Penerapan syariat Islam dalam sebuah institusi negara nampaknya masih banyak digandrungi dan didambakan oleh beberapa kelompok Islam. Kelompok-kelompok tersebut pada biasanya meyakini bahwa aturan-aturan Tuhan –yang kemudian disebut sebagai syariat Islam– harus menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Penerapan syariat Islam, dalam pandangan kelompok tersebut, diyakini sebagai titah ilahi yang harus dipatuhi oleh setiap orang muslim, termasuk dalam hal bernegara. Segala prinsip dan bentuk undang-undang negara tidak boleh tidak harus dilandaskan pada syariat Islam.
Jika mengikuti polarisasi yang dibuat oleh Fuad Zakariya,[1] maka kalangan yang menyerukan penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi dua.[2] Pertama, kalangan yang menyerukan penerapan syariat dengan segera, bahkan dalam hal penerapan hudud secara riil. Kalangan ini menegaskan bahwa penerapan hudud tersebut merupakan langkah awal yang menjadi dasar atas langkah-langkah berikutnya.
Kedua, kalangan yang menyerukan penerapan hudud sebagai langkah terakhir. Hal pertama yang harus dilakukan, menurut kelompok kedua tersebut, adalah penerapan dalam taraf minimal, seperti keadilan dalam hal sosial, ekonomi, dan politik di tengah masyarakat. Setelah langkah pertama tersebut sukses, baru kemudian bergerak pada penerapan hudud sebagai salah satu aspek aturan syariat yang harus diterapkan.
Menjalankan aturan Tuhan bagi seorang muslim pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat disalahkan, akan tetapi membawa hal itu ke arah institusionalisasi tidak semudah yang kita bayangkan. Sebab, ketika agama masuk dalam ranah negara atau sebaliknya, maka tidak akan lepas dari politisasi agama (tasyis al-din) atau agamaisasi politik (tadyin al-siyasah).[3] Dan apabila itu terjadi, maka tidak heran jika “agama menjadi kotor gara-gara politik”. Hal inilah yang dikhawatirkan kalangan sekularis. Oleh karenanya, dalam tawaran sekularismenya, mereka menginginkan adanya pemisahan yang tegas antara ranah agama dan ranah politik.
Dalam pandangan sekularis, mengaitkan politik dengan agama akan menciptakan tatanan politik yang tirani. Nahasnya, di antara bentuk tirani yang paling mengkhawatirkan adalah tirani agama. Sebab, di samping menekan kebebasan dan melemahkan daya nalar masyarakat, ia juga bisa bertindak sewenang-wenang terhadap siapapun yang menentang kebijakannya.[4] Memang, dalam hal ini, agama adalah bumbu yang sangat sedap untuk melancarkan kepentingan-kepentingan elit politik penguasa. Segala bentuk kepentingan tersebut akan dengan mudahnya berjalan ketika masyarakat ditakut-takuti dengan atas nama agama.
Meskipun demikian, kesalahan yang dilakukan oleh kalangan yang menyerukan penerapan syariat Islam adalah di saat mereka menggunakan nas sebagai prinsip satu-satunya dalam menentukan sikap mereka. Kekeliruan tersebut semakin diperparah ketika apa yang mereka serukan tanpa melihat realitas dari problematika yang terjadi.[5] Aturan manusiawi –yang kemudian disebut undang-undang positif– yang diterapkan di dalam dunia Islam, dalam pandangan mereka, dinilai tidak dapat memberikan hal positif karena dianggap bertentangan dengan akidah seorang muslim, syiar-syiar, dan ibadah-ibadahnya.
Padahal, hal ini bukan hanya tentang menghadap-hadapkan antara aturan Tuhan (al-Hukm al-Ilahi) dan aturan manusiawi (al-Hukm al-Basyari). Sejatinya, aturan manusiawi tidak memberikan keambiguan terhadap aturan Tuhan (syariat), akan tetapi yang menjadi persoalan adalah terdapat pada aspek penerapannya, yakni dalam pemahaman penafsir, bukan syariat Tuhan itu sendiri. Karena bagaimanapun, interpretasi tersebut seringkali mengandung kepentingan-kepentingan para penafsirnya yang juga bersifat manusiawi dan memiliki konteks zaman, tempat, dan kondisi yang mempengaruhinya.
Oleh karena itulah, otoritas politik dan fikih Islam tidak bersifat ilahi. Persoalannya adalah banyak dari kalangan yang menginginkan penerapan syariat Islam melihat segala perbuatan yang masuk dalam kategori syariat tersebut sebagai perbuatan manusiawi yang tidak dapat diterima. Dengan demikian, maka sebenarnya, tidak ada yang lebih unggul antara hukum ilahi dan hukum basyari. Karena hukum ilahi pada akhirnya juga akan menjadi hukum basyari. Hal yang mengkhawatirkan adalah ketika terjadi pencampuran antara hukum ilahi dengan interpretasi manusia yang memiliki kepentingan-kepentingan khusus dari pemiliknya.
Dalam proses penafsiran dan penerapan yang bersifat manusiawi tersebut, maka hal itu tidak akan lepas dari intervensi bias kepentingan manusia itu sendiri. Hanya pada masa Rasulullah dan para sahabatnya lah syariat bersifat ilahi. Interpretasi dan penerapannya pun juga bersifat ilahi karena yang memiliki hak prerogratif menginterpretasikan dan menerapkannya adalah Rasulullah sebagai utusan Tuhan.[6]
Namun, kenyataan yang demikian tidak lagi bisa dibayangkan di era setelahnya. Semuanya tidak akan lepas dari intervensi manusia. Pemerintahan dalam konteks negara adalah sebuah proses yang bersifat manusiawi. Selama pemerintahan tersebut berada dalam kekuasaan manusia, maka dalam kondisi demikian, mereka sedikit banyak akan memasukkan kepentingan-kepentingannya ke dalam nas apapun yang sedang mereka tangani, walaupun nas tersebut adalah nas ilahi.[7]
Dari sini kita dapat menilai bahwa kalangan yang menyerukan penerapan syariat Islam sebenarnya lebih memperhatikan format (syakliyat) daripada esensi (haqa’iq). Misalnya cara berpakaian, hijab perempuan, mengurusi jenggot dan kumis. Mereka kurang dalam hal bagaimana cara sampai pada esensi dari persoalan yang dihadapinya. Dan oleh karenanya, apa yang mereka lakukan pada hakikatnya adalah berupaya membangun individu masyarakat dan berupaya memakaikannya dengan pakaian islami. Begitu pula dalam hal penerapan syariat, mereka hanya lebih fokus mengurusi format yang bersifat islami tanpa melihat esensi dari aturan yang diterapkan.
Maka dari itu, penerapan syariat Islam di dalam realitas kehidupan bernegara tidak akan dapat menemukan penyelesaiannya dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Akan tetapi dalam hal ini, diperlukan adanya upaya yang layak dan relevan dengan realitas kehidupan manusia sehingga dapat mencapai keberhasilan yang diinginkannya. Jika tidak demikian, maka persoalan akan tetap berada dalam konsepsi mereka yang hanya berada dalam taraf teoretis saja, yang jika hendak diturunkan kepada realitas yang bersifat praktis akan mengarah pada kegagalan.
[1] Fuad Zakariya adalah salah seorang sekularis yang semangat menyerukan sekularisme dan menjadikannya sebagai satu-satunya jalan menuju kebangkitan Arab (nahdlah). Ia lahir di Port Said, Mesir pada bulan Desember 1927 M. Setelah lulus dari pendidikan menengahnya di Sekolah Faruq 1 Abbasiyah, Kairo, ia melanjutkan pendidikannya di Jurusan Filsafat, Fakultas Adab, Universitas Kairo dan lulus pada tahun 1949. Pada tahun 1952, ia memperoleh gelar MA di Universitas Ain Syams untuk tesisnya yang berjudul an-Naza’ah at-Tabi’iyah ‘Inda Nietzsce. Empat tahun setelahnya, tahun 1956, Ia mendapatkan gelar Doktor di Universitas yang sama dengan judul disertasinya, Musykilah al-Haqiqah.
[2] Lihat Fuad Zakariya. Al-Haqiqah wa al-Wahm fi al-Harakah al-Islamiyah al-Mu’ashirah. Hal. 105.
[3] Lihat Fasal kelima hal. 206. “Al-‘Almaniyah ‘inda Fuad Zakariya” dalam buku Falsafah al-‘Ulum.
[4] Ibid. hal. 206.
[5] Lihat Fuad Zakariya. Al-Haqiqah wa al-Wahm fi al-Harakah al-Islamiyah al-Mu’ashirah. Hal. 11
[6] Ibid. Hal 102
[7] Ibid. Hal 103