikut: حكم الحج بتأشيرة مزورة – الفتاوى – دار الإفتاء المصرية – دار الإفتاء (dar-alifta.org)